Chereads / Peony di Antara Duri / Chapter 1 - Perjalanan Membawa Petaka

Peony di Antara Duri

Karensia
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 109.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Perjalanan Membawa Petaka

Di negara Westegron, tahun 2035.

Sebuah rumah megah tampak menjulang tinggi di daerah pinggiran kota. Dinding batu yang kecokelatan menyimpan kenangan akan penciptaannya sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Antara rumah megah dan pepohonan lebat yang menari-nari ditiup angin terdapat keterikatan yang abadi. Hamparan padang rumput yang indah, hutan kecil, dan danau yang tenang bagaikan para pengiring yang berjaga-jaga di setiap pergantian zaman.

Siapa sangka semua keindahan itu akan segera tersapu oleh tragedi yang akan terjadi beberapa saat kemudian.

Seorang gadis kecil berusia sebelas tahun yang mengenakan gaun putih berlari keluar rumah. Tak lama kemudian, dia berlarian riang mengelilingi danau dan menghilang ke hutan. Meskipun mamanya berulang kali menasihati dia agar tidak menjelajah hutan seorang diri, jiwa petualangan anak itu mengalahkan kepatuhan pada nasihat mamanya.

Di ruang tengah, Sharon Lin sedang berbaring santai di sofa. Kakinya bergoyang-goyang mengikuti irama musik yang menggema di seluruh ruangan. Sementara papanya sedang sibuk dengan tumpukan berkasnya di ruang kerja, mamanya memasak dan berbenah di dapur.

Saat ini, mereka sekeluarga sedang menikmati perasaan terbebas dari tekanan sesaat setelah mengungsi dari negara Mareciland, tempat kelahiran mereka. Di negara Mareciland, Raymond Lin bekerja sebagai pejabat tingkat tinggi di Kementerian Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Namun, perang saudara tiba-tiba bergejolak dan kekerasan merajalela di mana-mana sehingga berdampak pada perekonomian dan stabilitas keamanan negeri itu.

Demi keselamatan mereka semua, Raymond Lin memboyong keluarganya mengungsi ke Westegron, negara terdekat yang dianggap lebih aman. Mereka menempati sebuah rumah megah, yang merupakan vila milik salah satu rekan pejabat yang sedang bepergian keluar negeri.

"Sharon!" seru mamanya, Sylvia Chen, sambil berjalan mendekat. "Di mana Alyssa?"

"Entahlah. Tadi kulihat dia berlari keluar rumah. Paling-paling bermain di halaman atau danau. Jangan khawatir, Mama. Dia tidak akan tersesat jauh hingga ke hutan," sahut Sharon.

Sylvia menghela napas dengan kesal, lalu berjalan menuju jendela kaca dengan pemandangan yang mengarah ke danau.

"Anak itu! Sudah kubilang jangan pergi jauh. Makin dilarang, malah makin melanggar."

Sharon tertawa kecil seraya mengangkat bahunya.

Saat ini dia sedang mengeluarkan tablet canggih miliknya dan membuka satu aplikasi khusus, Black Ink. Bagi orang awam, sekilas aplikasi ini mirip permainan game ponsel dengan fitur permainan teka-teki interaktif untuk manajemen waktu. Namun, aplikasi itu sebenarnya merupakan kamuflase organisasi intelijen dan mata-mata internasional, Gatekeepers, sebagai alat komunikasi para agen rahasia yang tersebar di seluruh dunia. Untuk menggunakan aplikasi itu pun harus membukanya melalui tautan di situs web gelap dengan browser khusus.

Setelah masuk dengan menggunakan kode dan sandi rahasia berlapis, Sharon memindai suatu lokasi di belahan utara bumi. Saat mengeklik lokasi itu, muncul beberapa jendela informasi.

'Kotak Pandora sudah terbuka.'

'Persefone diculik.'

'Kembali ke dunia bawah.'

Setelah jeda sepuluh detik, muncul jendela lain yang bertuliskan "GAME OVER".

Sharon mengernyit, matanya memancarkan kecemasan. Pesan itu hanya berisi tiga baris kalimat singkat, berupa kata sandi yang maknanya hanya bisa dimengerti olehnya. Inti dari pesan itu adalah misi gagal, data rahasia sudah dicuri oleh lawan, dan dia diminta segera menghubungi markas besar.

