Tidak seperti harapan Ana, para tetangga kali ini sepi dan tak terlihat satu orang pun —yang sering meng-gosipinya— terlihat. Mungkin ada acara RT atau hal yang tidak ia ketahui.
"Baguslah, terhindar dari ibu-ibu tukang julid."
Dengan senang hati, Ana berjalan menelusuri gang, ia berjalan kaki tentu saja karena mobil tidak bisa memasuki gang ini. Ya sebenarnya bisa saja, namun sulit untuk mutar balik jadi ia lebih memilih di turunkan di depan gang.
Ia berjalan dengan baju baru, baju mahal yang bisa saja ia membeli sendiri dari uang hasil menjadi wanita malam. Namun lebih baik di belikan orang lain karena tidak akan mengurangi uangnya di ATM.
"Piwwit, Neng Ana!"
Mendengar seseorang memanggil namanya sambil bersiul menggoda, Ana mengaduh di dalam hati karena ternyata tidak semulus ini ia berjalan menyelusuri jalan untuk ke rumahnya.
Dengan senyuman yang agak di paksakan, ia menolehkan kepala ke arah seseorang yang memanggilnya.
"Kenapa, Kang Sadam?" Ia merespon dengan sinis.
Namanya adalah Sadam. Ia terkenal sebagai laki-laki yang cukup bisa di bilang gemar catcalling, beberapa wanita di gang ini sebisa mungkin untuk menghindarinya. Bahkan, sebenarnya Ana yang tubuhnya telah kotor dengan sentuhan beberapa laki-laki saja enggan menjadi korban catcalling Sadam.
Tampilannya sangat beler, seperti laki-laki sange yang selalu berfantasi berlebihan.
"Siang-siang begini jalan sendirian aja, mending sama Akang." Sadam berkata sambil mengedipkan mata ke arah Ana, ia mendekati wanita yang tampak menyembunyikan tubuh —area sensitif— yang sedaritadi memang menjadi arah pandangnya. "Jangan di sembunyikan, tubuh mu sudah banyak yang menyentuh, aku tau—"
BUGH!
Ana meninju rahang Sadam, menjadikan laki-laki itu terhuyung sampai mundur beberapa langkah.
"Laki-laki sange! Lo bisa gue laporin ke polisi atas pelanggaran beberapa pasal, sekali lagi gue liat lo deketin gue, abis lo gue pukulin!"
Ana tidak takut, ia selalu bisa menjaga diri. Walaupun begitu, ia sejujurnya sedikit takut mengancam Sadam.
Sadam menyeka darah di ujung bibirnya. "Cih, wanita murahan sok jual mahal, badan lo ada seharga kuaci."
Ana memilih untuk tidak meladeni. Ia berbalik badan dan meninggalkan Sadam begitu saja.
"Gak ada pewajaran untuk catcalling, laki-laki yang ngelakuin itu udah gila."
Banyak sekali kejadian atas catcalling ini. Sekedar pengakuan dari pelaku hanya merasa gabut makanya menggoda wanita yang lewat di hadapannya. Namun menurut Ana, laki-laki seperti itu memang tiada kapok.
"Dia bilang gue murahan? Gak tau aja harga badan gue berjuta-juta, cepet musnah deh laki-laki yang suka catcalling."
Siapa yang sering mengalami hal seperti ini? Jujur, Ana yang terbilang sudah kotor pun masih tidak suka mendapatkan perlakuan catcalling karena menurutnya itu adalah kejahatan pada kesusilaan.
Ana berbelok ke arah rumahnya, membuka pagar, dan berjalan sebentar di halaman rumah yang tidak bisa di bilang besar.
Ia melihat ada motor besar yang terparkir, dan mengira kalau itu adalah motor milik Gibran. Ternyata Dipa masih memiliki hubungan dengan laki-laki menjijikan itu.
Tidak habis pikir kalau Dipa luluh di bawah kenikmatan yang di berikan pada Gibran, secara gratis pula. Kalau Ana, ia hanya mau berhubungan jika di bayar, tidak pernah ia melakukan flash sale untuk tubuhnya.
"Aku pulang!"
Dan benar saja, yang di lihat Ana saat ini adalah Dipa dan Gibran yang berada di ruang tamu.
"Selamat datang, Kak."
"Selamat datang, Ana."
Ana memutar kedua bola mata. "Dimana ibu sama ayah?" Ia bertanya, karena biasanya di jam segini ibunya menjemur pakaian karena seingatnya kemarin ia meminta tolong pada Mera untuk beganti mencuci dulu karena ia ada pekerjaan tambahan.
