Aku terbangun dari tidur mendengar bunyi ponsel yang bertubi-tubi. Ah, aku lupa meng-silent ponselku. Suaranya sangat berisik sehingga mengganggu mimpi indahku.
Mataku masih tetasa sipit. Ku lihat kearah jendela, belum ada sedikitpun cahaya yang mencoba menerobos masuk kedalam. Segera ku raih ponselku, membuka kunci dan menekan notif bernamakan Rio. Aku mengubah posisi berbaring menjadi duduk, mengucak mata terlebih dahulu sebelum fokus melihat pesan darinya.
Rio Gingsul : Masih idup kok.
Rio Gingsul : ada apa?
Rio Gingsul : P
Rio Gingsul : P
Rio Gingsul : P
Hanya ini? Hanya segini kalimat yang di balas Rio? Handphone-nya di bajak kali yah?! Tapi, siapa yang bajak HP Rio pagi-pagi buta gini Atau Si Rio di culik terus yang nyuliknya ini yang bales. Wah, gawat.
Iya otak lo Ta, gawat!
Heran. Tumben banget dia balas cuek gini. Biasanya juga balas, 'masih hidup kok. Lo gimana? Udah tepar? Atau insom lagi? Gak bisa tidur yah, kalo gitu sini gue tidurin.' Emang dasar omes tuh anak! tapi gue suka. Dimana? Dimana balasan chat panjang lebar yang selalu ku rindukan, Riooo?
Nagita Alana : Sedang menulis pesan...
Balas apa yah? Tanya dia ngapain, takut disangka kepo. Tanya kabarnya, tiap hari kan dia absen muka mulu di depan gue. Tanya kesibukannya, please deh! Gue bukan host acara talkshow.
Sangat susah untuk mempertahankan chat dengan my crush, tapi jika itu adalah orang yang biasa-biasa saja aku bisa memperpanjang obrolan bahkan bisa berjam-jam membaas sesuatu yang tidak penting dengannya. Untuk saat ini, aku mungkin butuh tutorial untuk bisa berbincang dalam waktu yang lama dalam chat bersama dengan orang yang disuka.
Lalu, apa yang harus ku lakukan agar chat ini berkepanjangan.
Kling.
Rio! Rio nge-BM gue.
Mataku terbuka lebar melihat pesan dari Rio datang. Dengan takut-takut aku membuka BBM tersebut dan melihat apa yang kali ini Rio kirimkan untukku
Rio Gingsul : Sholat subuh dulu sana.
Yippy! Akhirnya, ada pembahasan juga. Terimakasih Ya-Rabb!!!
Aku meloncat kegirangan karena tidak perlu memikirkan pambahasan apa untuk membalas pesan Rio beberapa menit lalu.
Eh, tunggu. Astaghfirullah, Nagita. Jangan gitu, sholat karena sesuatu selain allah itu riba. Astaghfirullah halazim, Astaghfirullah halazim, Astaghfirullah halazim, aku mengelus dada. Untuk menyingkirkan hatiku yang meleleh aku menjadi alim dalam waktu beberapa menit.
Nagita Alana : iyah, lo juga yah.
Sudah hanya itu saja balasanku, tidak ada kalimat lain setelahnya.
Padahal semalaman aku menunggu Rio membalas pesanku, tapi ketika aku mendapatkannya aku malah bersikap seperti ini, sungguh tidak patut dicontoh.
Balasan yang aku kirim padanya memang terkesan apatis, tapi dalam hati girang setengah hidup. Tadinya mau gue balas, iyah calon imamku. Suatu saat nanti akan ada saatnya kita sholat bukan hanya diwaktu yang sama. Tapi, juga ditempat yang sama. Di mana kamu yang membaca Al-Fatihah dan aku yang mengamini.
Tapi, gak jadi. Takut dia langsung koma setelah baca itu.
Tapi, bukan itu sih alasan sebenarnya, takutnya dia jijik aja pas baca.
Setelah itu aku sholat subuh, kemudian bersiap untuk berangkat sekolah.
Waktu berlalu begitu cepat, setelah sudah bersiap dengan seragam sekolah aku memoleskan sedikit pelembab dikit agar bibirku tidak terlihat kering.
