Zerina melanjutkan langkahnya melewati deretan kelas sepuluh di lantai satu setelah sang adik kembar luput dari pandangan. Kaki jenjangnya kini berbelok lalu bergerak menaiki tangga bagian tengah. Dia mempercepat geraknya begitu tiba di depan sebuah ruangan dengan tulisan R-202 yang terpampang di pintu ruangan.
Lantas, gadis itu membuka pintu tersebut dengan semangat empat lima, disertai senyuman semringah yang mengembang lebar di bibir ranumnya. Akan tetapi beberapa detik kemudian, guratan itu memudar begitu netra cokelatnya menangkap sosok laki-laki dengan rambut ikal kecoklatan yang duduk di dekat jendela sambil melukis sesuatu.
Jemari panjang pemuda itu begitu lihai saat menorehkan cat warna pada kanvas. Sesekali dia mengangkat sedikit kepalanya, memandangi hamparan langit biru sebelum akhirnya kembali menorehkan pewarna di atas benda persegi tersebut. Dia begitu fokus melakukan pekerjaannya hingga tak sadar jika sepasang netra kecoklatan milik Zerina sedang memperhatikannya saat ini.
Angin sore yang berhembus dari luar jendela membelai lembut helaian rambut cokelat si lelaki, membuat paras itu nampak seribu kali lebih tampan di mata Zerina. Tanpa sadar, dua sudut bibir perempuan itu terangkat ke atas membentuk sebuah senyum tipis kala fokusnya makin terpusat kepada sosok tersebut.
Akan tetapi, napas si perempuan tiba-tiba tercekat seperti ada sesuatu yang tertahan di tenggorokan saat matanya tanpa sengaja bertemu dengan netra abu kehitaman milik pemuda itu. Senyuman kikuk mengembang di bibir ranumnya satu saat setelah mereka saling beradu pandang selama beberapa menit.
"Kak Saga ... eh maksudnya Kak Sagara. Maaf, Kak. Anu ... aku gak maksud buat ngintip Kakak atau gimana. Hm ... aku kira ... di sini ruang klub sastra, Kak. Sekali lagi maaf ya,Kak," tutur Zerina sedikit terbata-bata dan diiringi sebuah senyum canggung untuk laki-laki itu.
"Lo jangan canggung gitu sama gue. Santai aja, gue gak gigit kok," kata Sagara kemudian tertawa kecil. Lantas, laki-laki itu meletakkan peralatan lukis ke tempat khusus lalu berjalan menghampiri Zerina yang masih mematung di depan pintu. "Omong-omong, lo nyari ruangan klub sastra, kan? Itu, di sana," ucapnya sembari menunjuk sebuah ruangan yang terletak tak jauh dari tempat mereka berada saat ini.
"Ah, ternyata di sana hehehe. Makasih ya, Kak Saga ... eh maksudnya Kak Sagara. Hahaha," ujar Zerina sembari menolehkan kepalanya lagi ke arah Sagara usai mengikuti arah yang ditunjuk lelaki itu.
Sagara tersenyum sampai deretan giginya yang rapi menampakkan diri. "Kalau lo mau manggil Saga juga gak papa, kok. Santai aja. Anggep itu panggilan khusus dari lo, Zerina," katanya sembari membaca papan nama yang tersemat di sudut bagian kanan blazer yang dikenakan Zerina.
"O-oke. Kalau gitu aku pergi dulu ya, Kak. Maaf udah ngeganggu waktunya ya, Kak." Zerina membalas senyuman manis Sagara dengan kikuk. Selanjutnya, dia berbalik dan berlari kecil menuju sebuah ruangan yang dimaksud laki-laki berparas tampan tersebut.
***
"Oke, waktunya habis. Jangan lupa besok lusa, kita akan latihan membaca puisi yang sudah kalian kerjakan. Saya akan memilih secara acak. Maka dari itu, kalian harus sudah mempersiapkan semuanya dengan baik. Mengerti?"
"Mengerti, Kak!" sahut para anggota klub dengan serempak.
"Baik, sekarang kalian boleh keluar dari sini," lanjut Kak Amira, salah satu pengurus klub. Usai wanita berhijab hijau sage dan seorang pembina klub keluar dari ruangan, para anggota termasuk Zerina kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
Zerina mengeluarkan telepon genggam yang tersimpan rapi di dalam tas kesayangannya. Dia mengirim pesan untuk pak Anto, kemudian memasukkan benda persegi panjang tersebut ke dalam saku roknya. Setelah itu dia memasukkan buku serta peralatan tulis ke dalam tas lalu beranjak dari tempat duduknya, mengikuti beberapa orang yang berjalan menuju pintu keluar.
Dia kembali mengeluarkan ponselnya begitu merasakan benda tersebut bergetar pelan di dalam saku. Usai membalas pesan dari supir pribadi keluarganya, Zerina membuka salah satu aplikasi sosial media yang terpasang di benda persegi panjang itu dan mulai berselancar di sana.
