Telapak kaki telanjang itu berjinjit menapaki lantai, ia seakan berjalan dengan sangat hati-hati, entah untuk apa.
Setibanya di samping ranjang besar dengan ornament abu-abu putih itu, Gwen menatap satu set pakaian wanita beserta dalamannya lengkap telah terbentang di sana.
Bukannya senang, karena mendapatkan pakaian yang terlihat sesuai dengan ukuran tubuhnya, Gwen malah kembali terlihat kesal. "Jadi baju gadis yang mana yang kau pinjamkan padaku? Playboy?!" ucapnya sinis.
Sudut matanya mulai melirik ke kanan dan ke kiri, ia kembali waspada, berjaga-jaga dan memeriksa keadaan, jikalau ada manusia lain selain dirinya di ruang kamar yang terbilang sangat luas itu.
Setelah ia meyakini bahwa hanya ada dirinya di kamar tersebut, Gwen pun mulai melepas bathrobenya begitu saja hingga tergeletak di lantai.
Jarinya mulai meraih pakaian yang berada di atas ranjang, mengamati pakaian tersebut, hingga sebelah alisnya pun naik.
Kemudian gadis itu kembali meletakkan atasan tanpa lengan dengan satu tali tertaut menyilang dengan permata-permata berkilauan melingkar di bagian dada itu ke tempat semula.
Kini Gwen pun memulai kegiatan berpakaiannya.
Beberapa menitpun berlalu.
Gadis itu cukup heran, kesemua pakaian tersebut seakan memang di ciptakan untuknya.
Tidak hanya atasan dan Rok nya saja yang terlihat begitu pas di tubuhnya, tapi begitu pula dengan pakaian dalamnya. Ia sama sekali tidak merasa longgar ataupun kesempitan setelah mengenakannya.
Namun ia berusaha tetap mengacuhkan kejanggalan yang sedikit menarik itu, sebab menurutnya, tetap saja itu adalah pakaian pinjam, bukan pakaian yang memang di buat khusus karena dirinya.
'Lalu untuk apa aku bersimpati?' racaunya sendiri dalam hati sembari mencibirkan bibir bawahnya. Ia mengira banyak wanita-wanita di luaran sana yang memiliki tubuh seperti dirinya.
Kini usai gadis itu berpakaian lengkap, sungguh ia terlihat begitu menawan, dengan atasan tak berlengan berwarna coklat, dan bawahan rok mini berwarna hitam, semakin terlihat indah ketika telah di kenakan olehnya.
Meski pakaian tersebut terlihat cukup kekurangan bahan, namun ia tidak keberatan, karena ia juga suka mengenakan pakaian-pakaian mode jaman sekarang.
Hal itu membuatnya merasa normal, selayaknya gadis-gadis pada umumnya.
Gwen hanya menyisir rambut panjangnya kebelakang secara keseluruhan, ia membiarkan rambut gelapnya yang masih basah terurai panjang di belakang.
Membiarkan alam yang mengeringkannya secara perlahan. Tanpa sedikit pun polesan riasan yang menyentuh permukaan kulit wajahnya.
Ya sebab ia memang tidak membutuhkan semua itu, karena, alisnya telah rapi dengan bulu-bulu halus yang tebal.
Bulu mata yang panjang dan lentik, pupil hitam dengan mata besar, hidung yang mancung, pipi yang merona secara alami, dan bibir ranum tebal dan merah semerah delima, dengan belahan di bawahnya.
Gingsul di sebelah kiri, kekurangan yang menambah kecantikan seorang Gwen, yang hanya akan dapat terlihat di saat ia tersenyum.
Meski senyuman itu sering mustahil untuk dilihat, namun gadis itu pernah tersenyum tanpa sadar dengan sendirinya dan beberapa orang pun menyadari, gadis itu lebih terlihat cantik ketika ia tersenyum dan memperlihatkan gingsulnya.
Sungguh ia tidak perlu menambah atau mengubah wajahnya dengan barang-barang kimia seperti makeup kecantikan yang beredar di pasaran, karena wajahnya telah cantik sempurna secara alami.
Kini Gwen bersiap menemui Davion di tempat yang telah di tunjuk Davi sebelumnya padanya.
***
Di suatu tempat, seseorang tengah mematung dan melotot, matanya tanpa sengaja melihat pemandangan dari pantulan cermin, di layar CCTV yang ada di hadapannya.
