Ada sesuatu yang menungguku dalam kegelapan. Matanya menyorot tajam mengintaiku. Sebuah bayangan hitam yang seram dan sangat menakutkan. Bayangan itu terus mengikutiku dan masih saja bermain-main dalam pikiranku, seakan ingin bercokol dan menguasai alam sadarku.
Dia bukan berasal dari dunia kita, dia datang dari alam kegelapan yang menerobos masuk, mencoba melebur dan bersatu dengan jiwaku. Perisai gaib yang menyelimutiku mencoba menahan mereka, namun tembok-temboknya seperti dinding yang ringkih, tua dan rapuh yang sebentar lagi hancur oleh teriakan nyaring dari mulut-mulut mereka yang bertaring.
Aku tidak bisa mengingat siapa diriku. Hal pertama yang aku lupakan ketika kegelapan menguasaiku. Hari, bulan dan tahun seperti sesuatu yang samar, sama seperti ketika aku mulai melupakan orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku. Desa asalku, keluargaku, saudara dan sahabat-sahabatku.
Namun aku bisa mengingat semua penderitaan, rasa sakit dan keputusasaan. Mungkin aku akan menyebutnya sebagai dendam. Di mana sebuah pengkhianatan telah menghancurkan cinta yang tulus, persahabatan yang kental dan kekeluargaan yang selalu aku banggakan.
Aku melihat orang yang aku cintai di tempat itu. Berdiri anggun di atas pusaran air. Gaunnya yang berwarna hijau menjuntai dengan selendang yang melambai-lambai. Tiara berkilau dan tongkat di tangannya menjadi aksesori yang menambah kecantikannya. Namun tidak dengan hatinya. Dia telah menenggelamkan kota kelahiranku. Menghancurkan rumah-rumah penduduk, ladang-ladang, bahkan taman bermain anak-anak.
Aku juga melihat pemuda yang sekujur tubuhnya diselimuti api. Matanya menyala merah. Ia seperti raja api dengan dua tanduk di kepalanya yang bisa leluasa memerintahkan api untuk menghancurkan istanaku dan membantai seluruh keluargaku. Dari kepalan tangannya pulalah api itu menyambar tubuhku. Dan aku ... telah kehilangan kesadaranku, atau mungkin juga nyawaku.
Aku terhasut oleh kebencian, seolah-olah tragedi ini adalah kesalahan wanita yang aku cintai itu. Dan memang benar adanya, itu semua tak lepas dari tanggung jawab wanita sialan itu. Bahkan jika aku terlahir kembali, tetap wanita itu adalah sumber dari masalah yang aku hadapi sekarang ini. Jangan salahkan aku jika aku tak mengenalmu. Tak mengingat namamu atau asal usulmu.
Semua itu adalah kesalahan wanita bermahkota yang berdiri melayang di atas pusaran air itu. Seorang putri kerajaan pemilik elemen air yang menjadi wanita tercantik di belahan bumi ini. Ia memerintahkan sang pemuda penguasa elemen api untuk menyengatku dengan sambaran api dari tubuhnya. Sebuah tenaga murni dari bara api yang ada di alam semesta ini.
Api murni itu terus membakar tubuhku yang terikat di tengah tanah lapang di dalam istanaku. Tempat yang sering aku gunakan untuk bermain dan bercengkerama bersama teman kecilku. Kedua orang tuaku, dan keluarga-keluargaku. Tanah leluhur yang sudah turun temurun kami huni dan menjadi saksi, bahwa kami adalah bagian dari penjaga kedamaian di semesta ini.
Sekujur tubuhku terus menghitam, terikat di dalam kobaran api tanpa bisa melawan. Tanpa daya dan tanpa tenaga. Pelan dan pasti penglihatanku pun tertutup dan dipenuhi oleh warna jingga kemerah-merahan meski telah kukatup rapat-rapat kedua mata ini. Aku terpejam dalam dekapan api yang teramat panas. Bahkan saking panasnya, aku sampai merasakan dingin di antara panas itu. Inti dari panas adalah dingin, dan aku telah melalui fase itu.
