Chereads / Ana (21+) / Chapter 2 - Cruel World

Chapter 2 - Cruel World

Apa yang kalian harapkan dari Ana? Kalian berharap nama Ana adalah penggambaran sosok yang lembut, tidak pembangkang, dan penuh kasih sayang dan kelembutan?

Mulai sekarang, tolong jauhkan ekspetasi kalian dari semua itu.

Ana, kini tengah bergelut manis dan juga panas di atas sebuah ranjang dengan seorang laki-laki dengan perawakan tubuh atletis, memiliki abs yang menggoda iman banyak wanita, serta rahang tegas yang tak boleh terlewatkan. Oh, terlebih lagi kedua mata laki-laki itu terlihat sangat tajam, bahkan bulu matanya pun lentik menambah kesan tampan yang luar biasa.

"Sialan, permainan mu benar-benar hebat."

Dan tumbang. Baru kali ini Ana merasa kelelahan saat melayani laki-laki yang memang menjadi pekerjaannya setiap malam sampai menjelang subuh.

"Kau yang lemah, gadis kecil." ucap laki-laki itu yang membalas sambil beranjak dari kasur seperti tidak memiliki rasa lelah / lemas karena habis menikmati tubuh wanita bayaran.

Ana menyeringai. Ia masih terbaring di atas ranjang dengan dada yang terlihat naik turun, bahkan keadaan tubuhnya yang naked pun tidak membuatnya risih saat di tatap laki-laki satu itu.

Tampak sang laki-laki langsung memakai celana dalam dan celana jeans dengan terburu-buru.

"Mau kemana?" Ana bertanya, ia sedikit penasaran karena tidak biasanya ia melayani laki-laki yang langsung bergegas pergi setelah berhubungan badan dengannya. Paling tidak, minimal mengobrol ringan di atas ranjang terlebih dulu.

Laki-laki itu melirik dikit ke arah Ana. "Bukan urusan mu."

"Lalu? Apa yang harus aku urus?"

"Kamu cukup menikmati uang bayaran dari ku, sudah langsung ku transfer ke rekening mu sesuai dengan nominal yang sudah kita sepakati. Cepat periksa atau aku akan di tuduh sebagai laki-laki yang hanya menikmati gratisan,"

Ana memutar kedua bola matanya. Tapi tak ayal ia menjalankan perintah laki-laki tersebut untuk mengecek saldo di rekeningnya. "Denish Albrayn Richard? Itu nama mu?"

"Memang kau pikir siapa pemilik nama itu? Nama presiden?" Laki-laki itu menjawab dengan suara yang cukup jutek, lalu di akhiri dengan kembali menutup perutnya yang terbentuk abs dengan hoodie berwarna hitam berpaduan merah.

"Kita belum berkenalan secara resmi—"

"Tapi maaf Nona, ini bukan acara resmi yang mengharuskan untuk berkenalan."

"Kalau begitu—"

"Ya, sampai jumpa kembali."

Ana melongo melihat laki-laki yang ia ketahui bernama Denish Albrayn Richard langsung keluar dari kamar VVIP yang di pesan laki-laki itu juga. Tanpa memberikan alamat, ya setidaknya Ana berharap untuk bertemu lagi dengan laki-laki itu.

"Sialan, aku ditinggal begitu saja? Padahal jam masih menunjukkan pukul dua pagi, dan kita bahkan belum tidur saling bersisian untuk beristirahat sejenak, menyebalkan."

Ana menghembuskan napas dengan gusar.

Karena tidak tau ingin berbuat apa di kamar ini, Ana pun memutuskan untuk beranjak dari ranjang yang memunguti satu persatu pakaiannya yang tanggal karena ulah laki-laki yang sebaiknya ia panggil dengan nama Denish.

Memakai kembali seluruh pakaian yang tadinya sudah dilucuti oleh Denish si laki-laki kurang ajar itu, lalu setelah selesai, ia merapihkan tatanan rambutnya yang cukup berantakan akibat aktifitas panasnya beberapa menit yang lalu sebelum ia ditinggal sendirian.

"Setidaknya jika ingin terburu-buru, selipkan nomor telepon." Ana pun menyambar tas selempang miliknya, menaruh ponsel disana, dan tak lupa kembali memakai jaket oversize yang dari tempat kerja ia pakai sampai di club malam.

Walaupun Denish kurang sopan karena langsung meninggalkan Ana seorang diri, namun Ana seolah tidak mengungkit hal tersebut begitu jauh, karena apa? Bayangkan saja ia diberikan 20 juga untuk 3 ronde 'permainan' mereka. Nominal yang besar? Tentu saja.

Ana langsung keluar dari club malam ini melewati pintu belakang karena terlalu malas untuk menyapa orang-orang pekerja disini yang memang seluruhnya kenal dengannya.

