Chereads / Peony di Antara Duri / Chapter 3 - Terdampar Bersama

Chapter 3 - Terdampar Bersama

Sharon Lin menghadapi masalah gawat ketika dia terbangun. Dia tidak tahu apakah dia sedang berada di alam mimpi berkabut ataukah berada di dunia nyata yang samar-samar. Dia tidak bisa mengenali lingkungan sekitarnya!

Dia merasakan sekujur tubuhnya remuk redam, bahkan rasanya begitu sulit menggerakkan kepala, tangan dan kakinya. Dia hanya mampu membiarkan matanya mengerjap, berusaha menjernihkan penglihatannya dan menajamkan seluruh indranya.

Sejak pertama membuka matanya, yang dia lihat hanyalah langit biru cerah dengan awan putih berarak-arak dan sinar matahari yang menghangatkan tubuhnya. Lidahnya mengecap rasa asin di seluruh mulutnya.

Ketika tangannya mampu bergerak perlahan, dia bisa meraba tanah di bawahnya dan merasakan pasir laut. Hidungnya bisa mencium bau asin dari angin sejuk yang berembus menyapu tubuhnya yang terbaring lemah. Samar-samar telinganya bisa menangkap debur ombak lautan yang memecah ke pantai.

Aku sedang berada di pantai, pikir Sharon. Mengapa aku bisa terdampar di sini? Bukankah tadinya aku berada di negara Westegron bersama keluargaku?

Satu hal yang masih membekas sangat jelas dalam ingatannya adalah bagaimana dia mengalami siksaan hebat oleh para tentara Westegron, kemudian dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan bagaimana kawanan binatang itu menyiksa papa dan mamanya hingga maut menjemput mereka berdua.

Dia bahkan tidak tahu bagaimana nasib adiknya, Alyssa. Dia tidak mengerti mengapa tentara Westergron tiba-tiba bisa menyerbu kediaman itu. Yang jelas, satu tragedi berdarah telah menghancurkan kebahagiaan dan kedamaian seluruh keluarganya.

Mengingat semua itu, Sharon tiba-tiba merasakan tubuhnya bergetar hebat dalam kemarahan tak terkendali yang memuncak dalam dirinya. Wajahnya muram, tanpa terasa air matanya menitik. Air mata hangat yang terasa asin mengalir di pipi pucatnya yang lebam dan bengkak.

Beberapa saat kemudian, ketika dia mulai tenang dan kesadarannya pulih kembali, berbagai pertanyaan terus mencecar benaknya dan menuntut jawaban, tetapi dia menyadari bahwa dia hanya seorang diri di sini, di negeri antah berantah tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.

Bukankah dia sudah mati? Bukankah dia merasakan timah panas menembus kepalanya beberapa saat lalu? Apakah itu cuma mimpi?

Sepertinya dia tak sadarkan diri cukup lama ...

Dia seharusnya mati, tetapi entah bagaimana dia malah tiba di tempat asing ini, bukannya menjumpai Dewa Kematian.

Tentu saja, dia menyadari bahwa dia tidak sedang berada di sebuah lokasi syuting. Tidak terlihat kehadiran para kru di sekitarnya.

Hanya satu kemungkinan yang pasti.

Dia telah melintas ke ruang dan waktu yang berbeda!

Dengan bersusah payah, dia mencoba duduk. Bulu kuduknya meremang, seolah tersentak dari mimpi buruk. Dia mendapati dirinya sedang berada di sebuah lembah tinggi dengan tebing curam dan pantai di bawahnya.

Seluruh pemandangan ini sama seperti kebanyakan pantai lainnya. Hanya saja, tidak ada keramaian orang-orang yang bersenang-senang di tepi pantai. Satu-satunya benda yang menjadi penghubung dengan zaman kuno ini adalah sebilah pedang panjang yang tergeletak di sampingnya.

Dia mengamati lingkungan kuno di sekitarnya dan dengan gamang mencubit pergelangan tangannya yang putih dengan keras.

Aduh!

Jadi, ini bukan mimpi. Dia benar-benar ... melintasi perjalanan waktu.

Sialan! pikirnya gusar. Inikah ujian yang lain? Menghadapi situasi aneh seperti ini tak lama setelah bangun, itu sama saja seperti menginginkan kematiannya lagi, 'kan?

Tidak. Dia harus mencari cara untuk pergi dari tempat sialan ini.

"Nona, rupanya kamu sudah bangun."

Suara seorang pria tiba-tiba mengejutkannya, mengaktifkan seluruh indranya dan meningkatkan kewaspadaannya hingga level tertinggi. Ternyata dia tidak sendirian. Ada orang lain, dan mungkin tidak hanya satu orang. Meskipun pria itu berbicara dengan bahasa asing, anehnya Sharon bisa memahami ucapannya.

Dia seharusnya cepat kabur selagi masih ada kesempatan. Namun sekarang, nasi sudah menjadi bubur, penyesalan tiada gunanya. Peluang sering kali muncul dalam hitungan detik - setelah engkau melewatkannya, sirnalah sudah.

Sharon kehilangan akal. Haruskah dia terus berpura-pura mati atau melawan? Dia tentu bukan tandingan pria itu. Dia bahkan mungkin harus menderita beberapa pukulan yang justru menyebabkan seluruh situasi menjadi kekalahan telak baginya.

Langkah kaki itu perlahan mendekat, nyaris tak terdengar, tetapi Sharon bisa merasakan pria itu makin dekat, kemudian berdiri menjulang di depannya.

Dia tidak sanggup berpura-pura lagi. Dia beringsut menjauh dari pria itu dan menjangkau sebilah pedang yang tergeletak tak jauh dari tempatnya itu, lantas mengarahkannya ke lehernya - lebih baik mati daripada tunduk pada pria itu. "Jangan mendekat atau aku akan bunuh diri!"

