"Eh, sumpah udah jam enam lewat?!" Rasa kantuk yang menguasainya tiba-tiba menghilang begitu saja setelah Zerina mematikan alarm ponselnya yang berbunyi sejak pukul setengah enam pagi ini. Gadis itu melompat turun dari tempat tidurnya dan melesat secepat mungkin memasuki kamar mandi.
Gadis itu melakukan ritual paginya nyaris dalam waktu singkat. Mungkin hanya memakan sekitar lima sampai sepuluh menit. Setelahnya, ia keluar dari kamar mandi lalu mengenakan seragamnya dengan tergesa-gesa. Sesekali dia meringis sambil melirik jam yang kini menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit.
"Duh, sumpah! Bisa-bisanya gue bangun jam segini," gerutu Zerina.
Selepas memasukkan kemeja seragamnya ke dalam rok serta mengenakan rompi rajut kebanggaan sekolah, dia buru-buru memasukkan semua barangnya dengan asal ke dalam tas. Kemudian berhenti sejenak untuk memoles sunblock di wajah dan lipbalm di bibirnya di depan meja rias serta menguncir rambutnya bergaya ekor kuda.
Zerina akhirnya keluar dari kamar ketika waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lewat beberapa menit. Dia berlarian menuruni anak tangga lalu berbelok menuju ruang makan, menemui anggota keluarganya yang sudah selesai sarapan tanpa dirinya.
"Bunda, tadi kenapa gak bangunin Zeze?" tanya Zerina sambil menempati kursi makan yang berhadapan dengan wanita yang dipanggil bunda tersebut.
"Kamu gak usah manja, Zerina. Hape tuh digunain buat setel alarm. Jangan nyusahin Bunda," balas bunda ketus. "Sekarang kamu gak usah sarapan, deh. Nanti terlambat ke sekolah. Kalau kamu telat, nanti Zalina kena imbasnya," lanjut wanita berparas cantik itu.
"Bunda! Jangan ngomong gitu, dong! Nanti kalau Zeze kenapa-napa di sekolah gimana?" timpal Zalina. Gadis itu menahan tangan kakak kembarnya yang sudah mengangkat badannya dari kursi tersebut. "Sini Ze, makan dulu. Urusan kita telat atau nggak belakangan. Yang penting, kamu makan sekarang."
Zerina mengulas senyuman lembut lalu melepaskan Zalina yang menyentuh punggung tangannya. "Bunda bener, kok. Nanti kalau aku makan, kita bisa terlambat ke sekolah. Aku gak mau kamu kena imbasnya cuma karena aku bangun kesiangan," ucapnya.
"Nah, bagus kalau kamu ngerti. Ya udah, sekarang kalian ke sekolah sana. Bunda gak mau ya, anak bunda terlambat gara-gara kamu!" tukas bunda dengan tajam.
Zerina mengangguk pelan seraya memberikan senyuman paksa kepada sang bunda. Setelah mencium tangan wanita itu, dia bergerak mendahului Zalina meninggalkan dapur.
Perempuan itu mendudukkan dirinya di salah satu kursi santai di teras rumah sambil menunggu Zalina yang masih berada di dalam. Dia menengadahkan kepala ke atas, berusaha mati-matian menahan air mata yang sudah berkumpul di kedua pelupuknya. Ia tertohok, hatinya merasa dipatahkan begitu saja oleh wanita yang sangat ia sayangi di dunia ini.
"Zeze."
Zerina buru-buru mengusap jejak cairan bening yang membasahi pelupuknya. Dia menoleh ke arah Zalina dengan mengukir senyuman manis sambil beranjak dari tempat duduknya. "Yuk?"
"Maafin aku, ya?" Zalina menatap kakak kembarnya dengan penuh rasa bersalah, kemudian menarik tangan perempuan itu ke dalam genggamannya. "Ini bekel makan siang aku buat kamu aja, Ze. Daripada kamu sakit gara-gara gak sarapan," ucap gadis itu seraya meletakkan kotak makan siangnya di tangan Zerina.
"Eh, apaan? Gak usah, Zal. Ini kan punya kamu. Lagipula aku bisa makan di kantin kok. Kamu tenang aja, ya?" tolak Zerina dengan lembut.
"Zeze ... "
"Santai, Zal. Aku gak bakalan sampe meninggal kok cuma gara-gara gak sarapan doang." Zerina kembali menyungging senyuman manisnya kepada Zalina. Lantas, perempuan itu menggenggam jemari sang adik kembar dengan penuh kasih sayang. "Kita berangkat sekarang, yuk! Kasian, pak Anto pasti udah nungguin kita di mobil."
