Bel sebagai tanda berakhirnya jam pelajaran pada hari ini telah berbunyi melalui pengeras suara yang tersebar di setiap kelas. Bu Anita, guru pengampu mata pelajaran Fisika telah menutup kelasnya dengan wejangan singkat di siang ini. Beberapa murid mulai berbondong-bondong meninggalkan ruangan sesaat usai wanita tinggi semampai itu pergi.
Kini hanya tersisa beberapa murid yang masih berada di dalam kelas, termasuk Zerina. Setelah antrean di depan pintu kelas mulai lengang, dia bangun dari tempat duduknya sambil menggendong ransel biru muda ke atas punggung. Selanjutnya, perempuan manis itu mengambil telepon genggam yang disimpan dalam saku blazer seragamnya. Sembari berjalan melewati deretan kursi yang ditinggalkan para penghuninya, Zerina sibuk mengetik sebuah pesan untuk seseorang.
[Zal, aku udah kelar nih. Kamu di mana?]
Satu menit kemudian, pesan balasan dari Zalina memasuki benda persegi panjang yang berada dalam genggamannya.
[Astaga, Ze! Aku lupa bilang kalau siang ini bunda ngajakin jalan ke mall ㅠㅠ kamu mau ikut gak? Saranku mending ikut aja, yuk! Kita udah lama gak jalan-jalan bertiga loh.]
Dia menghentikan langkahnya sejenak. Sebuah senyuman kecut perlahan mengembang di bibir merah alaminya. "Masalahnya, bunda mana mau kalau gue ikut, Zalina." Setelah itu, tangannya kembali bergerak mengetik pesan balasan untuk sang adik kembarnya.
[Hahaha gak usah deh, Zal. Aku mau langsung pulang aja. Capek banget soalnya wkwk. Berarti pak Anto bareng kalian, kan? Kalau gitu aku balik naik ojol aja, ya.]
[BTW Have fun ya! :D]
Setelah itu ia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Zerina menghembuskan napasnya yang panjang seraya mengukir kembali senyuman getir di bibirnya. Walaupun seringkali kali menampik nalurinya sebagai seorang anak, Zerina tetap menginginkan kasih sayang melimpah dari sang bunda. Namun, rasanya sangat mustahil untuk mendapatkan kasih sayang beliau secara penuh setelah kejadian yang menimpa keluarganya beberapa tahun silam.
Ah, sudahlah. Setidaknya Zerina tidak merasakan hidup menderita seperti Cinderella yang mendapat perlakuan buruk dari ibu serta saudari tirinya. Gadis itu tetap mendapat perlakuan yang layak sebagai seorang anak, meskipun tidak mendapat kasih sayang yang setara dengan Zalina dari sang bunda.
"Ck. Lo ngapain sih, Ze? Gak usah sedih gitu, dong. Kan udah biasa kayak gini," gumamnya sambil menghapus jejak cairan bening yang tiba-tiba berkumpul di pelupuk matanya. Selepas menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan, Zerina akhirnya keluar meninggalkan ruang kelasnya.
Kaki jenjang milik perempuan itu melangkah dengan gontai melewati kelas-kelas yang berjajar di lorong lantai satu. Kemudian dia berbelok ke kiri, menuju pintu masuk utama yang terletak di bagian barat gedung. Zerina terus bergerak menjauhi kawasan sekolahnya sampai akhirnya berhenti di sebuah halte di sisi kanan gerbang utama.
Zerina langsung menyandarkan tubuhnya di salah satu tiang penyangga sesampainya di halte depan sekolah. Dia kembali membuka ponselnya lalu masuk ke dalam salah satu aplikasi ojek online yang terpasang di benda persegi panjang itu. Akan tetapi, baru saja memasuki tampilan awal aplikasi tersebut, telepon genggam tersebut tiba-tiba mati karena kehabisan daya.
"Ck. Bisa-bisanya lo lowbat di saat genting kayak begini, Ipeh," gerutu Zerina sambil memandangi layar ponsel bermerk Iphone X yang diberi nama Ipeh olehnya. "Terus gue baliknya gimana, nj*r?
