Anya dan beberapa gadis lain dikumpulkan Henry di suatu ruangan. Semua gadis tampak antusias kecuali Anya. Dia melihat sekeliling dengan tatapan bingung. Para asisten rumah tangga disini adalah gadis muda.
Ia tak tahu kenapa rumah ini membutuhkan begitu banyak asisten rumah tangga. Aneh. Anya menghitung mereka semua termasuk dirinya, ada dua puluh dua gadis.
"Selamat pagi semuanya," sapa Henry kepada mereka, semuanya tersenyum dan menjawab sapaan Henry bak anak TK di hari pertamanya sekolah, antusias dan ceria.
"Nona Smith!" teriak Henry tiba-tiba sambil menunjuk Anya yang tampak melamun dan tak fokus.
"Apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa kau tidak menjawab seperti teman-temanmu?" tanya Henry congak.
"A-aku-"
"Don't give me an excuses. Nn. Smith. Kau hanya perlu mengucapkan maaf dan tundukkan pandanganmu. Kau harus terbiasa dengan itu, kau tidak boleh membantah, tidak boleh membangkang, dan tidak boleh bersikap tidak sopan kepada tuan-tuanmu. Kau harus membiasakan diri, Nona!" seru Henry dengan nada sinis setengah mengejek.
"B-baik, maafkan aku," kata Anya sembari menunduk.
"Bagus, sepertinya kau akan cepat belajar," ujar Henry.
"Baiklah, kalian semua pasti sudah tahu kenapa aku mengumpulkan kalian semua disini," kata Henry memulai. Lebih terlihat seperti seorang guru dibandingkan dengan kepala asisten rumah tangga.
"Kedua Tuan muda kita sudah memasuki usia dua puluh tujuh dan dua puluh lima tahun, jadi sudah tiba saatnya kedua tuam muda kita untuk hidup mandiri. Beberapa dari kalian pasti sudah tahu istana besar yang dibangun Tuan Adolfo untuk kedua putranya. Ada yang tahu?"
Seorang gadis cantik berambut pirang yang berdiri di belakang Anya mengangkat tangan.
"Ya Shelina, kau gadis pintar yang ambisius, kau pasti sudah tahu tentang hal ini kan?"
"Ya, tentu saja. Tuan Adolfo membangun dua istana besar untuk kedua putranya, siapa saja yang dikirim ke sana adalah asisten rumah tangga paling beruntung karena akan melayani langsung putra-putra Tuan Adolfo. Oh ya jangan lupakan juga sejarah, ibu kandung dari kedua putra Tuan adalah mantan asisten rumah tangga seperti kita. Jadi tidak menutup kemungkinan sejarah akan terulang, kan?" urai Shelina sembari melayangkan tatapan ke seluruh ruangan. Perkataannya membuat semua mata tertuju kepadanya.
"Oh jadi kau berniat mengulang sejarah?" tanya Henry masih dengan tawa sinisnya.
"Kenapa tidak?" timpal Shelina dengan sangat berani.
"Bagus, kau punya tujuan besar disini. Dan … " Henry menjeda ucapannya lalu menghela nafas panjang sebelum meneruskan kata-katanya.
"Apa kalian lihat amplop berwarna hitam yang kubawa ini?" tanya Henry, ya tentu saja semua gadis disana dapat melihat benda yang ia acungkan ke atas tersebut.
"Di dalam amplop hitam ini telah tertulis nama ke delapan gadis yang akan di berangkatkan ke istana baru milik para tuan muda."
Sesaat setelah Henry mengatakan hal itu, seketika suasana ruangan menjadi riuh. Gadis-gadis itu saling berbisik.
"Hei, kau gadis baru ya?" tanya seorang gadis berkulit hitam pada Anya.
"Perkenalkan namaku Paris," katanya sambil mengulurkan tangan. Gadis itu terlihat manis dan baik, berbeda dari kebanyakan yang ada disana. Tanpa keraguan, Anya pun mengulurkan tangan kepadanya.
"Kau tak terlihat antusias, dan kebingungan. Tanyalah sesuatu padaku, aku akan menjawab sebisaku," katanya ramah.
Anya melirik Paris lalu ia menggeser tubuhnya beberapa senti, mendekat ke arah gadis bertubuh jenjang tersebut.
"Tempat apa ini? Kenapa semua asisten rumah tangga harus berdandan selayaknya wanita penghibur?"