Zalina mengangguk sembari mengeratkan genggaman Zerina, "Ayo!"
***
"Ze, buku gua mana?"
Zerina menghentikan langkahnya sejenak ketika sampai di ambang pintu kelas, kemudian melirik laki-laki berambut hijau kebiruan yang sedang menyambutnya di dengan tatapan yang sinis. Setelah itu dia melengos melewati sosok itu, bergegas menuju tempat duduknya.
"Zerina, buku gua mana?" tanya laki-laki itu lagi. Sekarang sosok tersebut sudah berdiri di sebelah meja Zerina. Dia menengadahkan salah satu telapak tangannya, bersikap seolah-olah dirinya seorang rentenir di depan perempuan itu. "Mana, Ze?"
"Sabar anjir, Gala! Gue baru nyampe kelas loh, bahkan pantat gue baru aja nyentuh kursi sekarang. Gak sabaran banget jadi cowok," balas Zerina kecut. Kemudian dia melepaskan ranselnya dari pergelangan bahu, lalu membawa benda itu ke pangkuannya.
Air muka Zerina tiba-tiba berubah ketika benda yang ia cari tidak ditemukan dalam ransel biru muda-nya. Gadis itu spontan berdiri, lalu menggelontorkan seluruh isi tas hingga semua barang-barang pribadinya berserakan di atas meja. Akan tetapi, dia tidak menemuka buku LKS Jenggala dan miliknya di antara tumpukan buku cetak, catatan, tugas, serta barang-barangnya yang lain.
"Lo nyari apaan, Ze?" tanya Alea yang baru saja datang ke kelas. Gadis itu berhenti sejenak di samping Jenggala sembari memperhatikan Zerina dengan kedua alis yang bertautan.
"Ze, buku gua ada gak?" tanya Jenggala lagi.
Zerina meringis sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kayaknya ketinggalan di kamar deh, Gal. Punya gue juga gak ada soalnya. Hehehe," ucapnya seraya cengengesan.
"Sori ... tapi serius, deh. Gue udah ngerjain punya lo kok. Tapi ketinggalan di rumah. Apa lo mau nganterin gue ke sana biar bisa ambil bukunya? Gimana?"
Jenggala merubah raut mukanya menjadi datar. Matanya yang bulat kini mengarah dengan tajam kepada Zerina seiring dengan tangan kanannya yang diturunkan ke bawah. "Waktu gua terbuang sia-sia gara-gara nganterin lu balik, Ze. Sekalian aja gua telantarin lu di halte biar gak usah balik sekalian," desisnya.
Setelah itu, Jenggala melengos begitu saja meninggalkan Zerina dan perasaan bersalahnya.
Alea buru-buru menempati bangkunya setelah Jenggala kembali ke tempat duduknya. Lalu dia melirik Zerina dengan raut kebingungan. "Ze, gimana ceritanya lo jadi ngerjain tugas punya si Gala? Lo gak dibully atau semacamnya sama dia, kan?" tanya gadis itu dengan berbisik.
Zerina menggeleng dengan lesu, lantas menghembuskan napasnya yang berat. "Kemarin gue gak bisa balik, Le. Sopir pribadi keluarga lagi nganterin bunda sama Zalina jalan-jalan. Tadinya, gue mau naik ojol. Eh ternyata batere si Ipeh mati."
"Ipeh siapa?"
Zerina cengengesan lalu menunjukkan Iphone miliknya kepada Alea yang kebingungan. "Ini Ipeh, Le. Anak gue yang udah sering jatoh ke sana kemari. Hehehe."
"Hadeh, gue kira siapa loh, Ze. Hahaha! Ya udah, lanjut gih. Terus gimana bisa ketemu si Gala?"
"Ya ... gue jegat dia pas ketemu di jalan. Kami buat kesepakatan. Dia bakalan nganterin gue balik, asalkan gue kerjain tugas bahasa Inggrisnya. Winwin solution, kan? Makanya gue mau aja, yang penting gue bisa balik ke rumah," sambung Zerina seraya memasukkan kembali telepon genggamnya ke dalam kantung rompinya.
"Bodohnya sekarang gue malah gak bawa buku dia sama buku gue sendiri. Pasti Gala marah besar sama gue. Duh sumpah, gue jadi ngerasa bersalah banget," pungkasnya.
