Chereads / Ketika malam pertama tak berdarah / Chapter 9 - BERTEKUK LUTUT

Chapter 9 - BERTEKUK LUTUT

Liana mempercepat langkah kakinya untuk dapat menyusul Bara. Hingga akhirnya Liana bisa sedikit mengimbangi langkah pria itu. Lalu, dengan segera Liana menggerakkan tangan kanannya untuk mencekal lengan Bara dari arah belakang.

Bara yang terkejut dengan pergerakan Liana yang mencekal tangannya secara tiba-tiba sontak menghentikan langkah dan memutar balik arah tubuhnya. Menatap wanita di depannya itu dengan pandangan yang begitu datar. Pikirannya sudah cukup kalut dengan menghilangnya Vella, dan wanita itu justru masih bisa-bisanya membuka mulut dengan selalu meneriaki namanya di sepanjang dia berjalan. Lalu kini tanpa permisi Liana justru dengan asal menghentikan langkahnya.

"Ada apa? Apakah kau menemukan Vella?" Bara membuka mulut dengan suara yang tidak kalah datar dari raut wajahnya. Bahkan tanpa Liana menjawab pun sebenarnya pria itu sudah tau jawaban apa yang akan diucapkan oleh wanita di depannya tersebut.

"Tidak, aku belum menemukan Vella. Dan, sebenarnya aku menahanmu bukan untuk membicarakan hal itu," ucap Liana sedikit terbata sembari mengalihkan pandangan matanya ke sembarang arah. Ke mana perginya seluruh tekad dan niatnya untuk bisa menyadarkan Bara, tadi? Kenapa begitu menatap wajah tampan dan manik biru pria itu semua keberaniannya seolah menghilang? Dalam hati Liana merutuki dirinya sendiri yang seakan terlalu lemah hanya karena menatap wajah tampan Bara.

"Lalu?" Bara menaikkan sebelah alisnya, kemudian sedikit menggeser tubuh untuk mencari posisi ternyaman. Memberi Liana sedikit waktu dengan menatap malas ke arah wanita itu. Namun pertanyaan itu justru membuat Liana bingung, apakah Bara benar-benar melupakan segala kejadian semalam?

"Apakah kau sama sekali tidak mengingat hal apa saja yang sudah kau lakukan kepadaku semalam?" Liana memberanikan diri menatap mata biru itu kembali.

Sejenak tampak Bara mengernyitkan keningnya seolah berpikir. "Tidak," jawab pria itu singkat lalu membalikkan badannya kembali memunggungi Liana.

Liana yang mengetahui itu sontak mencekal tangan Bara dan menahan langkah pria itu kembali. Namun, belum sempat Liana membuka kembali mulutnya, deru langkah teman-teman mereka membuat dirinya terpaksa menunda suara hingga hanya bertahan sampai di tenggorokan.

"Bara!" seru salah satu dari mereka membuat Bara sontak menghentakkan tangannya yang tadi masih sempat ditahan oleh Liana.

"Ada apa? Kalian menemukan Vella?" Bara memicingkan matanya, lalu pria itu mengedarkan pandangan, menatap ke arah satu per satu temannya yang kini tampak begitu lelah dan berpeluh karena terus mencari Vella. Apalagi hari sudah semakin siang, dan udara di sekitar bukit itu semakin terasa panas karena langit yang tampak begitu cerah tanpa adanya awan yang mau menutupi kehadiran sang matahari.

Tidak ada jawaban, mereka hanya menggeleng lemah sebagai tanda kegagalan mereka dalam mencari Vella. Bara mengusap wajahnya gusar sembari mencebikkan bibirnya. Bagaimana bisa kepergian Vella tidak ada yang mengetahui sama sekali? Bahkan dari laporan teman-temannya pun tidak ada warga sekitar yang mengetahui keberadaan Vella kala mereka menyodorkan foto gadis itu.

"Lalu, kenapa kalian malah ke sini?" Bara semakin menatap nyalang ke arah teman-temannya dengan pandangan begitu tajam.

"Sebenarnya kami ke sini bukan untuk mencarimu. Tetapi, kami ke sini karena mencari Liana," terang salah satu dari mereka setelah saling senggol bahu cukup lama.

Mendengar itu sontak emosi Bara semakin meninggi. "Yang hilang itu Vella, bukan Liana! Bagaimana sih kalian ini!" sergah pria itu seraya berkacak pinggang dan melebarkan matanya.

"Bukan begitu maksud kami, Bara!" seru teman-teman Bara berusaha menenangkan, lalu mereka kembali saling menyenggol bahu.

"Kau, bicaralah!" ucap salah satu dari mereka.