Bisa di bilang, Ana adalah salah satu wanita unggul dan rekomendasi bagi atasan club untuk dipakai oleh laki-laki kelas atas seperti Denish Albrayn Richard sebagai contohnya.

Ana berjalan ke arah parkiran khusus karyawan, dan langsung mengenakkan helm saat melihat kendaraannya berada, ya ia menaiki sepeda motor yang dibelikan ayahnya, jauh sebelum keluarganya terlihat berantakan.

"Dunia ini memang sangat konyol dan banyak sekali teka-teki."

Dan Ana pun mulai melajukan motor dan meninggalkan club malam pada pukul 2 pagi dini hari. Waktu dimana tidak seharusnya para wanita berkeliaran tanpa pengawasan siapapun, tapi menurut Ana hal ini sudah biasa.

Di perjalanan, Ana tidak memikirkan apapun selain rencana setelah sampai di rumah, ia akan mengendap-endap ke kamarnya seperti hantu yang tidak terlihat. Dan voila, orang rumah tidak akan tau kalau ia pulang pagi seperti ini.

Sesampainya di rumah ...

Ana melihat bangunan di depannya, rumah yang tidak terawat. Awalnya ia tidak masalah dengan kekayaan, tapi sudah tidak kaya, keluarganya juga hancur berantakan. Jadilah sosok Ana yang seperti ini, terlihat penuh tekanan.

Pintarnya Ana, ia memiliki kunci duplikat rumah. Ia membuka dengan perlahan, masuk ke rumah dengan penuh kehati-hatian, dan kembali mengunci pintunya dengan rapat.

"Aman, seperti biasa." ucapnya dengan senyuman menyeringai.

Ana merapihkan rambutnya terlebih dulu, setelah itu melangkahkan kakinya. Malam ini ia mendapatkan 20 juta, dan ia membayangkan jika setiap malam ia melayani Denish.

Ia tertawa kecil. "Hahaha, bisa kaya mendadak nih gue." ucapnya.

Begitu ia melangkahkan kaki melewati ruang keluarga, ternyata televisi masih menyala dan terlihat siaran pertandingan bola sepak.

'Sial, hari apa ini?'

Dan Ana lupa jika hari ini acara pertandingan bola di televisi memulai siaran, dan ia pulang bertepatan dengan itu.

"Kok baru pulang?"

Damn. Ana mengutuk diri saat mendengar suara yang tidak asing, sungguh? Itu adalah suara ayahnya. Terdengar mengerikan.

Ana mengeratkan pegangan tangan pada tali tasnya. "I-iya, Ayah. Tadi aku bekerja lembur menggantikan teman ku yang sakit, maaf." ucapnya, memberikan jawaban yang bohong.

"Restoran tempat mu bekerja buka dua puluh empat jam?" tanya sang ayah sambil mendekati Ana.

Sudah berbohong, kurang mahir pula. "Anu—"

"BELAJAR MENJADI JALANG KECIL SEPERTI IBU MU?!" Ayah Ana memaki, lalu menyabet tubuh Ana dengan gesper dan tepat mengenai paha Ana yang memang terekspos.

"AAAAAAAAAAA!" Ana menjerit kesakitan, lalu menutup mulut dengan segera agar tidak menimbulkan suara bising yang berkelanjutan. Ia menangis, memangnya siapa yang tidak menangis saat disabet dengan ikat pinggang?

Menurunkan pandangan ke arah dimana sabetan ikat pinggang yang ayahnya luncurkan berada, di pahanya, langsung terlihat berwarna biru lebam.

Ana kembali menaikkan pandangannya. "Ayah jahat, aku tidak mengenal ayah ku lagi. Anggap saja kita asing," ucapnya dengan nada bicara yang parau.

Ia kecewa, sosok ayah, cinta pertama. Baiklah, mungkin dulu istilah 'seorang ayah adalah cinta pertama anak perempuannya', namun sudah beberapa bulan kebelakang sampai pada hari ini, semua itu tidak lagi berlaku.

Ana meninggalkan ayahnya yang kini masih menatapnya dengan tajam, entah apa yang dipikirkan oleh orang tua dengan tiga anak ini sampai berani main tangan dengan anak perempuan pertamanya.

Ana menangis, masuk ke dalam kamar dan langsung mengunci pintu dari dalam.

"BELAJAR MENJADI JALANG KECIL SEPERTI IBU MU?!"

Ucapan ayahnya membekas di pikiran dan di hati Ana, ia sudah sering diperlakuan seperti ini, namun tidak dengan pagi dini hari ini yang sepertinya sang ayah telah kelewatan memperlakukannya layaknya binatang.

...

Next chapter