Aku membuka mataku ketika merasa semuanya begitu hening. Semua api telah padam dan hanya menyisakan kepulan asap hitam, bau darah dan daging yang terbakar. Tidak ada apa pun, hanya ada kegelapan di luar sana. Udara serasa berhenti berembus. Binatang-binatang malam seperti bungkam. Dan lagi ... bayangan-bayangan hitam itu terus bergerak mendekat. Melayang berputar-putar mengelilingiku, meliuk-liuk, menungguku menyerahkan jiwaku untuk diseret dan di bawa ke negeri yang entah di mana.
Sama seperti wanita itu menyeret dan menghempaskan tubuhku yang tak berdaya. Seorang wanita terhormat yang sangat mencintai kekasihnya. Tidak! Dia tidak pernah mencintai siapa pun. Jika dia memang mencintaiku, dia tak akan membiarkan bola api menghanguskan kota kelahiranku, dia tak akan melukai keluarga-keluargaku, kerabat-kerabatku, bahkan kedau orang tuaku. Dia juga tidak akan membiarkan tubuhku hangus habis terbakar. Hanya menatap dan menyunggingkan senyuman.
Masih membekas dalam ingatanku. Wanita itu berteriak lantang agar sang pemuda berselimut api segera menghabisi nyawaku. Masih lekat kata-kata wanita itu saat berbisik–aku tak pernah mencintaimu–di telingaku. Keduanya lalu berpelukan seakan ingin mengabarkan, kami adalah pasangan abadi. Tak terpisahkan, dan tak pernah tergantikan. Seolah mereka mengejekku, kau hanyalah orang tak berguna yang tak pantas hidup di dunia.
Kejadian demi kejadian terus berjejal dalam saraf otakku. Semua kejadian baik yang pernah kami lalui bersama, terhapus dan pergi dengan sendirinya hanya oleh satu kata. Benci. Ya benci. Kebencian yang terus membesar membentuk sebuah dendam yang sulit bahkan tak akan pernah terhapuskan. Benih-benih dendam itu pulalah yang mungkin memanggil bayangan-bayangan itu menghampiriku. Mereka seolah mendukungku untuk tetap bertahan.
Aku benar-benar muak terhadap mereka. Semua perasaan benci, sakit hati dan kemarahan berbaur menjadi satu yang ingin aku tumpahkan kepada mereka. Ya ... mereka. Mereka harus menerima balasan atas perbuatan mereka. Itulah satu-satunya emosi yang masih aku simpan dan pertahankan di dunia gelap yang belum aku pahami.
"Aku tidak seharusnya mencintaimu." Itu kata terakhir yang aku ingat sebelum kegelapan ini benar-benar menyelimutiku. Ya ... aku seharusnya tak pernah mencintai wanita itu. Dan aku seharusnya tak berani mencintainya. Mungkin ini adalah hukuman karena keberanianku mencintainya, dan aku pantas menerima kegelapan sepanjang hidupku.
Tabir tipis yang menyelimuti tubuhku perlahan memudar. Tembok yang membatasi antara duniaku dan dunia mereka berbaur menjadi satu. Seperti sebuah lorong hitam yang menghubungkan antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata. Aku membiarkan bayang-bayang hitam itu merasukiku, menguasai tubuhku dan bersemayam menjadi sosok aku.
Tubuhku melayang ringan dalam kegelapan, meliuk-liuk dan berputar sebentar lalu mengambang, menyaksikan sebuah tubuh yang telah terpanggang, terikat di sebuah kayu yang juga hitam karena telah hangus terbakar. Teriakan dan jeritan pilu tak lagi kudengar.
Aku telah berusaha berjuang. Berjuang memadamkan bara api yang menyerang kota kelahiranku, bara api yang telah membumi hanguskan istana keluargaku dan bara api yang telah membakar tubuhku.
Aku harus terus berjuang dan memadamkan bara api itu agar tidak terus menjalar dan menghanguskan bumi ini. Aku harus mencegah kegaduhan ini menjadi bencana yang akan mengoyak keseimbangan alam semesta. Tapi tubuhku terikat. Mereka telah membunuhku. Aku tak bisa berjuang sendiri dengan mengandalkan kekuatanku sendiri. Dan bayang-bayang hitam ini menawarkan bantuan dan kekuatan. Mereka menyeretku untuk ikut ke dalam dunia mereka yang gelap. Menyiapkan sebuah perlawanan, atau bisa saja pembalasan.