Semua pesan yang muncul di aplikasi Black Ink hanya bersifat searah, artinya Sharon hanya bisa menerima pesan dan tidak bisa membalas kembali pesan itu. Komunikasi dengan markas besar hanya bisa dilakukan dengan cara lain, yaitu dengan aplikasi Voiceless Well. Aplikasi itu menggunakan alat komunikasi terenkripsi aman antisadap yang menyembunyikan semua jejak panggilan, teks dan email.

Setelah menyelesaikan semua urusannya, Sharon bergegas bangkit berdiri dan berjalan menuju ruang kerja papanya. Setelah mengetuk pintu, dia buru-buru berjalan masuk.

"Papa, ada masalah besar."

Raymond mengangkat wajahnya dari balik tumpukan dokumen di mejanya.

"Ada apa?" Dia memberi isyarat pada Sharon agar berbicara pelan dan menutup pintu.

"Data rahasia bocor. Lawan sudah mengetahuinya dan mungkin mereka sekarang sudah bertindak lebih ekstrem," bisik Sharon dengan cemas.

Raymond mengernyit. Selama ini, hanya dia yang tahu pekerjaan Sharon yang berkaitan erat dengan pekerjaannya. Karenanya, dia berhak tahu setiap perkembangan terkini. Meskipun tahu putrinya harus menghadapi ancaman besar setiap waktu, dia percaya Sharon cukup pintar dan lihai dalam menghindari bahaya.

Kali ini mereka harus menghadapi jaringan kejahatan internasional bernama Doombinder. Jaringan ini bertanggung jawab atas kasus genosida besar-besaran dan perang yang berkecamuk di berbagai tempat di belahan bumi, serta kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini termasuk pencucian uang, penyelundupan manusia, kejahatan siber dan perdagangan manusia, obat-obatan, senjata, ancaman kepunahan hewan, organ tubuh, senjata kimia dan biologi atau material nuklir.

Yang terutama dan paling mengancam kehidupan umat manusia adalah Doombinder berhasil menciptakan senjata kimia paling ampuh sepanjang sejarah bernama Cnivida. Berbeda dari jenis-jenis senjata kimia dan biologis yang sudah lama ada, konon Cnivida mampu melenyapkan seluruh makhluk hidup dalam sekejap tanpa gejala apa pun.

"Papa, apa yang harus kita lakukan sekarang? Lawan selangkah lebih maju dari kita. Selain senjata kimia Cnivida, kabarnya mereka punya Superkomputer paling canggih bernama Minerva. Dengan kemampuan sehebat ini, mereka mampu meretas sistem apa pun. Aku khawatir ... "

Raymond menghela napas. "Kenapa?"

"Kurasa mereka bahkan mampu meretas semua data agen rahasia Gatekeepers dan melenyapkan semua anggotanya."

Sharon mengucapkan kalimat terakhir itu dengan lirih. Dia sadar, kali ini nasibnya berada di ujung tanduk. Dia hanya bisa berharap untuk yang terbaik, tetapi bersiap-siap untuk menghadapi hal terburuk.

"Kekhawatiranmu terlalu berlebihan, Sayang."

Meski berusaha menghibur putrinya, Raymond tetap merasa bimbang. Biasanya, analisis Sharon selalu tajam dan pintar membaca peta rencana aksi lawan. Sudah banyak kasus yang berhasil ditangani putrinya itu tanpa kesalahan atau kelalaian sedikit pun.

"Perang sipil sering terjadi sejak berabad-abad lamanya di berbagai negara. Konflik etnis yang terjadi di negara kita juga bukan hal yang baru."

Sharon menggeleng. "Papa tahu, 'kan? Genosida dan perang sipil termasuk aksi Doombinder dengan menyebar isu-isu pemecah belah antar etnis. Dua etnis besar di negara kita kini bertarung hebat hingga menelan ribuan korban jiwa dan bahkan terus bertambah. Ini belum pernah terjadi sebelumnya karena dampaknya meluas sampai ke negara-negara lain."

"Kita cukup beruntung bisa terhindar dari bahaya dan berhasil mengungsi ke negara ini. Namun, tidak ada tempat yang aman di dunia yang penuh kemelut. Jangan pernah lupakan juga nasib para warga yang terjebak di sana," imbuhnya.

