Chereads / Ana (21+) / Chapter 4 - Sexy Business Card

Chapter 4 - Sexy Business Card

"Hei gadis kecil, kita bertemu lagi."

Ana menolehkan kepala ke suara bariton yang sama seperti malam tadi, yang mengerang namanya dengan sexy dan menambah hasrat dirinya lebih membara.

"Lo?!" Ana menatap laki-laki tersebut dengan dahi berkerut. Baiklah, apakah permintaannya malam tadi telah di kabulkan oleh ibu peri? Bahwa ia meminta untuk bertemu lagi dengan laki-laki ini.

Ya, benar. Sosok itu adalah laki-laki yang sama dengan pelanggan Ana malam tadi.

Denish Albrayn Richard, terlihat mengenakkan tuxedo hitam dengan dasi biru yang menambah kesan kharismatik dari tubuh yang atletis dan Ana bisa bertaruh masih ada jejak cakar dari kukunya di beberapa sudut tubuh sexy Denish.

"Hai, gadis kecil." ucap Denish lagi, kali ini dengan senyuman miring yang seperti memiliki arti tersembunyi.

Ana tidak tau apa maksud dari senyuman itu, tapi oh astaga— Denish terlihat sangat tampan, sungguh.

"Berhenti panggil nama gue dengan gadis kecil, pfft- terdengar menyebalkan." ucap Ana sambil melanjutkan menggigit sandwich di tangannya, tentu saja ia masih menikmati indahnya pahatan wajah Denish yang tampan.

Denish tidak merespon ucapan Ana dengan ekspresi lebih. "Baiklah, siapa nama mu?" tanyanya, sambil menjulurkan tangan seolah mengajak berkenalan.

Ana menaikkan sebelah alis sambil tetap mengunyah makanan di dalam mulutnya, seolah mengunyah makanan sambil berbicara dengan seseorang itu bukanlah hal yang memalukan. "Cara lo basi banget buat ngajak berkenalan, lagipula ini bukan acara resmi yang mengharuskan kita berkenalan." ucapnya, dengan kalimat akhir yang seperti menirukan apa yang dikatakan oleh Denish malam tadi terhadapnya.

Merasa tertantang dengan sifat Ana yang bisa disebut liar(?) Denish kembali menarik tangannya yang tak di sambut dengan baik, ia tidak masalah akan hal itu.

Ana mengalihkan pandangan, menatap ke depan, yang langsung menghadapkannya dengan jalanan, memperlihatkan beberapa orang yang berlalu lalang entah itu jalan kaki atau menggunakkan transportasi.

"Apa urusan laki-laki pekerja berjas kayak lo datang ke toko kecil seperti ini?" Ana kembali bertanya, sebelum Denish sempat mengeluarkan kalimatnya.

Denish melangkah mendekati Ana yang sedang duduk dengan posisi kaki kanan bertumpu pada kaki kirinya. Ia berdiri di belakang wanita itu, dan membungkukkan badan agar bisa menaruh dagu di bahu Ana.

Sekujur tubuh Ana merinding, bahkan ia sempat berhenti bernafas selama beberapa detik, lalu kembali bernapas normal yang napasnya beradu dengan suara napas Denish yang bisa ia dengar dengan sangat jelas.

"Because I want it."

Mendengat ucapan Denish yang seperti mendesah rendah, membuat Ana menelan saliva. Jangan sampai laki-laki di belakangnya ini bertindak cabul di muka umum. Sialnya lagi, kenapa ia tidak bisa melawan? Setidaknya, seharusnya ia memberikan tinjuan maut ke wajah Denish, tapi ia tidak bisa melakukannya.

"What do you want? Go away from here." Ana berbicara dengan nada yang tercekat di ujung tenggorokkan.

Dan sial, hasil dari pertanyaan Ana membuahkan hasil tangan kekar Denish yang mengelus lengannya yang terbuka dengan gerakan sangat sensual.

"Kau tau apa yang aku inginkan." ucap Denish.

Ana menaikkan sebelah alisnya. Terlepas dari ia yang bersusah payah untuk menahan godaan dari Denish, ia juga merasa bingung.

Denish yang melihat Ana sudah gelisah pun langsung menurunkan tangan dari lengan Ana, setelah itu ia menegakkan tubuh seolah tidak pernah terjadi sentuhan sensual untuk wanita di hadapannya.

Denish merogoh sesuatu dari saku jas, dan meletakkannya di meja yang di tempati oleh Ana. "See you again." ucapnya sambil melangkah menjauh sebelum sempat mendengar apa yang akan ditanyakan oleh Ana.