Tiba-tiba saja seseorang menggedor-gedor pintu kamarku, aku terkejut di buatnya. Dari suaranya aku sudah mengetahui itu, itu pasti Rio. Dia orangnya memang tidak sabaran, padahal ia sudah tahu kalau perempuan itu akan lama saat bersiap-siap untuk pergi.
"Nagita!!! Ta, udah siap belum? Lelet banget, Sih. Lele aja gerakannya gesit." aku membuka pintu kamarku dan mendapati Rio yang jenuh menunggu dengan tangannya yang menggedor-gedor pintu. Kita memang berangkat bareng ke sekolah.
"Apaan sih lo gedor-gedor kamar gue aja, berisik tahuuu!!!" teriakkku ketika membuka pintu kamar, di depan wajahnya aku mengatakan hal tersebut. Rio memejamkan matanya sembari menutup kedua telinga untuk meminimalisirkan kerusakan akan indra pendengarannya.
"Gak usah teriak-teriak juga kaliii," protes laki-laki itu.
"Siapa duluan yang tadi teriak hah?" balasku tidak mau kalah.
"Tapi kan gue teriaknya gak di depan muka lo!"
Baru saja ingin aku balas, Mama menghampiri dan merelai kita berdua. Aku menahan emosiku, kalau tidak ada Mama mungkin laki-laki ini akan kalah telak.
Rio yang tadinya menatapku dengan tatapan menantang, tiba-tiba saja berubah menjadi sopan di hadapan Mama. Dasar, nih anak banyak banget mukanya, tapi entah kenapa gue malah jatuh cinta sama dia.
"Nagita, Rio, Sarapan dulu sayang," ucap Mama dengan lembutna.
"Iya, Mah," kataku dengan nada malas karena masih kesal.
"Iya, Tante," ucap Rio dengan sopan di hadapan Mamaku.
Aku menatapnya kesal dengan berubahnya sikap laki-laki itu dalam waktu sekejap saja.
Kita berdua pun turun dan segera sarapan. Aku harus update tentang sosial media, jadi sembari makan aku memainkan ponselku.
"Nagita! Kalo makan itu ponselnya taruh dulu." Melihat kebiasaanku yang tidak baik membuat Mama menegurku. aku mendongakan kepala melihat Mama yang sudah bertanduk dengan kebiasaan burukku yang makan sembari memainkan ponsel.
"Iya, Mah. Bentar lagi."
"Dasar, anak jaman sekarang. Dikasih fasilitas bukannya semangat malah malas," sela Papa garing.
Pah, engkau menyindirku.
"Dikasih handphone mahal, di kasih duit jajan, di penuhi kebutuhannya sama orang tua. Hari gini masih saja jomblo."
Pah, engkau bicara apa?
"Dulu ya, Mama kamu aja gak punya apa-apa bisa tuh narik perhatian Papa. Ini malah yang semua punya, beluuum pernah gandeng pacar ke rumah." Papa melongos, "yang kesini. Rio lagi, Rio lagi."
Aku melihat Rio yang dengan lahapnya menyantap nasi goreng buatan Mama.
"Pah, papa ini ngomong apa sih?" bingung Mama.
"Biarin aja. Lagian, Nagita ini sudah besar. Sudah SMA. Sangat sayang jika masa muda gak dihiasi oleh cinta. Toh, masa muda yang paling dikenang adalah masa-masa SMA. Rugi kamu sebesar ini gak kenal cinta!" aku memutar bola mataku. Pah aku bukannya gak kenal cinta, hanya saja aku menunggu orang yang gak peka di samping Papa ini, Rio.
"Tau, makannya cari pacar!" ledek Rio seraya meraih segelas susu putih hangat. Ish, ini lagi ikut-ikutan aja!
"Gimana kalo Rio yang jadi pacar Nagita?"
Kita berdua pun tersedak mendengar apa yang dikatakan Papa.
Mama dan Papa menyodorkan air minum untukku dan Rio. Kami sama-sama meneguknya, lalu mengatur nafas, menetralkan detak jantung. Gimana kalo Rio yang jadi pacar gue? pertanyaan macam apa itu?
"Kalian jodoh mungkin, keselek aja sampai barengan gitu." Aku membulatkan mata, lalu melirik Rio yang juga melakukan hal yang sama. Ia menatapku.
*****