Beruntungnya, tepat di saat Zerina sedang gundah gulana memikirkan nasib sialnya, manik kecoklatannya menangkap seorang yang baru saja keluar meninggalkan sekolah menunggangi sebuah motor besar. Dia segera berlari ke tengah jalan sambil merentangkan tangan demi mencegat laju motor dengan merk Yamaha YZF-R1M ini.
"Zerina! Lu apa-apaan, sih? Kalau mau bunuh diri jangan di depan gua juga, dong!" bentak sang pengendara setelah menghentikan laju sepeda motornya dengan paksa.
Zerina mencengkram lengan pemuda itu sambil mengerlingkan mata penuh harap kepada sosok tersebut. "Jenggala, bisa tolong anterin gue balik gak? Please? Gue bingung ini mau balik sama siapa. Hape gue udah mati total sekarang. Ya?"
"Males, ah. Lu cari tebengan yang lain aja. Jangan sama gua," tolak Jenggala mentah-mentah. Laki-laki itu kembali menyalakan mesin motornya lalu menutup kaca helm fullface yang melindungi kepalanya itu.
"Gala, please? Gue bakal ngasih apapun deh ke lo. Asalkan lo mau nganterin gue balik sekarang. Tolong banget ini mah. Banget banget banget! Ya?"
Jenggala membuka kembali kaca helmnya lalu memandangi Zerina dari atas sampai bawah dengan mengangkat salah satu alisnya. Seulas senyuman miring ngembang di bibir penuhnya saat memperhatikan gadis itu dengan seksama. "Lu serius mau ngasih apapun ke gua? Apapun?"
Zerina gelagapan. Gadis itu lantas menyilangkan tangannya di depan dada saat pandangan Jenggala mengarah tepat ke matanya. "I-iya tapi bukan itu maksud gue, mesum! Gue bukan cewek murahan!"
"Dih? Siapa juga yang minta lu ngelakuin hal 'itu'? Gua juga gak bakalan suka begituan sama cewek kayak lu kali, hahaha!" ucap Jenggala sambil tertawa meremehkan. Tawanya mereda saat mendapati Zerina yang memberikan tatapan tak suka ke arahnya. "Oke sori, yang itu cuma bercanda. Hm gini aja deh, gua mau anterin lu balik asalkan lu kerjain PR Bahasa Inggris punya gua. Gimana? Mau gak?"
Zerina mendecih pelan. Selanjutnya dia melipat kedua tangan sembari memperhatikan pemuda yang duduk manis di atas motor besarnya itu dengan seksama. Helaan napas yang panjang keluar dari hidung mancungnya setelah mempertimbangkan penawaran dari pemuda itu.
"Gimana, nona Zerina Anindita Sabhira?"
"Ck. Ya udah, gue mau!"
Setelah itu Zerina bergerak menduduki jok sepeda motor Jenggala dengan posisi menyamping. Gadis itu segera mencengkram kuat 'behel motor' ketika bokongnya telah mendarat dengan sempurna di belakang Jenggala.
"Pegangan yang bener, Ze. Gua mau ngebut soalnya. Kalau lu mau nyungsep dari motor sih, terserah," pesan Jenggala sembari melirik Zerina dari spion motornya.
"Bacot lo, ah! Tinggal jalan aja susah amat, sih!"
Jenggala mengendikkan bahunya. "Ya udah. Yang penting gua udah ngasih tau," ucapnya enteng. Kemudian dia melajukan sepeda motornya dengan kecepatan penuh, hingga membuat orang di belakangnya nyaris terpental ke depan.
"Jenggala! Lo sinting, ya?! Jangan ngebut-ngebut, dong! Nanti kalau gue jatoh gimana?!" bentak Zerina nyaris berteriak. Setelahnya, dia mengatur napasnya yang terengah-engah seraya mengontrol degup jantungnya yang mendadak tidak karuan akibat ulah Jenggala.
"Kan udah gua peringatin, Ze. Lu aja yang ngeyel sampe ngatain gua bacot segala,"balas Jenggala acuh tak acuh. Kemudian salah satu tangannya menuntun tangan Zerina agar menyentuh pinggiran badannya yang ditutupi jaket biru muda yang sudah kusam. "Pegangan di sini biar lu aman," lanjutnya.
