"Pergi dari sini! Aku tak sudi lagi memperkerjakanmu! Dasar kau tidak tahu diri!" pekik Janice, perempuan bertubuh gempal itu mendorong Anya dengan keras. Meminta gadis itu untuk keluar dari restoran cepat saji miliknya. Padahal di luar sedang hujan, dan gadis itu baru saja kembali dari tugas yang ia berikan.
"Tapi ini bukan salahku! Mereka yang membuat makanan itu jatuh dan,"
"Tutup mulutmu, Anya!"
"Mereka sudah memberitahuku tentang apa yang terjadi di sana, jadi kau tidak perlu mengelak lagi! Kaulah yang kurang berhati-hati dan kau sembrono! Kau membuatku rugi seratus dua puluh lima dolar, Anya! Apa kau mengerti itu!" lantang Janice.
"Anak lelaki mereka menyentuhku dengan tidak sopan, apa aku harus tetap memegang makanan itu dan membiarkan lelaki berengsek itu melecehkan ku?!" Anya sebenarnya tak ingin menceritakan hal ini kepada Janice atau siapapun, ia tak mau ada orang yang tahu kalau ia baru saja mengalami hal buruk.
"Oh, jadi kau pikir harga dirimu lebih mahal dari makanan yang kau antarkan tadi?" Benar saja Janice bukannya bersimpati kepadanya, tetapi wanita itu justru tersenyum mengejek dan ikut menginjak harga diri yang baru saja Anya coba pertahankan tadi.
Anya mendengus kesal, ia melepas apron yang masih melekat di tubuhnya.
"Baiklah aku akan keluar hari ini juga dari pekerjaan bodoh ini!" Anya melemparkan apron putih itu ke muka Janice, ia kemudian berbalik dan pergi dari sana.
"Keluar saja jika kau mau! Aku akan dengan senang hati mengeluarkanmu dari pekerjaan ini! Kau pikir, kau ini siapa? Masih ada ratusan bahkan ribuan gadis lain yang mau bekerja untukku! Keluar saja, kita lihat dalam beberapa hari kau pasti datang lagi dan memohon pekerjaan padaku, kecuali jika kau sudah siap menjadi gelandangan!" Janice tak berhenti berteriak dan mengutuk dirinya, akan tetapi Anya tak pedulikan lagi hal itu.
Kini ia berjalan susuri pedestarian. Jalanan sangat licin dan basah karena hujan telah mengguyur semenjak sore. Oleh sebab itu hari ini begitu banyak pelanggan yang memesan layanan antar atau delivery order. Anya sangat benci jika harus melakukan layanan antar. Karena Janice yang pelit tidak pernah memberinya gaji lebih untuk pekerjaan ini. Dan lagi, Janice yang pelit tidak mau menambah karyawan untuk membantu Anya menangani restoran cepat saji yang selalu banjir pengunjung itu.
Anya telah sampai di perempatan dekat flat tua yang ia sewa beberapa bulan terakhir ini. Dari kejauhan ia melihat tempat tinggalnya yang menyedihkan. Bangunan itu mungkin sebentar lagi akan diruntuhkan, dan digantikan dengan gedung pencakar langit seperti sebagian besar gedung di kota besar ini.
Ponsel yang berada di saku jaketnya berbunyi. Ia kemudian segera mengambil ponsel yang sengaja ia bungkus plastik karena hari ini hujan deras dan ia harus menembus hujan demi mengantarkan makanan untuk customer brengsek tadi.
Pikirannya yang sedari tadi melayang tak tentu arah, seketika panik saat melihat pesan yang ternyata dikirimkan oleh pemilik flat yang ia sewa. Rose, wanita tua yang baik, tapi akhir-akhir ini ia berubah menjadi sedikit galak karena dia seringkali telat membayar uang sewa.
Ia cukup maklum dengan sikap yang ditunjukkan Rose. Dia btuh uang untuk bertahan hidup. Lagipula Rose sudah sangat cukup baik dengan memberikannya keringanan yakni boleh telat membayar asal tidak lebih dari dua minggu.
Besok adalah tenggat waktu yang sudah ditentukan, jikalau esok ia tidak bisa membayar maka sudah dapat dipastikan Rose akan meminta dirinya angkat kaki dari sana.
Saat ia sampai di flat, Rose sudah berdiri di depan pintu. Wanita tua itu melihat sembari tersenyum, "apa kabar, Anya? Kau kelihatan lesu?" tanya Rose.