Ana mendengus, lalu lebih dulu menormalkan deru napas agar kembali beraturan. Sebelum pada akhirnya, ia menatap sebuah kartu nama yang diberikan Denish padanya.

"Tuhkan, dia cenayang."

Ana mengambil kartu nama tersebut, dan membacanya. Tertulis jelas disana bahwa ternyata Denish adalah company owner.

Dan dari situlah, muncul sebuah pemikiran yang lebih dari kata gila untuk menggambarkan pikiran Ana saat ini.

"Gue harus berkencan sama dia nih. Dia adalah laki-laki yang kaya, pasti bisa memberikan uang yang cukup untukku. Goodbye a troubled life, and welcome to a happy future with money."

Ana melihat Denish yang berjalan ke arah parkir yang juga memang bisa di pandang dari tempatnya duduk. Ia melihat laki-laki itu sebelum masuk mobil melambaikan tangan padanya, terlihat sangat cool.

Lebih dulu Ana mengambil susu yang ia pesan dan meneguknya agar tenggorokkannya tidak terasa kering, lalu melanjutkan dengan menikmati sandwich kembali walaupun hatinya masih bergerar kencang akibat ulah gila Denish yang sepertinya memang sengaja menguji birahi-nya.

"Untung gak basah."

Ana kembali menaruh kemasan susu ke meja, dan kembali meneliti kartu nama Denish. Disana ada nama lengkap laki-laki itu, tentu saja. Terdapat alamat rumah, alamat perusahaan, dan juga posisi karier-nya pun tertulis bahkan ada nomor telepon.

Sebuah smirk tertampil di wajahnya. Lihat? Ini adalah pesona dari Juliana Moretha. Tanpa ia bersusah payah memohon atau mengemis untuk meminta seorang laki-laki menetap kepadanya, malah laki-laki tersebutlah yang langsung mendatanginya.

"Jadi, Tuan Kaya itu pengen gue kembali memuaskannya? Sebaiknya, kapan ya gue datang kesana?" Ana sedikit menimang-nimang, hei karena ini adalah sesuatu yang penting! "Ah mendingan gue save aja dulu nomor teleponnya, bisa sekalian modus atau tepe-tepe." Ia melanjutkan perkataannya sambil terkekeh kecil.

Ana memasukkan kartu nama milik Danish ke belakang cash ponselnya, ia hanya tidak ingin ibu atau ayahnya mengetahui kalau ia menyimpan kartu nama laki-laki.

"Duh mendingan gue cepet-cepet deh sarapannya abis itu balik ke rumah ngasih duit ke ibu."

Setelah selesai sarapan dan sudah dalam perjalanan pulang dengan jalan kaki. Ya, terkadang di pagi hari seperti ini, jika ingin keluar rumah, Ana lebih nyaman berjalan kaki. Katanya, hitung-hitung sebagai jalan pagi yang terhitung sebagai olahraga ringan.

Lima menit berlalu, dan sampailah Ana di gang rumahnya yang memang biasa dipenuhi ibu-ibu yang seperti tidak memiliki pekerjaan selain meng-gosip satu sama lain, seperti banyak sekali jadwal membicarakan orang yang harus mereka lakukan.

Namun, berbeda seperti tadi Ana ingin berjalan pergi, kini saat ia kembali pun ibu-ibu tersebut menjadi bungkam dan tidak berani untuk mengatakan apapun karena salah satu dari mereka ada yang dikomentari Ana dengan sarkas.

Semua orang memiliki aib, bedanya ada yang ketahuan, dan ada yang masih tersembunyi dan tinggal menunggu waktu supaya bisa terungkap.

Ana lewat tanpa permisi, ia memang tidak akan bersikap sopan dengan orang yang selalu merendahkan orang lain.

Lalu, sampailah Ana di teras rumah.

"Kita punya anak yang udah gede, dia di didik sebesar ini tapi lama-lama tidak tau diri dan bekerja dengan motif yang sama dengan mu, Mera."

"Tapi dia anak mu, kenapa kamu bisa bersikap kasar banget, Tom?!"

"Halah, Ana tumbuh jadi jalang dan kamu masih bela anak kayak gitu?!"

"Mas Tom!"

Plak!

Setelah itu terdengar suara tamparan, mungkin Mera menampar Tom karena perkataan suaminya memang sudah kehilangan akal dan batasan.

Ana berdecih, sebagai seorang anak yang mentalnya sudah di ujung tanduk, ia sudah terbiasa dengan pertengkaran kedua orang tuanya yang berlandasan karenanya.

"Udah tua, jangan pada berantem, malu sama umur." Dan akhirnya, Ana masuk ke rumah dengan santai langsung menuju ke kamarnya.

...

Next chapter