Sharon melanjutkan, "Doombinder sudah memetakan negara-negara mana saja yang berpotensi rawan konflik. Pola-pola aksi mereka selalu sama. Mereka menyebarkan isu-isu sensitif lewat orang-orang mereka yang membaur dengan warga setempat. Dengan siasat licik mereka, ini seperti menekan tombol pada Superkomputer dan secara otomatis mengaktifkan kekacauan di mana pun mereka inginkan."

"Papa, kita berhadapan dengan kekuatan super yang tak terkalahkan di dunia ini. Aku punya firasat, perlahan-lahan Doombinder akan berhasil menguasai dunia ini di segala bidang. Kita tidak pernah tahu seberapa cepat mereka mampu menjalankan aksi secara besar-besaran. Seperti bom waktu, tinggal menunggu waktu saja."

Sharon menjelaskan dengan penuh emosi, bercampur antara kegelisahan, ketakutan, dan kemarahan.

Kemudian, hening sejenak. Raymond merenungkan kata-kata putrinya dan mulai berpikir keras.

Tiba-tiba, terdengar gedoran keras di pintu depan yang memecah kebisuan.

Tak berapa lama, mereka mendengar Sylvia bergegas membuka pintu depan, kemudian diikuti teriakan kerasnya dan suara kegaduhan banyak orang di ruang tengah.

Raymond dan Sharon terkesiap dan saling berpandangan dengan panik. Mata mereka membelalak dan memancarkan kengerian luar biasa. Jantung mereka berpacu lebih kencang saat bersiap menghadapi hal terburuk yang akan menimpa.

Kebisuan di ruang kerja itu mendadak begitu mencekam sehingga bunyi denting jarum jatuh pun bisa mereka dengar.

Terdengar derap langkah sepatu lars mendekati pintu ruang kerja.

Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima ...

Sharon menghitung dalam pikirannya. Keringat mulai membasahi sekujur tubuhnya. Ketakutan merayap perlahan dan membuat sekujur tubuhnya seakan-akan lumpuh seketika.

Beberapa saat kemudian, pintu dibuka dengan kasar dan di sana berdirilah sekelompok pria berpakaian tentara Westegron dengan bersenjata lengkap. Wajah mereka tampak garang dan menakutkan. Seketika Sharon membelalakkan matanya dan menahan napas.

"Cepat keluar atau harus kami paksa!" perintah seorang tentara, sepertinya pemimpin pasukan itu. Wajahnya tampak dingin dan datar saat menodongkan senjata ke arah Raymond dan Sharon. Beberapa tentara menggiring keduanya keluar ruangan dan mendorong mereka ke ruang tengah dengan kasar.

Di ruang tengah, Sylvia duduk lemas di lantai sambil menangis terisak-isak dan terlihat sangat ketakutan. Rambutnya acak-acakan. Sekujur tubuh mamanya itu basah kuyup, entah karena keringat atau air kencingnya sendiri.

Sampai detik ini, Raymond dan Sharon masih berusaha mempertahankan ketenangan mereka, meskipun pergolakan berkecamuk hebat dalam batin mereka.

"Ada apa ini? Aku adalah pejabat tinggi di negara Mareciland yang kebetulan berlibur di sini," kata Raymond memberanikan diri.

"Aku tidak butuh penjelasanmu!" sahut pemimpin tentara itu. Kemudian, dia menghantam perut Raymond dengan senjata di tangannya. Raymond mengaduh kesakitan. "Kami hanya menerima perintah dari komandan untuk membersihkan area sekitar sini dan menghabisi siapa pun yang coba menghalangi."

Tenggorokan Sharon serasa tercekat. Maut mulai membayang-bayangi pelupuk matanya. Aroma kematian seolah memenuhi seisi ruangan itu.

Pemimpin tentara itu kemudian menoleh ke arah Sharon dan mengamat-amatinya, lalu memerintahkan, "Hei, Cantik! Kamu terlalu cantik untuk disia-siakan." Kemudian, dia memberi isyarat kepada para bawahannya agar membawa Sharon menuju ruang makan.

"Tidak!" Sylvia berteriak, tetapi mulutnya langsung dibekap oleh seorang tentara.

"Diam! Atau sebentar lagi giliranmu!" seru tentara itu dengan kejam.

