Chereads / Ana (21+) / Chapter 6 - About The Harsh World

Chapter 6 - About The Harsh World

Ana dengan kepala panas pun keluar dari rumahnya. Ia tidak habis pikir memiliki orang tua yang menjadikan anak mereka sebagai budak. Hei, benarkan? BUDAK, tolong sematkan itu di otak kalian.

Banyak orang tua buruk di dunia ini, termasuk kedua orang tuanya yang hanya memikirkan bagaimana naiknya finansial keluarga mereka, namun memilih cara seperti ini.

"Susah payah aku mencari uang, malah adikku di peralat oleh laki-laki sialan seperti itu."

Ia mengambil motor pribadi, tentu saja miliknya, hasil dari 'pekerjaan kotor' pertama yang ia dapatkan.

Motor berwarna putih kesayangannya. Bukan motor yang mahal atau model terbaru, tapi ia lebih mengutamakan fungsi daripada gengsi. Karena kalau di hidup ini selalu mengutamakan gengsi, maka ketamakkan manusia tidak akan ada habisnya.

Jangan lupa memakai helm, kini ia pun sudah siap di atas motornya dan langsung melaju meninggalkan halaman rumah beserta dengan isinya yang setiap saat terasa sangat memuakkan baginya.

"Neng, siang-siang mau kemana? Om-om di jam segini lagi pada kerja, nanti malam aja kalau mau cari pria hidung belang!"

Dan ada salah satu suara yang sudah pasti itu untuknya, karena kebetulan Ana lewat dan suara itu langsung menyambutnya. Bagaimana ia tidak merasa? Sudah biasa para ibu-ibu di gank rumahnya selalu berbicara dengan tidak sopan.

Kebetulan motornya masih melaju lambat, ia pun menolehkan kepala ke sumber suara dan menemukan salah satu wanita dari sekian ibu-ibu yang ia benci di pekarangan rumahnya.

Ana pun dengan senang hati turun dari motor, menurunkan standar motor, dan mengunci motornya dengan baik agar saat di tinggal tidak ada yang mencari kesempatan untuk mengambilnya.

Ana adalah pembangkang, tentu saja ia juga meladeni saat ada orang yang menantangnya. Ia tampak berkacak pinggang, dan menaikkan sebelah alisnya menatap ke arah wanita yang saat ini terlihat memakai daster dan memegang sapu lidi di tangan kanannya.

"Barusan lo ngomong sama gue?" Ana pun meminta pengulangan, matanya cukup sinis untuk nada bicaranya yang tenang.

Ibu-ibu yang celetuk perkataan cukup mengundang pemikiran orang ini bernama Ratna. Memang, diantara ibu-ibu di sekitar gank ini, yang tidak pernah kapok untuk Ana tegur adalah dia.

Ratna tampak terkekeh kecil. "Kamu lah, Ana. Jangan pikir kita semua gak tau pekerjaan kamu. Pulang selalu larut malam, menyentuh subuh. Memangnya apa kalau bukan melayani om-om?"

"Oh…" Ana pun membuka ponsel dan menunjukkan kalau ia memiliki grup pekerjaan layak, dan banyak foto-foto dokumentasi laporan hasil kerjaannya yang di kirim ke grup. "Gue kerja sebagai cuci piring di restoran loh, bu. Walaupun jam sepuluh malam udah closing, bukan berarti cucian piring gak numpuk!"

Ratna sudah melihat apa yang tersaji di hadapannya. "Oalah… jadi tukang cuci piring toh. Wajar lah ya, wanita gak berpendidikan, jadi kerjanya asal-asalan." Ia berkata meremehkan, bahkan diakhiri dengan tawa meledek.

Ana menaikkan sebelah alisnya, ia kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Kini sudah ada beberapa warga yang menonton mereka, bahkan mungkin secara terang-terangan kalau dirinya membantah ucapan Ratna yang mengatakan kalau ia selalu bersama dengan pria hidung belang.

Namun, Ana tidak pernah terpengaruh. Ia tidak pernah emosi untuk ikut mencaci maki orang yang merendahkannya, atau bahkan mengotori tangannya untuk sekedar menampar, menonjok, menjambak rambut mereka.