"Aku tidak bisa menjelaskan hal itu disini, aku harap kita bisa bertemu lagi sehingga aku bisa mengatakan jawaban atas pertanyaanmu itu." Paris terlihat serius.
"Baiklah, aku akan membuka amplopnya sekarang!" Henry berteriak, meminta perhatian penuh dari para gadis yang berada disana. Ruangan riuh tadi kontan berubah sepi, semua mata tertuju pada sosok Henry yang telah mengeluarkan selembar kertas dari amplop tersebut. Suasanya menegangkan persis seperti ketika seseorang akan membacakan nominasi di sebuah perhelatan penghargaan.
"Baiklah, aku akan langsung saja, Cameron, Bridget, Diana, Emily, Angel, Rose, dan Shelina!" Tepuk tangan riuh pun menggema saat nama Shelina disebut. Anya menoleh dan melihat ke arah gadis yang tampak angkuh itu. Ke tujuh gadis yang dipanggil pun maju ke depan. Mereka dengan bangga tersenyum dan melambaikan tangan ke arah gadis yang tak terpilih, seolah ini adalah kontes beauty pageant.
"Kenapa hanya tujuh?" tanya Shelina, Henry menggeleng dan tampak bingung.
"Mungkin aku yang salah, karena ternyata para tuan muda hanya meminta tujuh. Baiklah kalau begitu kalian semua bisa bubar, dan kembali beker-" Belum sempat Henry meneruskan kata-katanya, seseorang tiba-tiba saja datang.
Anya terkesiap melihat siapa yang datang, jika kemarin malam pria bermata tajam itu terlihat kekanak-kanakan dan aneh. Namun tidak terlihat pagi ini. Pria itu memakai setelan jas, rambutnya rapi, wangi tubuhnya tercium hingga ke belakang ruangan—tempat dimana Anya berdiri memaku.
"T—tuan muda," Henry tampak terkejut dengan kedatangan Xavier.
"Delapan," sahut Xavier.
"T—tapi di daftar ini hanya ada tujuh," jawab Henry terbata.
"Aku yang akan memilih sendiri untuk asisten ke delapan," kata Xavier, kontan seisi ruangan kembali gaduh. Semua mata para gadis, kecuali Anya tampak berbinar. Tak dipungkiri, pesona seorang Xavier begitu kuat.
Shelina tak henti-hentinya tautkan pandangan kepada Xavier. Ia memajukan tubuh bagian atasnya, hingga dadanya yang memang besar itu terlihat menantang. Anya menyengir, geli melihat pemandangan tersebut.
"Anya Smith!" kata Xavier cepat dan tegas, bahkan telinga Anya tak menyadari jika namanya telah dipanggil.
"Majulah, Nona Smith," pinta Henry dengan wajah tak suka.
"Dan aku membutuhkan satu lagi, ku dengar dia ahli membuat pizza. Kalian tahu kan aku menyukai pizza, Paris Wilson, majulah kau harus ikut kemanapun aku pergi."
Paris yang tadinya telah merasa patah hati karena tak terpilih pun terkejut bukan main dengan pengumuman yang diberikan Xavier.
Paris dan Anya bergandengan tangan maju ke depan bersama-sama. Shelina dan yang lainnya terlihat tak menyukai dengan bergabungnya mereka sebagai asisten yang terpilih.
"Ini gila, Shelina, gadis baru itu terpilih! Bahkan Tuan Muda Xavier memilih dia secara pribadi," pekik gadis berambut panjang yang berdiri disamping Shelina.
"Kalian semua ada di pihakku, apakah aku patut mengkhawatirkan jalang kecil itu?" sengit Shelina.
Anya mendengar semua percakapan itu, namun ia tak peduli. Yang ia lakukan disini adalah untuk bertahan hidup sementara, sembari berharap dapat segera bebas dan pergi dari tempat ini. Ia tak peduli terhadap persaingan apapun yang mungkin terjadi di antara para asisten yang terpilih.
"Sekarang cepatlah kalian berkemas, karena mobil untuk mengantarkan kalian sudah menunggu. Aku hanya akan memberi kalian waktu lima belas menit!" pekik Henry, dengan malas Anya melangkahkan kaki kembali ke kamar sempit itu untuk mengambil beberapa lembar pakaian yang bukan miliknya.
Setelah pengumuman tersebut, kesembilan asisten di minta berkemas dan dibawa menuju rumah pribadi para tuan muda.
***
"Kau pasti sudah mempersiapkan dirimu dengan sangat baik, " sindir Xavier kepada kakak laki-lakinya yang bernama Noah.
