"Awshhh, enak..."
"Lo gila, Dipa, bawa cowok lo keluar dari kamar gue, SEKARANG!"
Ya, ini adalah yang dimaksud Ana tentang keluarganya yang hancur. Ketika ingin masuk ke kamar tidurnya, ia mendapatkan sang adik perempuannya yang tengah melakukan 'olahraga panas' dengan kekasihnya.
Tentu saja kali ini Ana murka, karena mereka melakukannya di kamar tidurnya, tempat yang paling nyaman di rumah ini, setidaknya seperti itu.
Tampak seorang laki-laki langsung memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai, tanpa permisi ke kamar mandi untuk kembali berpakaian, laki-laki itu tanpa malu langsung berpakaian tepat beberapa jarak dari tempat Ana berdiri.
"Oh kurang ajar, lo keluar sekarang atau gue pukul?!" Ana menggertak laki-laki itu dengan tangan yang sudah ancang-ancang di udara dan berjalan mendekati kekasih adiknya, bersiap untuk mendaratkan pukulan ke wajah yang jauh dari kata tampan.
Melihat itu, karena tidak ingin berurusan terlalu jauh dengan Ana, laki-laki tersebut pun memutuskan untuk melesat dan berpamitan pergi dari rumah ini.
Dan sekarang, giliran Ana untuk menatap adiknya dengan sangat tajam, kedua tangannya sudah ia silangkan di depan dada.
"Pergi dari kamar gue,"
"Tapi kak—"
"Inget ya, gue bukan kakak lo sejak kejadian itu."
Ana berkata dengan tegas, ada sirat kekecewaan yang luar biasa dari kedua bola matanya, namun ia bukan wanita cengeng yang menangis hanya karena hal kecil ini.
Adik Ana, bermama Dipsy Zith, kerap di sapa dengan nama panggilan Dipa. Ia adalah gadis berusia 19 tahun, memiliki perawakan yang cantik, tubuh semampai, namun sayangnya ia terjerat oleh kekasihnya yang setau Ana sudah putus.
"Maaf Kak, salah kamar."
"Lo yang salah otak. Gue pikir lo gak bakalan balikan sama si bejat? Dan begonya, lo malah hubungan badan lagi sama dia setelah gue mati-matian jaga harga diri lo?"
Dipa menghela napas, ia mempertahankan selimut untuk menutupi tubuhnya yang naked. Menatap Ana dengan sorot mata takut, ia memang tidak pernah membangkang pada Ana. Bisa di bilang, Ana memang selalu menjadi pelindungnya di kala mendapatkan musibah atau hal tak enak lainnya.
"Aku terpaksa—"
"Apa alesan lo terpaksa? Yang gue denger, desahan lo penuh nikmat." Ana memotong perkataan Dipa sambil berdecih kasar. Ia menatap adiknya dengan kilatan mata yang siap mengeluarkan amarah yang menggebu-gebu, namun masih berusaha ia tahan agar apa yang ia ucapkan tidak menyakiti Dipa.
"Ekonomi keluarga kita turun Kak, aku butuh biaya kuliah. Kerjaan ayah gak nentu, ibu cuma sebagai ibu rumah tangga. Gibran nawarin aku uang seratus juta, asal aku balik dan—"
"Dan hubungan badan sebagai jaminan selama pacaran sama dia?"
"Iya Kak, dan perbulan nanti aku di bayar dua juta, lumayan untuk membantu—"
"Otak lo yang lumayan."
Ana berjalan ke arah Dipa, setelah itu menampar tepat di pipi kanan adiknya itu. "Lo putusin atau—"
"Tapi ibu sama ayah setuju." Lanjutan perkataan Dipa membuat Ana naik darah.
Lihat, penjahat yang sesungguhnya ternyata berasal dari kedua orang tuanya.
Ana tidak bisa menahan emosinya. "Lo, keluar dari kamar gue, SEKARANG!" Ia membentak Dipa, tangannya dengan tegas menunjuk ke pintu kamarnya, menyuruh sang adik untuk benar-benar enyah dari hadapannya.
Dipa tersentak, setelah itu beranjak dari ranjang Ana dengan selimut milik Ana yang masih membalut tubuhnya dengan sempurna, seperti tidak membiarkan bagian tubuhnya terekspos.
Melihat Dipa yang sudah keluar dari kamarnya, Ana langsung keluar kamar sambil menutup pintu yang di hentak dengan kasar. Ia berjalan dengan penuh emosi dan kembali ke tempat dimana Mera dan Tom berada.
Tidak habis pikir kedua tua bangka itu menjadikan anak mereka sebagai alat penghasil uang dan keperawanannya di perbudak, lagi.