***
Zerina meremat rompi yang ia kenakan kuat-kuat ketika Mr. Jonathan-guru pengampu mata pelajaran Bahasa Inggris-berjalan memasuki ruangan kelas. Sesekali dia melirik Jenggala yang duduk di barisan paling belakang, kemudian kembali menghadap pria di depan kelas dengan raut gelisah.
"Duh, gimana dong?" bisik Zerina kepada Alea saat Mr. Jonathan sedang membuka kelas dengan sapaan yang hangat. "Gue takut dihukum, Le," lanjutnya.
"Tenang, Ze. Paling hukumannya cuma suruh berdiri di depan kelas kok. Atau yang parah sih, bersihin kamar mandi. Tapi anggep aja ini batu loncatan biar lo gak lupain sesuatu lagi, Ze," tutur Alea sambil berbisik.
Zerina mengangguk sekenanya. Perhatiannya kini terfokus pada mr. Jonathan yang sedang mengeluarkan absen serta buku pelajaran ke meja. Batinnya mulai merapal doa agar guru tersebut melupakan tugas yang kemarin diberikan sehingga dia bisa terbebas dari hukuman yang akan menimpanya hari ini.
"All right, kids. Silakan kumpulkan tugas masing-masing."
Zerina mereguk kasar salivanya. Lantas, dia kembali menoleh ke arah Jenggala. Kedua mata mereka sempat bertemu sejenak, namun pemuda itu acuh tak acuh mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Reaksinya cenderung lebih santai, jauh berbeda dengan si perempuan.
"Ze, gue kumpulin tugas dulu, ya?"
Zerina mengangguk lemah tanpa menoleh ke arah Alea. "Kumpulin aja, Al."
"Lo kenapa lemes amat, Ze? Gak sarapan?" tanya Rashika setelah mengumpulkan tugas ke depan kelas. Setelah itu dia mendudukkan bokongnya pada kursi kosong yang berada tepat di depan Zerina. "Lo gak ngumpulin tugas, Ze?" tanya gadis itu lagi.
Zerina menggeleng pelan. "Ketinggalan di rumah, Shik. Gue tadi hampir bangun kesiangan, kan. Jadi pas masuk-masukin barang ke tas udah buru-buru banget," jelasnya. Habis itu dia mengeluarkan napasnya yang panjang sambil menelungkupkan wajah di atas meja.
"Siap-siap aja nih, gue bakal kena hukuman sama beliau," sambungnya.
Tepat setelah Zerina berkata demikian, suasana kelas yang sebelumnya gaduh ketika anak-anak mengumpulkan tugasnya berubah menjadi hening. Mr. Jonathan sedang menghitung jumlah buku yang terkumpul di depan dengan fokus.
"Buku yang terkumpul ada 33, sementara kalian di sini berjumlah 36. Berhubung Thalia tidak hadir di sini, berarti ada 2 anak yang belum mengumpulkan tugas ke saya," ucap Mr. Jonathan. Sorotan matanya begitu tegas ketika menatap satu per satu murid yang duduk manis di depannya. "Siapa di antara kalian yang belum mengumpulkan tugas?"
Zerina pelan-pelan mengacungkan tangannya sembari berdiri setelah menyiapkan hatinya. Dia meringis saat matanya bertemu pandang dengan pria berusia sekitar empat puluh tahunan ini. "Buku saya ketinggalan di rumah, Mr," akunya.
"Oke, ada lagi?"
Jenggala mengacungkan tangannya kemudian beranjak dari tempat duduknya. "Saya, Mr. Buku saya juga ketinggalan di rumah."
"Wow, kompak sekali. Kalian sengaja janjian gak mengerjakan tugas dari saya, ya?" Mr. Jonathan tertawa menyindir lalu menepuk tangannya keras-keras. "Ya sudah. Sebagai hukumannya, saya minta kalian menerjemahkan jurnal berbahasa inggris ke dalam bahasa Indonesia di kertas folio bergaris. Jurnalnya terserah, mau tentang kedokteran, sastra, sains, atau apapun. Yang penting berbahasa inggris."
"Sekarang bawa alat tulis kalian. Nanti kumpulkan ke saya setelah pelajaran ini selesai. Mengerti?"
"Mengerti, Mr," jawab Jenggala dan Zerina secara serempak. Setelah itu, mereka segera mengambil alat tulis masing-masing lalu bergegas meninggalkan kelas.