"Nandrea, giliranmu!" ujar salah satu teman Bara yang lain.

"Kenapa harus aku?" sergah gadis yang diketahui bernama Nandrea itu.

"Bukankah ini tadi adalah idemu?"

Sejenak, terlihat Nandrea menarik napas panjangnya. "Hah, baiklah," ujarnya mengalah, lalu mulai menatap pria pemilik manik biru yang berdiri tidak jauh dari dirinya.

"Jadi begini, emm ... aku mencari Liana karena tiba-tiba aku teringat dengan perkataannya tadi malam sebelum kami berangkat untuk tidur," ucap gadis itu mulai menerangkan.

"Perkataan? Perkataan apa?" Bara mengerutkan kening lalu sedikit melirik ke arah Liana yang berdiri di belakangnya.

"Itu, semalam Liana bilang bahwa--"

"Tunggu!" teriak salah seorang dari mereka memotong ucapan Nandrea, lalu gadis itu memicingkan matanya memastikan apa yang dia lihat.

"Apa yang terjadi dengan lehermu, Li?" tanya gadis itu saat pandangannya tidak sengaja terfokus pada leher yang hanya Liana tutupi dengan helaian rambutnya yang memang sengaja dia urai tersebut.

Liana yang mendengar pertanyaan dari temannya itu sontak terkejut dan secara reflek menarik tangannya untuk menutupi kulit putihnya yang cukup terekspos itu. Bagaimana tidak? Saat ini Liana bahkan hanya mengenakan piyama tidur yang memiliki bagian kerah sedikit menurun sehingga menampakkan sebagian dadanya. Dan dia hanya mengandalkan helaian rambut hitam panjangnya untuk menutupi bercak kemerahan yang menyebar di dada dan mungkin juga di lehernya.

Sejenak Liana mengernyit, memang seberapa banyak bercak merah di lehernya? Tanpa sadar Liana semakin membelalakkan matanya. Dia bahkan sama sekali belum melihat penampakan lehernya karena tidak ada cermin yang dapat dia temukan di dalam kamar yang dia tempati semalam.

"Apa kalian baru saja melakukan sesuatu?" tanya salah satu teman Bara sembari menatap ke arah pria itu, lalu sesekali mengalihkan pandangannya kembali ke arah Liana.

Liana yang mendengar itu sontak menundukkan pandangan karena benar-benar tidak tahu dengan apa yang harus dia lakukan. Walaupun jauh di dalam hatinya dia ingin semua teman-temannya dapat mengetahui apa saja yang sudah dia dan Bara perbuat semalaman, lalu berharap mereka dapat membantu Liana untuk memojokkan Bara dan memaksa pria itu untuk menjadikan Liana sebagai kekasihnya sebagai sebuah bentuk pertanggung jawaban terhadap apa yang telah pria itu lakukan kepada dirinya.

Memaksa? Ya, tidak apa-apa jika di awal kisah cinta mereka Bara menjalaninya dengan terpaksa. Meskipun begitu, Liana yakin seiring dengan berjalannya waktu dia pasti bisa menaklukkan hati Bara dan membuat pria itu jatuh, lalu bertekuk lutut karena cintanya yang begitu besar kepada Liana. Baru membayangkan saja sudah membuat Liana harus bersusah payah untuk menahan senyum.

Sementara itu, Bara yang mendengar tuduhan tidak berdasar tersebut hanya menghela napas seraya memutar bola matanya.

'Kenapa mereka selalu saja membahas hal-hal yang tidak penting?' rutuk Bara dalam hati dengan begitu geram. Yang dia inginkan saat ini hanyalah informasi terkait keberadaan Vella. Namun ada saja hal di luar topik utama yang selalu teman-temannya itu bahas. Dan semua itu benar-benar membuat Bara merasa begitu muak.

"Jadi, kau menuduhku melakukannya?" tanya Bara yang kini kembali memasang wajah datar. Membuat Liana yang mendengar itu seketika kembali mengangkat kepalanya, mendongak, dan menatap ke arah Bara yang masih berdiri tepat di depannya.

'Apa? Menuduh? Bara, menyebut temannya menuduh?' Liana mengerutkan keningnya, sama sekali tidak paham dengan cara berpikir pria di depannya itu.

Bukankah semua bercak merah yang ada di tubuhnya itu memang hasil dari kelakuannya? Tetapi, kenapa Bara sama sekali tidak mau mengakui hal itu? Apakah tidak ada sekelebat ingatan pun yang terpatri di dalam otaknya?

Memikirkan itu semua sontak membuat deru napas Liana terasa memburu, hingga terlihat dadanya bergerak naik dan turun dengan begitu cepat.