Sampai pada akhirnya, indra pendengaran Ana menangkap suara Mera dan Tom yang sedang adu mulut di tempat yang sama seperti sebelumnya mereka membahas tentangnya yang menjadi persia seperti Mera.
"Jika kamu boleh berhubungan badan dengan laki-laki di luaran sana, kenapa saya gak bisa berselingkuh sama wanita lain?"
"Berselingkuh meliputi perasaan, membawa hati, tapi apa yang aku lakukan dengan laki-laki lain bukanlah hal yang mempertaruhkan pernikahan kita dan keluarga ini—"
"Anak-anak menjadi liar itu karena melihat kelakuan mu selama saya tinggal rantau satu tahun."
"Jangan salahkan aku, merantau setahun tidak di beri nafkah, pulang-pulang pun gak bawa apa-apa dan sekarang kamu menjadi pengangguran? Bagaimana finansial keluarga kita tidak turun?"
"Tapi tidak perlu pekerjaan yang zina dan menjijikan—"
Plak (suara uang gepokan yang sengaja Ana jatuhkan ke lantai dengan emosi sehingga keluar suara seperti ini)
Saking kesalnya Ana mendengar perdebatan itu, ia melempar berlembar-lembar uang ratusan dengan nominal 5 juta yang tadi ia tarik dari ATM ke tengah-tengah Mera dan Tom.
"Tuh duit, apa kalian belum puas memperalat Dipa?! Anak kandung kalian sendiri, tega!" Ana menaikkan suaranya, kali ini ia benar-benar murka.
Kenapa Ana bisa semarah ini? Karena dulu Dipa adalah korban pemerkosaan dari kekasihnya sendiri, si Gibran. Dan sekarang, adiknya itu kembali berhubungan dengan seorang laki-laki yang membuatnya trauma? Bahkan Dipa seperti tercuci otaknya yang malah merasa nikmat saat kembali disetubuhi oleh Gibran.
Sick.
Mera dan Tom secara bersamaan menolehkan kepala ke arah Ana yang terlihat murka.
"Ambil, ngapain ngeliatin aku?" Ana kembali bertanya, lebih tepatnya menegur karena kedua orang tuanya hanya berdiam diri.
Mera yang melihat uang bertebaran di hadapannya pun langsung menggelengkan kepala. "Gak perlu, itu uang kamu. Kita ngelakuin itu supaya kamu berenti dan bekerja yang selayaknya—"
"Dan mempertaruhkan mental Dipa? Kalian sebenarnya mementingkan apa sih?" balas Ana.
"Tawaran Gibran besar, seratus juta, belum lagi perbulan ia memberikan uang ke Dipa secara cuma-cuma. Bagaimana kita bisa menolaknya?"
"Cih, kalau sampai aku lihat Gibran nginjek rumah ini lagi atau masih berhubungan sama Dipa, gak segan-segan aku laporin Gibran tentang kasus pemerkosaan tahun sebelumnya yang dia lakuin ke Dipa." Ana mengancam, ia memiliki semua bukti yang kalau kembali di lihat akan sangat menyayat hatinya yang paling dalam.
"Kalian orang tua yang buruk, wajar saja keluarga ini berantakan, begitu juga dengan anak-anak kalian yang hilang arah dan akhirnya tersesat."
Setelah mengatakan itu, Ana kembali berjalan menuju kamarnya. Mengunci pintu serta menggemboknya. Ia adalah wanita yang cerdas, ia memiliki kulkas mini di kamarnya, jadi ia tidak akan kelaparan atau haus karena mengunci diri di kamar.
"Gue rela rusak diri biar adik-adik gue baik-baik aja, jalanin pendidikan yang bener, tapi malah ikut gak bener, sialan."
Ana menendang pintu. Ia berjalan penuh emosi ke arah cermin dan langsung meninjunya, mengakibatkan cermin tersebut langsung pecah berkeping-keping, bahkan menyayat ruas-ruas jemarinya.
Itu tidak menyakitkan, semua luka di tubuhnya tidak ada yang terasa menyakitkan. Bahkan, bekas ungu dari sabetan ikat pinggang di pahanya pun bukan hal yang paling menyakitkan saat ini.
Ana melihat ke arah pecahan cermin, lalu tanpa sadar ia menangis sambil mengepalkan tangannya dengan sangat erat.
Terkadang, membuat pengorbanan yang besar akan terasa menyakitkan. Sudah biasa jika ekspetasi tidak sesuai dengan realita.
Di balik Ana yang bersifat keras, tidak peduli, liar, tentu ya ada sisi gelap yang melahap habis semua kebahagiaannya.
...
Next chapter