Zerina keluar dari ruang kesehatan beberapa saat setelah bel tanda pulang sekolah mengudara melalui speaker yang tersebar di seluruh ruangan. Kondisi tubuhnya sudah jauh lebih membaik dari sebelumnya, sehingga dia bisa berjalan seperti biasa tanpa harus merasakan sensasi seperti melayang ke sana kemari.
Kini gadis berkuncir kuda itu sampai di ambang pintu kelasnya. Mata yang bulat itu berkeliling, memindai beberapa kursi kosong yang ditinggalkan penghuninya hingga berhenti tepat di kursi kosong di sebelah Alea yang sedang mengobrol sambil merapikan barang-barang di sana. Lantas, gadis itu segera berlari kecil menghampiri perempuan itu sembari memberikan seulas senyum yang ceria.
"Loh, Zeze kok udah balik? Badan lo udah mendingan kah?" tanya Alea sembari mengernyitkan kening ketika Zerina telah berdiri di samping meja kosong di sebelahnya. "Padahal baru aja gue mau bawain tas lo ke sana tau, Ze."
"Sumpah, gabut banget di sana, Le. Udah gitu kondisi gue sekarang udah jauh lebih baik dari sebelumnya kok. Jadi ya, ngapain harus ngejogrog terus di sana?" kata Zerina. Setelah itu dia mengambil ransel biru muda yang sudah ditutup rapat sebelumnya oleh Alea. "By the way, makasih udah beresin barang-barang gue ya, Le. Kalau gitu gue cabut dulu, ya. Udah jam segini, gue takut telat nih," pamitnya sembari menggendong ransel tersebut ke atas punggung kecilnya.
"Emang lo mau ngapain? Gak langsung balik?"
Zerina menggeleng sambil nyengir dan menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Hari ini hari pertama ekskul sastra, Le. Gue gak mau ngasih kesan yang jelek ke semua orang cuma karena dateng terlambat."
"Tapi lo baru sembuh loh, Ze. Apa gak bisa izin ke pelatihnya?"
"Bisa, cuma gue gak mau hehehe. Lo gak usah khawatir, Alea. Gue beneran udah baik-baik aja. Toh, tadi perut gue juga udah diisi, kan? Jadi udah gak ada masalah lagi, dong?" balas Zerina sembari mengusap kedua bahu teman baiknya dengan lembut. "Gue duluan ya, Le. Dadah!"
Kemudian Zerina melepaskan tangannya dari bahu Alea dan membalikkan badan. Kaki jenjangnya bergerak kembali menjauh dari salah satu teman baiknya yang masih menyorotinya dengan tatapan cemas. Ketika telah berada di luar kelas, ia berpapasan dengan Jenggala yang berjalan sambil memainkan ponselnya dari arah berlawanan.
"Gimana? Udah baikan?" tanya Jenggala sembari mematikan layar ponselnya dan memasukkan benda persegi panjang tersebut ke dalam saku celana.
Zerina mengangguk sambil menunjukkan senyuman tipis kepada laki-laki berambut hijau kebiruan tersebut. "Makasih, ya. Kalau lo gak ngebantuin, kayaknya gue gak bakal hidup hari ini, hehehe."
"Gua ngelakuin itu juga karena mood gua lagi baik, Ze." Sepasang manik segelap malam milik Jenggala ini memandangi Zerina dengan sorotan yang datar. "Kalau nggak, mungkin gua bakalan nelantarin lu di perpustakaan tadi pagi."
"By the way ... " Sebuah seringaian kecil tiba-tiba mengembang di bibir Jenggala ketika memandangi Zerina lekat-lekat. Lantas, dia melipat kedua tangannya sembari bergerak lebih dekat hingga punggung gadis itu tanpa sengaja menabrak dinding. "... karena gua udah jadi pahlawan hari ini, lu harus ngasih timbal balik yang sesuai dengan apa yang gua lakuin untuk lu, Zerina."
"T-timbal balik? A-apa? L-lo jangan minta macem-macem, Gal!" seru Zerina nyaris berteriak. Gadis itu refleks menyilangkan tangannya di depan dada sembari memberikan sorotan yang tajam kepada Jenggala. "Gue gak mau ngasih apapun di tubuh gue buat lo, mesum!"
"Gala, sakit anj*r!" teriak Zerina lebih keras setelah sentilan keras dari Jenggala mendarat di keningnya yang mulus. Gadis itu meringis sembari mengusap bekas sentilan tersebut yang mulai meninggalkan jejak merah. "Lo apa-apaan, sih?! Sakit tau!"
"Ya, suruh siapa punya pikiran jorok semacam itu, heh? Lo kebanyakan nonton b*kep ya? Gak nyangka gua." Jenggala terkekeh sembari menggelengkan kepalanya.
"Sembarangan! Lagian omongan lo tuh ambigu, ya! Jadi jangan salahin gue kalau punya pikiran yang aneh-aneh!"
"Dih, otak lu yang mesum tapi gua yang disalahin. Gini ya, Zerina Anindita Sabhira, gua cuma mau lu kerjain semua tugas gua hari ini. Bentar, lu jangan ke mana-mana. Gua mau ambil tas dulu." Usai menepuk bahu Zerina dengan pelan, Jenggala berlari meninggalkan gadis itu dan menghilang setelah masuk ke dalam ruang kelas yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Cih, ternyata ada maksud tersendiri. Gue kira dia emang beneran baik. Dasar cowok pamrih. Untung aja crush gue bukan cowok nyebelin kayak dia," gerutu Zerina sembari memperhatikan Jenggala sampai pemuda itu menghilang dari pandangannya.