"Nyonya Wilson," Baru saja Anya ingin menjawab Rose langsung mengatakan hal yang sama sekali tak ingin ia dengar.
"Aku tahu kau tak punya uang untuk membayar kontrak, oleh sebab itu aku kemari karena ingin mengabarkan padamu, kalau aku sudah dapat penyewa yang baru. Maaf, paling lambat besok pagi kau harus sudah pergi dari sini," kata Rose sembari menatap mata Anya dengan iba.
"Sempurna!" batin Anya.
Ia tahu ini akan terjadi, ini nyata dan tak bisa ia hindari. Tak mungkin juga rasanya hidup dengan mengandalkan belas kasihan dari orang lain.
"Maafkan aku, Anya, tapi aku butuh uang untuk membeli insulin," imbuh Rose seraya menyentuh bahunya. Beberapa menit berlalu dengan Anya yang terpukul oleh kenyataan. Gadis itu bahkan tak sadar jika Rose sudah menyingkir sedari tadi meninggalkan dirinya sendirian di depan flat yang bahkan belum ia buka kunci pintunya.
"Mati kau Anya!" rutuknya dalam hati.
"Harus tidur dimana kau besok? Pedestarian?" tanyanya pada diri sendiri.
Ia kemudian membuka kunci pintunya dan masuk ke dalam, langkah kakinya gontai dan lemas. Rasa lapar yang sejak sore tadi mendera, seketika hilang saat ia sadar tak satu sen pun tersisa di dalam dompetnya.
Anya menghamburkan diri ke atas sofa yang kulitnya telah mengelupas itu. Ia memandang langit-langit flatnya yang berwarna kecoklatan karena rembesan air hujan itu. Bau pengap sudah menjadi temannya beberapa bulan terakhir. Meski tempat ini bisa dikatakan tak nyaman, namun Anya cukup senang tinggal disini. Karena Rose yang baik dan sering memberi dirinya makanan.
Baru saja ia akan memejamkan mata, tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Liz.
Sepupunya menelepon. Dengan segera ia mengangkat telepon itu.
"Halo, Liz, ada apa kau meneleponku malam-malam? Tak bisakah besok saja, karena aku sedang tak ingin diganggu,"
"Aku memang akan mengganggumu dasar cucu tak tahu diri, sudah berapa bulan kau tak mengirimiku uang? Apa kau mau membiarkanku mati kelaparan?! Gara-gara kau, aku harus menjual semua perhiasan untuk bertahan hidup? Apa kota besar telah membuatmu lupa denganku, nenek yang sudah membesarkanmu dengan susah payah ini?" Beatrice langsung menyerocos tak keruan kepada Anya.
"Nenek?" Anya terkejut setelah tahu siapa yang menelepon dirinya.
"Ya, baguslah, kau ingat siapa aku. Ku kira kau sudah lupa dengan nenekmu, sampai-sampai kau sudah tidak lagi mengirimkan uang kepadaku. Kau pakai apa saja uang gajimu? Jangan bilang kau menggunakannya untuk bersenang-senang, sedangkan aku disini setiap hari hanya makan roti gandum!"
"Nek, setiap bulan aku selalu menitipkan uang kepada bibi Magdalena, apakah dia tak memberikan uangnya kepadamu?!" tanya Anya.
"Kau jangan bicara omong kosong, Magdalena bilang kau sudah tidak pernah menitipkan uang lagi padanya," ujar sang nenek.
"Sekarang berikan teleponnya kepada bibi Magdalena, aku ingin bicara dengannya," pinta Anya.
"Kau jangan mengalihkan pembicaraan, Anya. Pokoknya besok kau harus mengirimkan uang padaku, aku sangat memerlukan uang untuk berobat. Kaki dan tanganku sakit sekali, dan aku harus pergi ke dokter secepatnya," kata Beatrice.
"Nek, semua uang hasil kerjaku sudah ku kirimkan padamu lewat Bibi Magdalena, aku sudah tidak memegang uang sepeserpun,"
"Kau jangan berbohong, Anya. Berhentilah berpura-pura, aku tahu kau ingin bersenang-senang sendirian. Atau kau memang ingin aku cepat mati saja?!"
"Jangan berkata seperti itu, Nek,"
Belum sempat Anya teruskan ucapannya, sang nenek sudah memutuskan panggilan secara sepihak. Ia kemudian memalingkan wajah ke arah jendela flat yang tirainya terbuka, membayangkan dirinya yang mulai esok tak lagi punya tempat tinggal, pekerjaan dan uang, harus hidup menggelandang dan tidur di bawah jembatan atau emperan toko.