"Oh iya Li, kemarin kau bilang temanmu akan menyusul ke sini. Lalu, di mana dia sekarang? Kenapa dia tidak datang juga?" tanya Nandrea membuyarkan pikiran Liana.
"Teman?" mendengar itu Bara sontak mengerutkan keningnya.
"Ya, teman atau sahabatnya, entahlah," terang Nandrea yang sebenarnya juga tidak begitu paham dengan apa yang Liana ceritakan tadi malam. Sebenarnya baik Liana, Nandrea, Cia dan teman-teman mereka yang lain sama sekali belum begitu mengenal karena memang pertemuan mereka yang baru terjadi beberapa kali saja. Bahkan ada beberapa dari mereka yang baru pernah bertemu karena acara liburan yang Bara adakan kali ini.
Berbeda dengan persahabatan antara Liana, Vella dan Mila yang sudah terjalin cukup lama, yaitu sejak mereka sama-sama menempuh pendidikan di sekolah yang sama dan dengan berada di kelas yang sama pula. Bahkan ketiga gadis itu duduk di bangku yang hanya terletak depan - belakang, dengan kehadiran seorang teman bernama Oca yang duduk satu meja dengan Liana menjadi pelengkap persahabatan mereka.
"Oh? Mila?" ujar Liana setelah sekian lama berusaha mengingat pernyataan temannya itu. "Ya, semalam Mila memang berkata bahwa dia akan menyusul kita ke sini setelah acara yang diadakan oleh keluarganya usai. Tetapi, jujur saja aku melupakan hal itu dan aku sama sekali tidak tau mengapa--"
"Bagaimana bisa kau melupakan hal penting seperti itu!" sentak Bara menghentikan ucapan Liana.
Hal penting? Liana mengerjapkan matanya seraya menatap lekat ke arah Bara. Jadi menurutnya, perkara mengingat kehadiran seorang sahabat jauh lebih penting daripada membahas dia yang sudah merenggut sebuah mahkota wanita yang bahkan mahkota itu sama sekali tidak dapat dibenahi atau dikembalikan lagi?
Liana meneguk ludahnya dengan susah payah. Lagi pula dia melupakan rencana kehadiran Mila juga karena Bara, tetapi kenapa sekarang pria itu justru terlihat marah?
Liana menggigit kecil bibirnya, menahan segala umpatan yang mungkin saja bisa asal keluar sebagai perwakilan hatinya yang begitu terasa sakit.
'Tidak, aku tidak boleh melakukan hal ini sekarang. Nanti, Liana. Semua pasti ada waktunya sendiri,' ucap Liana dalam hati mencoba menenangkan dirinya. Lalu perlahan wanita itu menundukkan kepala, melepas pandangannya dari wajah Bara.
"Maaf," lirih Liana begitu pelan. Namun hal itu justru membuat Bara semakin terbakar emosi.
"Cepat hubungi sahabatmu itu sekarang juga! Siapa tahu dia mengetahui keberadaan Vella-ku," sergah Bara dengan masih penuh amarah.
Mendengar itu sontak Liana kembali mendongakkan kepala. 'Vella-ku? Setelah semua yang sudah kau lakukan kepadaku, dan kau masih menyebut gadis itu milikmu?' Liana tertegun seraya membuka lebar mulutnya.
"Cepatlah! Mana, berikan ponselmu!" teriak Bara yang merasa sudah tidak bisa menahan sabar lagi saat dirinya mendapati Liana yang hanya menunduk lesu, lalu sesaat mendongakkan kepala dan melayangkan pandangan seperti orang yang begitu bodoh ke arahnya.
Liana masih saja bergeming. 'Bara, membentakku? Kenapa sedari tadi dia terus menerus membentakku? Sebenarnya kesalahan apa yang sudah aku lakukan kepadanya? Aku bahkan dengan rela memberikan segala yang aku punya untuk pria itu. Lalu, kenapa sekarang dia masih saja bersikap kasar terhadapku? Apakah sebenarnya Bara mengingat kejadian tadi malam tetapi dia sengaja pura-pura melupakan itu?' tanpa sadar Liana memicingkan matanya.
"Li?" panggil Cia seraya memegang bahu Liana yang berhasil membuat kesadaran gadis itu kembali.
"Emm ... Ponselku ada di dalam kamar," terang Liana yang semakin berhasil menaikkan tingkat emosi Bara.