***
"Nih."
Zerina tersentak ketika Jenggala menarik tangannya lalu meletakkan satu per satu buku lembar kerja ke atas telapaknya. Sepasang manik itu membulat sempurna dan segera menunjukkan sorotan tak percaya kepada laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya itu. "Gal, yang bener aja, dong! Lo beneran limpahin semua tugas lo ke gue yang dari tadi gak masuk kelas? Hah?"
"Iya, lah. Tenang aja, udah gua tandain semua kok itu. Lu tinggal kerjain aja. Gampang, kan?"
"Gampang ndasmu! Gak! Gue gak mau kerjain punya lo lagi!" tolak Zerina mentah-mentah
"Ze, lu beneran gak liat pengorbanan gua tadi? Gua yang bawa lu ke UKS, ngasih lu obat sampe beliin makanan buat lu. Masa gini doang lu gak mau ngasih gua feedback, sih? Ck, harusnya gua biarin lu terkapar aja di perpustakaan tadi. Udah dibaikin malah gak tau terima kasih. Rese lu!"
"Pamrih bener jadi orang," cibir Zerina. Sesaat kemudian, dia menghela napas panjang lalu memasukkan tiga buku LKS milik Jenggala ke dalam tasnya. "Ya udah, gue kerjain semuanya. Puas lo?" Gadis itu menoleh lagi ke arah sang lelaki sambil menunjungkan tatapan yang tak suka kepadanya.
"Besok kan libur, lu pasti punya banyak waktu buat kerjain semuanya. Oke? Makasih, Zerina! Hari Senin jangan lupa dibawa, ya! Bye!" Lantas, Jenggala membalikkan badannya lalu melangkah dengan riang menjauhi Zerina yang masih berdiam di tempatnya.
"Jenggala sialan! Bisa-bisanya gue diperbudak sama cowok gak jelas kayak dia! Sialan! Nyebelin! Dasar cowok nyebelin!"
Zerina kembali menggerutu sambil mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Sepasang manik hitam kecoklatan miliknya memberi tatapan yang nyalang ke arah sosok yang punggung yang mulai mengecil dari pandangannya tersebut, seolah dengan sorotannya ini dia bisa menusuk sang Jenggala dari belakang.
"Pokoknya, ini adalah urusan terakhir gue sama lo, Jenggala. Setelahnya, gue gak mau terlibat apapun dengan cowok nyebelin kayak lo, sialan!" lanjutnya ketika pemuda itu benar-benar menghilang dari sorot mata tajamnya.
Kepalan di tangan Zerina mulai mengendur ketika ekor matanya menangkap seorang gadis yang memiliki paras sepertinya sedang melambaikan tangan ke arahnya. Lantas, perempuan manis itu segera berlari ke arahnya ketika mata mereka bertemu.
"Zeze, maaf banget, ya. Tadi aku gak bisa ngejenguk kamu di UKS. Padahal yang buat kamu gak sarapan kan aku. Harusnya aku yang ngurusin kamu di sana. I'm so sorry, ya?" cerocos Zalina sembari menggamit kedua telapak tangan Zerina dengan erat. Gadis itu melirik kakak kembarnya dengan raut yang memelas. "Tapi kamu sekarang gak papa, kan? Kita balik sekarang, yuk?"
Zerina menggelengkan kepala seraya melepaskan tangan Zalina dengan lembut. "Aku gak papa, Zal. Jangan nyalahin diri sendiri gitu, ah! Toh, aku gak sarapan gara-gara kesiangan, kan? Anyway, hari ini aku ada ekskul, Zal. Jadi pastinya bakal pulang lebih lama. Nanti tolong bilangin papa sama bunda, ya."
"Hmm ya udah. Tapi kamu beneran udah gak kenapa-napa, kan? Perutmu gak sakit atau semacamnya, kan?"
Zerina menggeleng dengan mantap sembari menunjukkan senyuman tulusnya kepada sang adik. "Nggak, Zal. Aku beneran udah baik-baik aja kok. Kamu tenang aja, ya."
"Iya deh, aku percaya sama kamu, Ze. Oh ya, yang tadi ngobrol sama kamu itu Jenggala bukan, sih? Anaknya Pak Byantara salah satu pemilik yayasan sekolah ini?" tanya Zalina, mengalihkan pembicaraan mereka.
"Jenggala? Iya, dia Jenggala. Kenapa emang?"
Zerina mengernyitkan keningnya ketika menangkap sekelibat ekspresi malu-malu yang ditunjukkan perempuan yang berusia lima menit lebih muda darinya itu. Sekejap, rautnya berubah ketika benaknya mulai paham dengan senyum malu-malu yang terpancar di wajah Zalina.
"Jangan bilang kalau kamu suka sama dia?" tebak Zerina.
"E-eh? E-enggak kok! A-ah iya, Ze, a-aku duluan, ya. Pak Anto udah dateng. S-sampai ketemu di rumah!" Zalina tersenyum kikuk. Dia buru-buru membalikkan badannya, lantas berjalan dengan langkah tergesa-gesa agar dapat menghindar dari sorotan penuh selidik yang diberikan sang kakak kembar kepadanya.
"Zalina, Zalina. Dari sekian cowok ganteng di sekolah ini, kenapa lo malah naksir sama cowok nyebelin dan rese kayak Jenggala, sih? Heran gue," gumam Zerina sembari menggelengkan kepalanya dan melipat kedua tangannya saat sudut matanya memperhatikan si adik kembar yang berjalan cepat meninggalkannya.