Ruangan tersebut adalah ruang kerja pribadi milik Davion, selama ini ia tidak pernah menyadari bahwa cermin dapat memantulkan gambaran siapapun jika tengah berada di sekitar ranjang, karena seperti biasa, hanya dialah penghuni satu-satunya kamar tersebut.
Hingga jika dia tengah berada di ruang kerjanya, tentu ia tidak akan melihat siapapun berada di atas ranjangnya.
Hingga hari ini, ia begitu terkejut, dengan mata yang melotot tanpa bisa di alihkan.
Manik coklat itu tengah menyaksikan tubuh polos Gwen yang tak terbalut sehelai benangpun disana.
Kulit mulus dan putih, dengan lekukkan dan beberapa bagian yang begitu terlihat berisi padat dan menonjol, begitu menggoda iman siapapun pria yang melihatnya.
Glek! pria itu kesusahan menelan salifanya.
Wajahnya bersemu merah. Davion pun menundukkan kepalanya, mencoba mengembalikan kesadaran, setelah mematikan layar televisi yang menampilkan pemandangan dari kamar pribadi miliknya itu terlebih dulu.
Klek, seorang gadis tampak langsung membuka pintu kerjanya tanpa aba-aba, membuat Davion terkejut, ia bagai merasa tengah ketahuan telah mencuri sesuatu.
Wajahnya yang tadi telah memerah, kini bahkan bertambah merah, ketika tatapannya bertemu dengan tatapan gadis itu, hingga Gwen pun dapat menyaksikan seberama memerahnya wajah Davion saat ini.
'Sial!' gerutu Davi seakan merasa ketahuan.
"Tidak bisakah kau mengetuk pintu lebih dahulu? Seperti tidak di ajarkan saja oleh orang tuamu tata krama!" umpatnya sengaja hanya untuk, menghilangkan rasa kecanggungan di dirinya sendiri.
Tapi nyatanya, ia malah menciptakan masalah baru, dengan tanpa sadar.
Wajah Gwen menggelap, ia sungguh tidak suka mendengar kalimat yang baru saja di lontarkan Davion padanya.
"Kau ingin menghinaku sesuka hatimu, aku persilahkan, tapi jangan pernah menyebut orang tuaku seperti itu lagi, aku tidak akan memaafkan mu, tidak perduli kau siapa, kekuasaan mu sebesar apa? aku tetap akan menghabisimu!" ancam Gwen dengan nyalang, balik menantang tatapan tajam Davion.
Davion yang melihat ekspresi Gwen kali ini, sungguh seakan tengah bercermin, Gwen memiliki aura yang kuat persis seperti dirinya.
Dan Davion seketika menarik sudut bibirnya menyunggingkan senyum yang nyaris tak telihat.
'Gadis ini benar-benar penuh kejutan.. tidak menyangka, dia memiliki sisi yang seperti ini, cukup menggetarkan hati, meski memang hanya sedikit, tapi perlu ku acungi jempol, karena hanya dia yang pertama.' gumam pria itu berbicara sendiri.
'Aku memang tidak salah pilih!' tambahnya lagi.
Davi pun tak menjawab, kalimat yang jelas terdengar seakan tengah mengancamnya itu.
Ia berusaha mengabaikan, meski hal ini juga tergolong yang pertama baginya.
Pengampunan? tiada yang pantas mendapatkan pengampunan darinya, kec hari ini, dan kalimat pengancaman itu pun terlontar dari bibir semerah delima, gadis di hadapannya.
Gadis itu masih menantang tatapannya ia tetap berjalan secara perlahan mendekat ke arah Davion yang juga masih menatapnya tanpa berkedip.
Kini mereka pun telah saling berhadap-hadapan. Masih dengan tatapan menantang satu sama lain, tanpa ada yang ingin mengalah.
Hingga Davi pun memutus tatapan mereka, bukan karena mengalah, tapi sesungguhnya ia menyerah, dan map hitam yang ada di atas meja kerjanya itu pun menjadi tamengnya, untuk tetap menjaga harga diri di hadapan Gwen.
Terlebih otaknya masih jelas membayangkan tubuh polos Gwen yang tanpa sengaja terekam oleh cctv tadi. Rasanya ia tidak akan mampu berlama-lama menatap tatapan penuh tuntutan tersebut.