"Kalau begitu, kita ambil sekarang!" sentak Bara, lalu pria itu reflek meraih dan menggandeng tangan Liana begitu saja dan menarik wanita itu untuk segera pergi dari sana menuju villa.
Bara menggenggam erat pergelangan tangan Liana seolah enggan kehilangan wanita itu. Hal yang membuat jantung Liana semakin terasa berdebar kencang.
Jujur saja, sebenarnya mendengar berbagai umpatan Bara tadi cukup membuat Liana merasa sakit hati dan kecewa, namun hanya dengan menyadari bahwa saat ini mereka kembali bersentuhan dan saling berpegangan tangan membuat segala amarah Liana mendadak hilang. Bara kembali menyentuhnya. Betapa bahagia diri Liana hingga tidak terasa sebuah senyum kecil terulas di bibirnya.
Meskipun sentuhan kali ini tidak selembut tadi malam dan justru terkesan memaksa karena Bara yang berjalan di depan sedikit menarik tangan Liana agar dengan cepat mengikuti langkahnya.
Tetapi tidak mengapa. Liana sudah cukup senang melihat ini. Siapa tau, sebenarnya Bara memang menginginkan dirinya lagi. Menyentuh setiap inci tubuhnya. Namun mungkin Bara masih malu dalam mengungkapkan itu.
Liana menatap tangan kekar yang sedari tadi menarik tubuhnya. Tangan kekar yang semalam mengunci dirinya untuk tetap berada di bawah kungkungan pria tersebut. Tangan kekar yang menjadi penyangga Bara untuk bergerak dan melaju memasuki dirinya. Tangan kekar yang membelai setiap inci tubuh Liana, dan menghapus setiap tetesan keringat di wajahnya dengan begitu lembut.
Lalu pandangan Liana beralih pada jemari besar Bara yang sedari tadi menggenggam erat tangannya. Jari yang semalam begitu senang mengusap dan menari di atas dua gundukan miliknya, juga tidak lupa sesekali mencubit kecil atau memelintir bundaran hitam di atas gundukan yang kenyal itu. Jari yang semalam bermain di liang hangat milik Liana, keluar - masuk dan berputar-putar di sana.
Hingga akhirnya membuat Liana berkali-kali melengkuh, mengerang dan menahan segala rasa yang mulai tidak karuan.
Lagi-lagi Liana terpaksa harus menelan ludahnya. Jari Bara begitu besar dan berhasil membuatnya merasa terpuaskan. Bahkan hanya dengan mengingat kembali kegiatan mereka semalam dapat membuat milik Liana berdenyut dan bahkan terasa sedikit basah.
Ya, Liana bahkan dapat merasakan dengan jelas sesuatu yang basah itu mendadak mengalir keluar dari liangnya, dan dia yakin jika sesuatu itu bukanlah urin. Meskipun Liama cukup awam, namun dia paham betul cairan apa yang tengah menetes dan membasahi celana dalamnya itu.
"Cepat ambil ponselmu dan segera hubungi Mila!" sentak Bara kepada Liana lalu melepas dan sedikit mendorong tubuh wanita itu masuk ke dalam kamar membuat Liana terkesiap. Pikirannya yang sedari tadi dipenuhi hal-hal kotor membuat dirinya tidak begitu sadar jika ternyata dia bahkan sudah sampai di depan kamarnya.
"Ck, cepatlah! Apa lagi yang kau tunggu, dasar bodoh!" umpat Bara merasa tidak sabar kala mendapati Liana justru hanya berdiri mematung di depannya.
Sementara itu, Liana yang sedari tadi masih bergeming sontak membalikkan badannya dan menatap tajam ke arah Bara. Membuat pria itu seketika mengernyitkan keningnya.
"Ada ap--" belum sempat Bara melanjutkan ucapannya, dirinya sudah kembali dibuat terkejut saat tiba-tiba Liana berjalan mendekat dan melumat bibirnya begitu saja.
Tidak hanya itu, Liana bahkan memberanikan diri mengulurkan tangannya dan mendekatkan jemarinya yang lentik pada pusaka milik Bara yang masih tertutup celana berbahan tebal itu, lalu meremasnya dengan sedikit keras membuat pria di hadapannya itu sontak membelalakkan mata dan reflek mendorong tubuh Liana agar menjauh.