Suara kicauan burung di pagi hari, terdengar menyapa indra pendengaran dengan sangat lembut seolah mengajak bernyanyi untuk mengawali hari di pagi yang cerah ini.
Sinar mentari mulai memasuki kamar seorang wanita yang masih bergelung malas di atas selimutnya.
Tidak ada hal yang lebih indah dari menghabiskan hari libur selain bermalas-malasan dan tertidur dengan nyenyak.
"ANA, BANGUN!"
Dan boom! Teriakan ibunya sudah memenuhi setiap sudut kamar, membuat Ana yang tadinya masih berniat memejamkan mata dan meneruskan mimpinya, akhirnya membuka matanya yang sembab akibat menangis atas kejadian yang disebabkan sang ayah, agar ia menghindari amukan singa di pagi hari.
"Jangan hari ini Bu, aku lelah." ucap Ana.
Hubungan Ana dengan sang ibu, Mera Agatha, cukup baik jika dibandingkan dengan sang ayah, Tom Fedrick. Maka, Ana lebih baik menuruti Mera daripada Tom yang sangat kerasa kepadanya setelah mengetahui skandal yang dilakukan sang ibu.
"Tom bilang sama ibu kalau kamu pulang jam dua pagi? Kenapa?" Mera bertanya sambil memunguti pakaian kotor Ana yang berserakan di lantai. Bahkan, banyak barang-barang yang tadinya terletak di atas meja pun jatuh di lantai.
Mera tau bahwa Ana diperlakukan tidak baik oleh Tom yang memang akhir-akhir ini hanya kasar dengan Ana, tapi tidak dengan kedua anaknya yang lain.
"Gak kenapa-napa, ibu gak perlu peduli, aku udah besar." ucap Ana. Ia memilih untuk membelakangi sang ibu, dan kembali memejamkan mata. Ia tidak ingin dapat pencerahan di pagi hari jika apa yang dilakukan ibunya tidak jauh beda dengannya.
Mera tau, Ana kecil yang manis tumbuh menjadi Ana dewasa yang memikul kejamnya dunia. Ia pribadi pun merasa gagal menjadi seorang ibu, ia memberikan contoh yang buruk dan sialnya keburukannya di contoh oleh putrinya yang satu ini.
"Ya sudah, yang lain udah nunggu kamu di bawah buat sarapan bareng. Di tunggu, ya."
Setelah merasa Mera keluar dari kamar tidurnya, Ana kembali membuka mata sambil menghembuskan napasnya.
"Berarti? Gue harus sarapan sama mereka?"
Dan setelah hampir 5 menit berpikir, akhirnya Ana bertengkar dengan batin dan ia kalah, memutuskan untuk beranjak dari ranjang tanpa merapihkannya.
"Awsh, gila sakit banget." Ana merasa satu kakinya, lebih tepatnya pahanya, ia merasa nyeri.
"Anjir ungu, sakit banget."
Akhirnya, Ana berjalan dengan tertatih-tatih. Entah Mera tau tentang hal ini atau tidak, tapi ia yakin ibunya tidak memiliki simpati yang cukup besar untuk menanyakan tentang kondisi kakinya.
Sampai di kamar mandi dan memutuskan untuk duduk di atas wastafel, Ana langsung melucuti pakaian dari tubuhnya. Ia menatap tubuh yang putih bersih —kecuali kini di bagian pahanya yang berwarna ungu—, ia melihat beberapa bercak merah yang di hasilkan oleh laki-laki kaya yang berhasil memikat hatinya malam ini.
"Denish. Aku seperti pernah melihat wajahnya, sungguh, tapi dimana?"
Tanda merah yang dibuat Denish adalah tanda yang tidak akan pernah ia lupakan. Dan jangan lupakan juga cumbuan mesra yang dilakukan padanya dengan sangat lembut. Tidak ada hentakan kasar, mungkin ada jika ia yang memintanya.
Gerakan tangan Ana menjadi sensual mengikuti setiap lekukan tubuhnya, berharap disentuh oleh Denish, lagi.
"Ah, lama-lama aku bisa gila."
Sadar dengan apa yang akan dilakukannya, Ana pun langsung turun dari wastafel dan mengambil air dari bak mandi menggunakkan gayung yang segera mengguyur tubuhnya.
Sekitar dua puluh menit kemudian...
Ana sudah selesai mandi dengan atasan crop top dan bawahan hotpants. Ia menyisir rambutnya yang jatuh lurus, sangat cantik dan sempurna. Ia memang lebih mempedulikan penampilan, wajah, rambut, dan perawatan tubuh lainnya, daripada mementingkan mengisi perut.