Beberapa menit kemudian, Zerina tenggelam di dalam keramaian media sosial yang terpasang pada benda persegi panjang tersebut. Saking seriusnya, sampai-sampai dia tidak memperhatikan jalanan di depannya. Tepat setelah menjejaki anak tangga terakhir di lantai satu, perempuan itu tanpa sengaja menubruk punggung seseorang di depannya.
"Aduh!" Zerina meringis kesakitan sembari mengusap jejak merah tipis yang timbul di dahinya. Tadinya, dia sudah berancang-ancang akan memarahi sesosok laki-laki yang berdiri di dekat tangga tersebut. Namun, nyalinya mendadak ciut ketika orang itu menoleh ke arahnya.
Orang itu adalah, Sagara.
"Kak ... Sagara ... " Lidah Zerina mendadak kelu. Dia mematung seketika, layaknya sebuah patung manekin yang dipajang di butik-butik. Senyuman kikuk kembali mengembang di bibirnya kala sepasang netra Sagara bertemu dengan netra miliknya. "M-maaf, tadi aku gak liat-liat jalan," sambungnya.
"Gak papa kok," jawab Sagara seraya menyunggingkan senyuman ramah untuk sang puan. "Omong-omong, dahi lo merah banget, Zerina. Lo gak papa, kan?" Pemuda jangkung itu merubah ekspresinya menjadi penuh khawatir begitu netranya menangkap jejak merah di dahi Zerina.
Zerina menggeleng pelan. "Gak papa, Kak. Nanti juga ilang lama-lama, hehehe. Kalo gitu aku duluan ya, Kak," balasnya seraya tersenyum simpul. Setelah itu dia menundukkan kepalanya sedikit kepada Sagara, kemudian bergerak melewati Sagara yang masih memperhatikannya.
"Eh, tunggu!" Sagara berteriak dan segera berlari mendekati Zerina yang mulai menjauh darinya. Dia menoleh ke arah gadis itu ketika mereka berjalan berdampingan di lorong sekolah. "Lo balik bareng siapa? Kalau sendirian, mending sama gua aja. Bahaya kalau jam segini cewek balik sendirian, Zerina."
"Aku dijemput, Kak."
"Oh, ya udah kalau gitu. Gue temenin lo sampe jemputan dateng aja, ya? Daripada nungguin sendirian, ya kan?"
Zerina tiba-tiba menghentikan langkahnya. Lantas, dia menoleh ke arah Sagara sambil menunjukkan raut percaya tak percaya-nya. "Serius, Kak? Nanti kelamaan gimana? Soalnya supir aku lagi kejebak macet di jalan, gak tau bakal nyampe jam berapa sore ini."
"Dua rius, Zerina. Waktunya kelamaan gak masalah buat gue. Yang penting, lo ada temen buat nungguin pak supir aja. Yuk?"
Perempuan itu bergeming kala memandangi tangan Sagara yang terulur kepadanya. Dia sedang menimbang-nimbang apakah perlu mengikuti tawaran cowok itu atau menolaknya secara halus. Akan tetapi, belum sempat dia berpikir lebih jauh, laki-laki yang tingginya nyaris mendekati 180 cm ini sudah terlanjur menarik pergelangan tangannya.
"Lo kelamaan mikir, Zerina."
Zerina tersentak. Matanya membulat penuh ketika jemari besar milik seniornya ini menyentuh pergelangan tangannya tanpa izin. Kepalanya 'nge-blank' seketika. Namun sedetik kemudian, kesadarannya kembali setelah ia terpaksa berlari mengikuti langkah cepat Sagara.
***
Zerina buru-buru melepaskan jemari Sagara yang tertaut di pergelangan tangannya begitu mereka tiba di halaman depan sekolah. Kemudian ia menempati sebuah bangku panjang berwarna hitam yang berhadapan langsung dengan papan mading. Setelah itu dia kembali membuka ponselnya untuk membalas pesan dari Pak Anto.
"Supirnya udah nyampe mana?" tanya Sagara sembari menghempaskan bokongnya di sebelah Zerina.
"Katanya udah nyampe belokan di deket sekolah, Kak," jawab Zerina tanpa mengalihkan fokusnya dari layar berbentuk persegi panjang ini. "Kak Sagara kalau mau pulang duluan aja. Sebentar lagi juga supirnya dateng kok," sambung gadis tersebut.
"Kalau gitu sama aja gue gak nemenin lo dong. Udah, santai aja. Gue bakal nemenin lo sampe pak supir dateng, Zerina."
Beberapa menit setelah Sagara berucap, ponsel Zerina berdering. Lantas, perempuan berkuncir kuda itu segera mengangkat telepon sembari berdiri dari tempatnya. Usai mengakhiri panggilan tersebut, dia menengok ke seniornya. "Aku duluan ya, Kak. Supirnya udah dateng sekarang," pamit gadis itu.
"Oke, hati-hati di jalan, ya!" balas Sagara. Laki-laki itu menebar senyuman manis seraya melambaikan tangan ke arah Zerina, hingga sosok berkuncir kuda itu menghilang dari pandangannya.