Namun, begitu dia mendongak dan memandang pria itu lekat-lekat, seketika otaknya menjadi buntu dan dia menjadi linglung bagaikan keledai dungu. Tanpa disadari, dia menatap pria itu dengan mulut setengah terbuka. Untunglah air liurnya tidak sampai menetes.

Astaga! Benarkah ada manusia setampan itu di zaman kuno?

Baru saat itulah dia melihat sosok pria itu dengan jelas.

Seorang pria berpakaian hanfu - busana tradisional bangsa Han Tionghoa yang berasal dari Tiongkok. Pakaian zaman kuno serba putih dengan jubah berlapis-lapis itu berkibar-kibar tertiup angin, membuatnya terlihat sangat menakjubkan. Rambutnya diikat tinggi membentuk sanggul kecil di atas kepala dengan hiasan rambut sederhana dari batu giok. Gaya pakaian ini ...

Sharon hanya bisa melihat gaya pakaian seperti ini di film. Menurut cerita ayahnya, leluhur mereka pada zaman dahulu juga mengenakan pakaian sejenis ini.

Dengan tatapan waspada, Sharon bertanya, "Si ... siapa kamu? Apakah kita saling mengenal? Apakah kita sudah menikah?"

Zhu Longwei tetap diam tanpa menggubris rentetan pertanyaan itu, melainkan berjongkok di depannya. Itu bahkan membuat Sharon makin waspada.

Pria itu berada tepat di depannya, membuat Sharon bisa memperoleh gambaran yang sempurna tentang seorang pria berusia sekitar tiga puluhan, berwibawa dan lemah lembut, kepalanya bertumpu pada satu tangan, senyum dingin tersungging di wajahnya.

Mata tajamnya yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi itu membuat Sharon terpesona. Bibirnya yang terukir sempurna sedikit terangkat membentuk seringai, dan seluruh gambaran itu hanyalah satu kata - tampan, dia adalah pria yang sangat menawan.

Sharon mendesah kecewa, sejenak melupakan tekadnya untuk menghalau pria itu. Di masa lalunya, di sela-sela waktu luangnya setelah bekerja, dia adalah penggemar fanatik film dan drama. Teman-temannya harus ganteng, para aktor di film dan drama yang dia tonton harus tampan, dan dia bahkan punya impian menikahi seorang pria yang menawan.

Sayangnya, dia mati sebelum harapannya bisa menjadi kenyataan. Tak terpikir olehnya bahwa surga akan memberkatinya dengan bertemu pria setampan itu saat pertama kali membuka matanya setelah perjalanan lintas waktu ke masa lalu.

Saat merenungkan situasinya, dia tidak bisa mempertahankan sikap galaknya semula. Setelah mengingat segalanya, tampaknya masih bisa diterima bila dia menyerahkan dirinya kepada pria tampan ini jika dia benar-benar tidak berhasil kabur.

'Amit-amit! Sharon, kamu sudah gila? Betapapun tampannya pria itu, dia tetap saja manusia terbelakang dari zaman kuno!' Sharon membenci dirinya sendiri karena terjerat oleh ketampanan pria itu dan tanpa sadar mempererat cengkeraman pada gagang pedangnya. Dia kembali bersikap galak seperti sebelumnya dan membelalakkan matanya pada pria itu.

Zhu Longwei mengamati perubahan emosi yang jelas tergambar di mata gadis itu, antara tekad dan bimbang. Baginya, itu seperti terlihat sikap yang berpura-pura. Jika gadis itu memang berasal dari keluarga terhormat, dia tentu akan mempertahankan gengsinya dan tidak akan goyah.

Mungkin dia hanyalah gadis ingusan dan manja yang dilahirkan dengan sendok perak di mulutnya. Dia terbiasa memberi perintah, menerima segala kemewahan, dan semua orang selalu menuruti seluruh kemauannya.

Dengan alis terangkat, pria itu tersenyum jahat. "Gadis keras kepala, aku suka."

Dengan secepat kilat, dia mengulurkan tangannya dan melancarkan beberapa jurus yang tak terduga seperti ilmu sulap. Dalam sekejap, pedang di tangan Sharon berpindah tangan setelah dia merasakan sensasi kesemutan di pergelangan tangannya. Kemudian, pria itu melemparkan pedang itu ke sampingnya, lalu mengulurkan tangannya ke arah Sharon.

Begitu tangan pria itu terulur lebih dekat ke tubuhnya, Sharon menjadi lebih waspada dan tubuhnya menegang. Ingatan tentang peristiwa perkosaan yang telah menimpanya, membuat sekujur tubuhnya bereaksi secara luar biasa. Pada saat ini, dia merasakan tubuhnya memanas dan ada suatu kekuatan entah dari mana terhimpun dalam dirinya.

Dengan segenap kekuatannya yang masih tersisa, perlahan dia mengulurkan kedua telapak tangannya dan melancarkan pukulan hebat ke dada pria itu. Dia tidak menyadari dampak kekuatan pukulannya sendiri hingga kemudian melihat pria itu terjengkang beberapa jengkal dari tempatnya berada.

Gila! Sejak kapan aku punya kekuatan sehebat itu? Apakah ini yang disebut tenaga dalam? batin Sharon.

Zhu Longwei tidak siap menerima pukulan yang dilancarkan secara tiba-tiba itu. Mukanya seketika merah padam. Untunglah tenaga dalamnya sangat hebat sehingga tidak membuatnya terluka gara-gara pukulan itu. Namun, memar di pantatnya gara-gara terjengkang lumayan nyeri dan membuatnya tidak bisa menahan rasa malu dan marah.