Ipah POV
Malam semakin larut, rembulan malam terlihat tertutup awan hitam tipis, dinginnya angin malam sangat semakin terasa.
Namun rasa dinginnya malam ini, tidak berarti bagi aku bersama kekasihku yang baru saja melakukan suatu hubungan yang terasa sangat hangat.
Sebuah lumatan, ciuman, lidah yang berputar-putar, sentuhan demi sentuhan, belaian, dan hentakkan demi hentakan dari belut hitam panjangnya, masihlah sangat terasa di sekujur tubuhku yang mungil ini.
Malam ini merupakan malam yang ke sekian kalinya aku dibawa pergi jalan-jalan oleh kekasihku. Namun malam ini merupakan malam pertama kalinya aku melakukan hubungan badan bersama dengannya.
Sekarang aku baru saja menurunkan kedua kakiku dari motor kekasihku di pinggir jalan seberang sungai rumahku.
"Sayang, semoga mimpi indah ya?"
Ucap kekasihku dengan kedua bola matanya yang melirik ke sekeliling daerahku ini. Terlihat sangat ketar-ketir. Di dalam hatinya pun sangat ketar-ketir karena merasa takut jikalau nanti di lihat oleh kedua mata Ayahku.
"Makasih sayang, cepat sana kamu langsung pergi saja sayang.."
Ucapku kepadanya dengan perasaan rasa kecemasan yang ada di dalam hatiku.
Bukan hanya kekasihku saja yang merasa takut kepada Ayahku, aku pun sangat takut jikalau nanti Ayahku (Arca) melihatku di bawa pergi olehnya.
Beberapa warga yang berada di Desa terpencilku ini kedua bola matanya masihlah pada terbuka. Sebagian kedua bola mata dari mereka tengah memperhatikan kearah kita berdua yang sedang berdiri di pinggir jalan ini.
Sebuah kabar berita dan cibiran bibir, akan segera menggelegar ke setiap rumah, ke setiap kuping, termasuk ke kuping keluargaku sendiri.
("Ini urusan saya! Ini adalah hidup saya!") Gumamku yang melihat kedua bola mata mereka yang tengah memperhatikan kearah kita berdua.
Aku pun sudah sangat siap jikalau esok hari akan terdengar kabar berita yang menggelegar di telinga para tetangga rumahku maupun di telinga keluargaku sendiri.
"Baiklah sayang, aku pulang.." Ucap kekasihku sembari langsung menancancapkan gas motornya mengarah ke arah utara.
"Hati-hati sayang.." Seruku kepadanya.
Secara perlahan sambil menahan rasa perih, belut hitam panjangnya seperti masih menempel di bawahku ini, aku mulai melangkahkan kaki kecilku menyeberangi jembatan sungai lalu berjalan menelusuri di pinggiran jalan setapak di pinggir sungai depan rumahku.
Tanpa di duga, sedari tadi Ayahku (Arca) menatap tajam dan memperhatikan kita berdua saat aku baru turun dari motor kekasihku.
Ayahku memperhatikan kita berdua di seberang sungai, di bawah pohon mangga besar yang berada di halaman rumahku yang terlihat lumayan gelap.
Ayahku terlihat sangat geram, sangat marah, telapak tangan kanannya mengepal keras menempel di pohon mangga besar itu.
Ayahku memperhatikanku yang sedang melangkahkan kaki kecilku yang nampak jelas di matanya terlihat sangat berbeda cara berjalanku ini.
Tanpa mengedipkan kedua bola matanya, Ayahku (Arca) terus fokus menatap tajam dari bawah keatas menatapku yang sedang berjalan sambil menahan rasa sakit ini.
Ayahku (Arca) pun turut mengikutiku berjalan dari belakang sambil menatap dan memperhatikan langkah demi langkah kaki kecilku yang sedang berjalan menuju ke pintu rumahku.
"Pah!" Ayahku memanggilku.
Aku berhenti jalan dan langsung menengokkan wajahku ke belakang.
PLAK!!!
Sebuah tamparan keras menapak di pipiku, terasa sangat lebih panas dari yang sebelumnya hingga terlihat merah dan meneteskan air mataku.
"Hikshikshiks.."
BRAK!!!
Aku menangis sambil berlari masuk ke dalam kamarku.
"Keluar kamu!" Teriak Ayahku (Arca) dari depan pintu kamarku.
"Hikshikshiks.." Aku hanya menangis tersedu sedan di dalam kamarku.
DRDRDR!!!
"Keluar kamu Ipah!!!" Teriak Ayahku (Arca) sambil menggedor pintu kamarku.
Limah Ibuku yang sudah tertidur sedang mengeloni kedua adikku yang masih sangat kecil pun, seketika tubuhnya terjingkrak sambil memelekkan kedua bola matanya.
Ibuku bangkit duduk, Ia berdiri lalu berjalan keluar dari kamarnya.
"Ada apa ini Mas?"
Tanya Ibuku sambil berjalan mendekati pintu kamarku lalu memasang badannya di pintu kamarku dibarengi dengan air matanya yang menetes dengan sendirinya.
"Dasar bodoh kamu!"
PLAK!!! ARG!!