"O-oke." Zerina menurut. Dia mencengkram erat pinggiran jaket Jenggala sambil merapatkan matanya. Bibirnya mulai merapalkan berbagai macam kalimat doa agar dapat sampai di tujuan dengan selamat. Aamiin.
***
Motor besar yang dibawa Jenggala menepi kemudian berhenti di depan sebuah rumah dua tingkat yang didominasi dengan warna-warna pastel yang cantik. Zerina segera turun dari motor tersebut lalu berjalan menghampiri Jenggala yang tengah mengambil sesuatu dari ransel hitamnya.
"Nih. Jangan lupa kerjain punya gua," ucap Jenggala seraya menepuk kepala Zerina dengan buku lembar kerja siswa pelajaran Bahasa Inggris di tangannya. Setelah itu dia meletakkan buku tersebut di telapak tangan bagian kanan milik perempuan itu. "Oke? Makasih, Zeze!"
Belum sempat Zerina membuka bibir, motor besar yang diberi nama Giant itu sudah melesat tanpa aba-aba meninggalkan pekarangan rumahnya. Gadis itu hanya dapat berdecak sambil menggelengkan kepala keheranan.
"Gak lagi-lagi gue nebeng sama dia, Ya Tuhan," gumamnya sembari mengusap kedua lengannya yang bergidik ngeri. Habis itu Zerina membalikkan badan, lantas menggerakkan kaki jenjangnya memasuki pekarangan bangunan dua tingkat yang ia huni sejak masih di dalam kandungan sang bunda ini.
Beruntungnya, dia selalu menyimpan kunci rumah cadangan di salah satu kantong bagian pinggir tas sebagai antisipasi ketika tak ada orang di rumah. Jadi setidaknya, Zerina bisa beristirahat dengan tenang di dalam kamarnya tanpa harus menunggu keluarganya pulang ke rumah.
"Eh, Papa udah pulang?" Zerina bergegas menghampiri seorang pria yang duduk manis sambil menonton sebuah acara musik di televisi. Setelah bersalaman, gadis itu mendaratkan bokongnya di sisi kanan sang papa.
"Kamu gak ikut bunda sama Zalin, Ze? Mereka lagi jalan-jalan ke Tamini Square, loh," kata papa. Pria itu menolehkan kepalanya ke arah Zerina sembari mengernyitkan kening.
Zerina menggeleng seraya mengulum senyuman tipis. "Zeze gak mau ngeganggu acara bunda sama Zalin, Pa. Lagipula Zeze capek banget sekarang. Bawaannya ngantuk mulu hehehe. Nanti malah ngerepotin kalau Zeze ikut mereka," ucapnya.
Papa mengamati gadis sulungnya dengan ekspresi yang sendu. Kemudian tangannya bergerak menyentuh puncak kepala Zerina dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. "Ya udah, sekarang kamu mandi gih. Habis itu istirahat. Oke, tuan putri?"
Zerina mengangguk. Seulas senyuman tulus mengembang di bibirnya tatkala memandangi wajah pria yang menjadi cinta pertamanya sejak kecil. Usai mengecup singkat pipi sang papa, gadis itu bangkit dari posisinya. Lantas, ia bergegas menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.
Sesampainya di kamar, Zerina segera menjatuhkan badannya di atas kasur. Ekor matanya mengarah ke langit-langit kamar yang dipoles dengan warna biru muda, salah satu warna kesukaannya. Setelah itu dia menoleh ke sisi kirinya, memandangi sebuah pigura foto keluarga yang berdiri tegak di atas meja belajarnya. Di dalam foto itu, Zerina masih menjadi gadis ceria yang mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya.
Tidak seperti Zerina saat ini, yang harus berpura-pura bersikap baik-baik saja meskipun hatinya merasa hampa di dalam sana.
"Bunda, Zeze kangen disayang bunda kayak dulu lagi," ucap Zerina lirih. Cerita dibalik foto tersebut tiba-tiba kembali diputar dalam benak seperti sebuah kaset rusak, membuat bibirnya tanpa sadar mengulum senyuman sedih memandangi pigura tersebut. "Sekarang Zeze gak bisa ngerasain hal itu lagi ya, Bun?"
Lambat laun rasa kantuk menjalar di sekujur tubuh Zerina, membuat kedua manik cokelat gelap itu menutup perlahan.