"Apa yang akan kalian lakukan!?" teriak Raymond. Namun, sebuah pukulan senjata pada punggungnya membuat dia jatuh tersungkur mencium lantai. Salah seorang tentara menekan tubuh Raymond ke lantai dan menyentakkan kepalanya dengan kasar. Saat ini, dia melihat Sharon mulai dibaringkan secara paksa di atas meja makan yang berukuran besar.

"Sebentar lagi, kamu akan menyaksikan pertunjukan yang hebat," sahut tentara itu. Raymond terkesiap dan sadar pada apa yang akan dilakukan manusia-manusia bejat itu terhadap putri kesayangannya. Tanpa terasa air matanya menitik. Dia tidak mampu berkata-kata.

Kali ini, meskipun Sharon mencoba berontak dan berteriak sekuat tenaga, dia tidak bisa bergerak sedikit pun. Kedua tangan dan kakinya dicengkeram erat-erat oleh para tentara itu.

Beberapa saat kemudian, Raymond terpaksa harus menutup matanya karena tidak tahan menyaksikan putrinya harus menanggung siksaan sehebat itu. Satu demi satu, orang-orang itu bergiliran memuaskan nafsu bejat mereka.

"Tidak! Jangan! Kumohon!" seru Sharon.

Makin keras dia berteriak, makin mereka beringas dan tertawa-tawa saat menyiksa gadis itu.

Sharon merasakan kesakitan luar biasa di bagian pribadinya, bahkan mulai mencium bau anyir darah. Tubuhnya berguncang hebat, kepalanya pusing bukan main dan perutnya mulai bergolak. Ketika memalingkan mukanya hendak memuntahkan seisi perutnya, matanya tanpa sengaja menatap ke arah jendela samping. Dia melihat Alyssa berdiri di depan jendela dan menatap ke dalam ruangan dengan mata membelalak ngeri.

Saat itulah Sharon menguatkan dirinya dan berusaha memberi tanda isyarat lewat kejapan matanya, menyuruh Alyssa lekas-lekas pergi bersembunyi. Anak pintar itu sepertinya paham maksudnya dan kemudian cepat-cepat menjauh dari jendela. Dia tidak tahu nasib Alyssa nanti. Di tengah situasi tanpa harapan dan sisa kekuatan terakhirnya, dia hanya berdoa semoga kemujuran berpihak pada adiknya.

"Jangan sia-siakan kesempatan! Kita diperintahkan komandan untuk melakukannya!" seru pemimpin tentara itu.

Tak lama kemudian, hati Raymond makin remuk redam saat menyaksikan istri tercintanya juga menanggung siksaan serupa yang dialami putrinya. Lututnya lemas karena dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong keduanya. Dengan kemarahan yang luar biasa memuncak, dia hanya bisa menangis dan berteriak.

Beberapa saat kemudian setelah siksaan panjang, Sharon dan mamanya dipaksa menyaksikan Raymond disiksa habis-habisan dan dimutilasi oleh kawanan binatang itu, hingga akhirnya peluru menembus kepalanya dan berakhir dengan kematian. Raymond pun roboh dengan tubuh bersimbah darah.

"Tidak!" rintih Sharon dan mamanya serempak disertai derai tangis mereka.

Setelah menyaksikan kekejaman yang mereka lakukan terhadap papanya, Sharon juga dipaksa menyaksikan nyawa mamanya terenggut di tangan mereka. Penglihatannya menjadi kabur saat air mata memenuhi matanya. Akhirnya, dia menjadi seperti seekor domba tak berdaya yang menanti giliran dibantai di tempat penjagalan.

Hancur, semuanya hancur. Ada genangan darahnya sendiri dan dia terbaring di atasnya. Sekujur tubuhnya serasa luluh lantak, dia bisa merasakannya. Menahan rasa sakit bukanlah pilihan karena nyeri yang menyiksa tampaknya menghancurkan organ dalam tubuhnya.

Dia sangat lelah dan tidak sanggup menahannya lebih lama lagi. Dia harus terus berbaring dan menutup matanya. Dia seperti sudah mati bahkan sebelum ajal menjemputnya.

Tiba-tiba dia merasa sangat kedinginan dan tidak menyadari ini sebelumnya. Tubuhnya mulai menggigil dan mati rasa.

Semua akan segera berakhir dan dia bisa beristirahat selamanya.

Tak lama kemudian, dia bisa merasakan sebutir timah panas menembus dadanya dan seketika kegelapan menyelimutinya.

Selamat tinggal dunia!