Sebuah tamparan keras melayang ke Pipi Ibuku (Limah). Wajah Ibuku terlihat menengok kearah kiri mengikuti arah tamparan yang barusan melayang di pipinya.
Di dalam hati Ayahku (Arca) mungkin sangat kesal, sangat marah, sangat dongkol dan benar-benar penuh amarah kemarahan yang ada di dalam dadanya.
Ayahku sangat marah karena sebuah Permata gadis cantik mungilnya ini telah di berikan secara cuma-cuma kepada seorang Pria yang menurut Ayahku (Arca) bukanlah siapa-siapa di pandangan matanya.
Dan memang benar, Pemuda yang aku cintai ini hanyalah seorang preman yang berada di tetangga desa terpenciku.
Seringkali Ayahku (Arca), ketika dirinya ingin pergi ke cafe remang-remang bersama dengan tetangga rumahku yang bernama Bang Mamat, seringkali itu juga Ia melihat pemuda itu sedang minum-minuman di jembatan.
Terlebih dengan status pemuda yang aku cintai ini hanyalah seorang Pria yang terlahir dari keluarga Non berada. Entah mengapa aku pun sangat mencintai Pemuda itu.
Ayahku (Arca) mungkin sangat tidak terima, karena sebuah permata milikku yang seharusnya dapat mendatangkan uang puluhan juta untuknya, malah hilang dengan seketika dan diberikan secara cuma-cuma kepada seorang Pria yang aku cintai.
"Tampar Mas, tampar sepuasnya? Hukshukshuks."
Ucap Ibuku (Limah) sambil menangis dan tetap memasangkan badannya di pintu kamarku.
"Habis ngapain kamu dengan pemuda sampah itu Ipah!"
Teriak Ayahku sambil menatap ke pintu kamarku yang ditutupi tubuh Ibuku.
"Hikhikshiks.." Aku hanya tetap menangis tersedu sedan di dalam kamarku.
"Jawab!" Teriak Ayahku.
"Hukshukshuks.." Ibuku Limah pun menangis mengeluarkan suaranya sambil tetap memasang badan di depan pintu kamarku.
Ayahku (Arca) menghisap rokoknya dengan sangat keras, dengusan nafasnya terdengar sangat keras dan cepat, terlihat sangat naf*u amarah kemarahannya.
Ayahku (Arca) membalikkan badan lalu berjalan kearah kursi ruangan tamu.
"Anjing!" Ucap Ayahku (Arca) sambil memukulkan tangan kanannya di kursi dibarengi mendaratkan bokongnya di kursi.
Ibuku Limah mengikuti Ayahku berjalan dari belakang. Secara perlahan Ibuku mendaratkan bokongnya dikursi berhadapan dengan Ayahku bersama dengan rasa ketakutannya.
Ibuku pun tidak berani untuk membuka percakapan. Ibuku duduk menunduk di depan Ayahku.
Di tambah dengan Ibuku yang mengetahui sebuah rencana yang telah aku lakukan bersama dengan Pria yang aku cintai ini.
Sejenak Ibuku (Limah) menenangkan dirinya hingga dadanya lumayan tidak terasa sesak menahan tangisnya yang barusan. Setelah itu Ibuku baru berbicara secara pelan kepada Ayahku.
"Mas, semua ini sudah terjadi kepada anak kita. Sebaiknya kita nikahkan saja anak kita?"
Ucap Ibuku (Limah) sambil menatap Ayahku lalu menunduk kembali kearah bawahnya sendiri yang sedang duduk.
BRAK!!!! "Maksud kamu?"
Ucap Ayahku (Arca) sembari memukulkan tangan kanannya ke pinggir kursi kayu jati yang di dudukinya itu. Sementara tangan kirinya sesekali menghisap rokok dengan keras hingga pipinya terlihat berlubang.
"Ya, kita harus menikahkan anak kita Mas? Hukshukshuks." Ucap Ibuku (Limah) sambil menangis.
"Ok, akan saya fikirkan masukanmu itu." Ucap Ayahku (Arca) sambil sesekali menghisap rokok bersama dengan otak liciknya yang selalu berputar-putar.
Terlihat buntu namun Ayahku tidak pernah menyerah untuk terus memutarkan otak liciknya.
Ayahku (Arca) mendirikan badan lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya. Ayahku segera mengganti singlet dan kolornya menggunakan setelan pakaian nyentriknya.
Ibuku (Limah) masih terduduk melamun di kursi ruangan tamu sambil sesekali mengusap air mata yang terus menetes dengan sendirinya.
Ayahku (Arca) sudah memakai pakaiannya yang nyentrik. Ayahku berjalan ke arah ruangan tamu.
"Mau kemana kamu Mas?" Tanya Ibuku (Limah) yang melihat Ayahku menggunakan pakaian nyentriknya.
"Stres saya, butuh hiburan saya." Ucap Ayahku (Arca) sambil berjalan keluar dari rumah, terlihat sangat acuh.
Ayahku (Arca) berjalan menyeberangi sungai, menyeberangi jalan, lalu mampir ke salah satu warung kopi yang berada di seberang jalan rumahku.
Sementara Ibuku (Limah), hanya menatap kepergian Ayahku sambil menyender di pintu rumah ini.