Dengan ponsel yang berada di genggaman tangan, kini Ana keluar dari kamar tidurnya dan berjalan ke ruang makan yang terletak dekat dapur. Ya, ia tidak menuruni tangga karena rumahnya tidak memiliki lantai dua. Semua ruangan di rumah ini tertata berantakan di lantai dasar.
Terlihat keluarga berantakan di meja makan. Adik perempuannya tengah sibuk bermain ponsel sambil makan, adik laki-lakinya tentu saja sama halnya dengan sang adik perempuan. Ibunya makan dengan diam, sang ayah yang terus menerus mengalihkan pandangan seolah mencarinya.
"Hari yang buruk."
Ana pun memutar balik langkah, tidak memiliki keinginan untuk duduk bersama di meja makan. Ia sudah selama berbulan-bulan tidak pernah hadir makan bersama keluarga kecilnya yang lengkap.
Akhirnya Ana memiliki inisiatif untuk makan di luar rumah karena jika di dalam rumah, selera makannya seolah menguap entah kemana.
Ibu-ibu gang langsung memperhatikannya sambil bisik-bisik, Ana cukup sadar jika mereka sedang membicarakannya. "Lain kali jangan gosipin orang Bu, urus aja anak ibu yang hamil di luar nikah." balas Ana dengan sarkastik, tatapan matanya juga setajam elang.
Ana cukup muak dengan ibu-ibu gang yang selalu membicarakan orang lain yang tidak-tidak, membagi pemikiran negatif dalam kelompok yang negatif, dan akhirnya menggumpal menjadi gosip.
Setelah berkata seperti itu yang tentu saja langsung membuat para ibu-ibu menjadi bungkam seketika.
Ana menuju market terdekat yang juga menjual junk food untuk mengisi perutnya yang ramping.
Sampai di tempat tujuan, hal pertama yang dilakukan Ana adalah mengambil uang dari kartu ATM-nya. Ia mengambil sekitar 5 juta, dan di masukkan langsung ke dalam tasnya. Ia ingin membagi uang ini dengan keluarganya meskipun tidak memiliki hubungan yang baik.
Membeli salad, sandwich, dan susu dingin. Setelah membayar semua yang ia beli, Ana langsung duduk di salah satu kursi dan meletakkan makanannya di meja.
Ini adalah pertama kalinya ia mendapatkan tip 20 juta hasil bermain panasnya di club malam. Selama setahun ini, para 'orang kaya' yang menjadikannya wanita bayaran dan memakainya, paling banyak menyewanya dengan bayaran 5 juta. Dan ia juga tidak setiap hari melakukan 'pekerjaan sampingan' ini karena tentu saja bagian bawahnya juga harus di jaga agar tetap bersih.
Ana mendengus begitu melihat sebuah notifikasi dari Sasa.
ruang pesan |
Sasa
Hei, hangout yuk!
Memang benar, day off mereka juga berbarengan minggu ini. Sungguh bukan hal yang mengejutkan karena memang jadwal mereka terkadang bertabrakan, dalam artian sama.
Ana
Kmn? Sibuk
Sasa
Sibuk ngapain? Palingan juga kamu cuma tiduran, kayak hari libur biasanya
Ana
Sotau
Sasa
Yaudah, kalau gitu aku ke rumah kamu ya?
Ana memelotot dengan mulut yang penuh dengan sandwich karena ia barusaja menggigit potongan pertama roti isi itu.
Tidak ada satupun orang terdekat Ana yang ia bawa ke rumah, dari dulu. Walaupun orang tersebut dapat diibaratkan sedekat nadi dengannya, namun siapa sangka? Rumahnya tidak terbuka untuk orang lain.
Ana
Kamu melakukannya, aku akan menghajar mu
Aku kamu, itu yang harus Ana terapkan jika berbicara dengan Sasa karena gadis itu kurang nyaman memakai bahasa 'gue-lo'.
Sasa
Yaudah aku tunggu di mall yang biasa kita kunjungi, sampai jumpa!
Read
ruang pesan berakhir |
Dan Ana hanya membaca pesan terakhir Sasa tanpa berniat untuk menjawab perkataan temannya itu yang memang selalu suka memaksa.
"Bodo amat."
Ana tidak peduli. Ia melanjutkan menikmati sarapan ala orang kaya ini. Biasanya kalau di rumah, pasti sang ibu SETIAP PAGI menunya selalu nasi goreng dengan telur. Kata sang ibu, itu adalah menu yang praktis di pagi hari.
Di tengah-tengah Ana sedang menikmati makanan yang ia beli, tiba-tiba saja...
"Hei gadis kecil, kita bertemu lagi."
...
Next chapter