Dipa yang sedang berpegangan tangan dengan Gibran itu pun mengerjapkan mata. "Lagi ke kantor pajak, Kak. Mau bayar pajak," ia menjawab karena memang inilah yang di katakan Mera dan Tom kepadanya.
"Oh." Ana hanya merespon seadanya. Setelah itu, ia menatap ke arah Gibran dan menatap laki-laki itu dengan sangat tajam karena tidak ada perdamaian baginya. "Awas aja lo kalau hubungan badan di ruang tamu, gue gak segan-segan bikin lo babak belur." Ia mengancam Gibran.
Gibran meneguk saliva, yang paling ia takuti memanglah Ana. Banyak sekali gosip yang beredar mengenai Ana ini adalah wanita malam penuas nafsu laki-laki, namun saat ia melihat sifat wanita itu, sepertinya hanya gosip semata.
"Iya, Ana. Aman,"
"Dipa jauh lebih aman kalau bukan sama lo, brengsek."
Setelah mengatakan itu, Ana pun langsung saja berjalan menuju kamarnya. Ia ingin langsung berangkat bekerja kembali.
Ana pun masuk ke dalam kamar, ia tidak ingin berada di rumah ini lebih lama, namun sejujurnya tidak mau membiarkan Depa bersama dengan Gibran berduaan.
Ya sudah pasti di setiap pertemuan Dipa dan Gibran selalu melibatkan 'olahraga panas', Ana sudah mulai menerimanya asal tidak bocor ke telinga orang-orang.
Tidak ada yang dapat membuktikan kalau Ana adalah wanita malam, bahkan kedua orang tuanya termasuk Dipa tidak tau dengan apa yang ia lakukan walaupun gosip itu sudah menjalar ke telinga keluarganya.
"Gila lemes banget, olahraga dengan Denish selalu membuat kaki gue gemetar setelahnya."
Ana pun lebih dulu duduk di tepian kasur, ia sudah meletakkan tas yang di bawanya. Kini, ia menatap layar ponsel dan membuka grup kerjaan.
grup chat |
Miko : Kemarin gue liat Ana, gak tau mau kemana sih tapi keliatannya buru-buru banget.
Sasa : Hah? Kemana? Ana pulang bareng aku, bahkan ke rumah aku dulu.
Roy : (mengirim emoticon berpikir)
Tora : @Miko ketikan kamu seperti menjerumus ingin membuat pikiran yang lain berkembang, nanti jadi gosip.
Ilham : Bener tuh apa yang di bilang Chef @Tora jangan begitu ah gak baik.
Miko : Apa? gue cuma bilang begitu astoge… T_T
Ana membaca semua chat grup.
Ana : Makasih Chef @Tora dan @Ilham aku dari rumah Sasa mampir dulu ke kedai 24 jam untuk bawain buah tangan ke keluarga, semoga gak ada pikiran aneh-aneh ya, sampai juma di tempat kerjaan nanti!
Setelah mengirim pesan itu, Ana langsung saja keluar aplikasi. Ia tidak ingin memperpanjang pembahasan. Lagipula, ini pertama kali di grup membicarakan tentang dirinya. Ini memang bukan grup resmi, ini grup kerjaan kedua tanpa petinggi mereka dan di gunakkan untuk sekedar mengobrol santai saja.
Baru saja Ana meletakkan ponsel di meja karena ia ingin beranjak dan berniat bersiap-siap untuk bekerja, ponselnya berdering pertanda panggilan telepon masuk.
"Huh siapa sih?"
Walaupun menggerutu, Ana tetap kembali mengambil ponsel dan melihat panggilan telepon dari Chef Roy yang masuk ke ponselnya. "Waduh, kenapa nih?"
Segera menjawab panggilan telepon. Ana hanya berharap kalau Roy tidak mencoba untuk mengajaknya 'olahraga panas' yang kedua kalinya karena kemarin ia tolak.
"Halo, Chef. Ada apa menelepon?"
"Halo, Ana. Saya mau mengatakan kalau kamu tidak boleh telat datang."
"Iya, Chef. Sejauh ini, saya selalu tepat waktu, bahkan saya gak pernah telat atau absen alfa."
"Ya."
Ana merasa aneh, ia menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa, Chef? Apa—"
"Tidak ada, selamat siang."
"Eh? Selamat—"
Pip
Panggilan telepon terputus begitu saja, Ana menganga karena tidak mengerti. "Apaan sih? Gak jelas, biasanya juga gak begitu."
Setelah itu, Ana langsung saja melanjutkan niatnya untuk siap-siap bekerja yang tadi tertunda.
…
Next Chapter