"Sekarang gini ya Bu, gak usah paling sok suci ya di lingkungan ini. Anak Bu RT aja hamil di luar nikah loh, kenapa gak omongin dia? Takut? Oh, harus ada pengaruh besar di masyarakat dulu ya biar gak di omongin?" Ana baru berbicara ini sebagai perawalan, tenang saja. Dan sejauh ia berbicara, Bu Ratna dan beberapa warga lain yang menonton hanya diam.

"Kenapa sih lo semua wanita tua malah ngomongin gue terus? Bu Wiwit anaknya ketahuan ngelakuin hal mesum sama pacarnya di kamar," Ana kembali berbicara sambil menunjuk salah satu wanita yang memang dikenali sebagai nama Wiwit. Si pemilik nama pun hanya menunduk malu.

Keadilan sosial? Mungkin sudah tidak ada disini. Karena Ana berpegangan teguh jika seseorang menginjak-injak namanya, maka ia akan dengan senang hati membuang nama yang menginjaknya di mata masyarakat.

Ia hanya membalas orang-orang yang menginjaknya. Wanita dan laki-laki di sekitar rumahnya bisa terbilang setara, tukang gosip semua.

"Pak Tono, anaknya ketahuan melakukan hal negatif ke siswa SMA. Udah gede loh anaknya, tapi pikirannya blo'on, gak abis pikir." Ana melanjutkan sambil menunjuka laki-laki setengah baya yang memang kerap ikut campur jika ada gosip yang beredar. Dan Pak Tono pun menunduk.

"Dan terakhir nih ya, lo, bu Ratna yang terhormat. Liat dong anak lo jadi perawan tua. Anak lo sarjana, kan? Manfaatin bisa dong? Cari kerjaan yang bagus, yang layak. Masa wanita umur matang hampir menyentuh umur dua puluh lima, jadi pengangguran? Udah gitu tiap minggu, beda-beda cowok di bawa ke rumah." Ana terakhir berkata untuk Bu Ratna yang sepertinya langsung tersentak dengan perkataannya.

"Gue nih ya, lo semua dengerin." Ana mengedarkan pandangan. "Walaupun pendidikan gue gak tinggi, tapi gue masih punya otak. Entah ini udah yang keberapa kali, tapi gue bisa ekspos keburukan di keluarga lo satu persatu kalau masih aja nyenggol kehidupan gue."

Dan setelah berkata seperti itu, Ana pun pergi meninggalkan mereka semua dengan hati yang cukup panas, namun cukup untuk menbuang rasa kesal yang di hadirkan di rumahnya tadi. Ia membutuhkan pelampiasan, dan kembali merendahkan orang lain adalah solusinya.

Kembali pada motor kesayangan tanpa menolehkan kepala lagi ke arah warga, ia segera melajukan motor dan meninggalkan mereka semua yang di selimuti rasa malu karena ada beberapa warga yang tidak ikut-ikutan jadi mengungkit kembali fakta ini sambil berbisik-bisik.

"Tidak ada yang menyuruh mu untuk membicarakan kehidupan orang lain, semua orang memiliki kehidupan masing-masing. Melewati jalan yang benar atau buruk, itu sama sekali bukan urusan mu karena mungkin kamu belum mengenal kerasnya kehidupan."

Ana bersiap ke tempat kerja, ia datang lebih awal untuk mendapatkan makan siang gratis dari chef di restoran yang terkadang juga memakai jasanya di club malam. Tapi tenang saja, chef laki-laki itu tutup mulut dan tidak menyebar luaskan.

Ia pun fokus berkendara, walaupun pikirannya masih sedikit membara.

Kerasnya dunia membuat beberapa orang melakukan pilihan yang salah, tapi itu semua sudah bagian dari takdir. Ana tidak mungkin bekerja hanya sebagai tukang cuci piring di restoran bintang 3 sedangkan keluarganya haus uang. Ada hutang yang belum di bayar, dan juga keperluan rumah tangga juga harus di bayar. Gaji dari hasil cuci piring perbulannya tidak bisa di buat untuk memenuhi semua itu, jadi Ana mengambil pekerjaan sampingan yang meliputi hal berbau negatif.

Ini semua tentang kerasnya dunia.

Next chapter