Lelaki berambut pirang, bermata biru, dengan pandangan teduh itu, tersenyum lembut. Ia kemudian menjawab, "kenapa kau selalu bersikap seperti ini terhadap ku, Xav?"
Xavier tertawa, mendongakkan kepalanya ke atas, netra beriris coklat itu menatap cakrawala pagi ini yang terlihat sedikit mendung, terlihat gumpalan awan di sana-sini.
"Jangan bilang padaku, kalau kau tidak menginginkan posisi itu, kita berdua sama-sama tahu apa yang akan kita dapatkan jika berhasil menduduki posisi sebagai pemilik sekaligus pimpinan dari sebelas perusahaan besar milik nenek kita," ujar Xavier dengan nada menyindir.
"Aku tidak tertarik," kata Noah santai seraya melihat adik laki-lakinya, pria itu kemudian hendak pergi meninggalkan tempat tersebut.
"Jangan coba menipuku lagi dengan berpura-pura menjadi orang yang polos." Xavier menyeringai. Noah menghentikan langkah kakinya. Ia kemudian berbalik dan menatap Xav, "kau bahkan tidak mengenalku, sebaik aku mengenal dirimu, Xav. Suatu hari nanti kau akan sadar, kalau aku tidak pernah berusaha untuk bersaing ataupun mencoba mengambil apa yang menjadi hakmu."
"Sudahi omong kosongmu, Noah. Berhenti berpura-pura menjadi sosok malaikat, sedangkan hatimu saja tak lebih baik dari iblis!"
Noah terkesiap mendengar penuturan Xav yang terkesan arogan dan perlihatkan betapa dalam kebencian yang telah tertanam di dalam hati seorang Xavier, adiknya.
"Dasar pembohong besar," bisik Xavier lirih lalu meninggalkan kakak laki-lakinya di balkon yang menyambungkan dua bangunan besar tersebut. Noah mendengar perkataan Xav dengan sangat jelas, ingin rasanya ia menjelaskan kepada adiknya itu bahwa ia sama sekali tak ingin bersaing dalam memperebutkan posisi sebagai pewaris utama. Dia bahkan rela jika Xavier menginginkan semua, karena yang Noah inginkan hanyalah hidup damai tanpa campur tangan keluarganya.
Akan tetapi sepertinya hal itu akan sulit tercapai. Mengingat hidup mereka semua ada di bawah kendali sang nenek. Bahkan sang ayah, Adolfo Dmitry tak bisa lepas dari bayang-bayang Xerena Roseanne Dmitry—nenek mereka, hingga sekarang. Sang ayah juga tidak jua diberikan hak sebagai pewaris, karena ia menduda dan menolak untuk menikah. Sehingga yang dipersiapkan sang ayah untuk menjadi pewaris harta yang tak akan habis sampai delapan turunan itu adalah mereka. Dan sialnya hal inilah yang menjadi pemicu retaknya hubungan kakak beradik yang pada mulanya harmonis itu.
Xav yang dahulu sangat menyayanginya kini berubah menjadi seperti musuhnya. Xav menunjukkan sikap begitu waspada setiap kali mereka bertemu, tak ada lagi canda tawa ataupun percakapan hangat yang terjadi antara mereka. Hanya kebencian yang terus menerus terpupuk hingga menggunung.
***
"Apa kau bisa menceritakan kepadaku, kenapa mereka mengirim kita ke rumah putra-putra tuan Dmitry?" Anya tak bisa sembunyikan rasa penasarannya. Paris yang terlihat terkantuk-kantuk pun akhirnya berusaha melebarkan mata yang sebentar lagi akan terpejam itu dan mulai bercerita.
"Para putra Tuan Adolfo dikirim ke rumah itu dalam rangka menjalani tes uji kelayakan sebagai pewaris utama dari harta sang nenek alias Nyonya besar yang tak terhitung banyaknya. Jangan tanya padaku tes apa yang mereka hadapi, karena tugas kita hanyalah melayani mereka."
Anya manggut-manggut mendengar penuturan Paris.
"Kenapa harus para gadis muda yang melayani mereka?" tanya Anya lagi.
"Entahlah, aku juga tidak mengerti. Tapi tenang saja, putra-putra Tuan Adolfo bukan pria mesum, mereka adalah pria bermartabat yang tidak akan menyentuh wanita sembarangan," bisik Paris yang membuat Anya dapat bernafas lega.
"Apa kau punya pertanyaan lagi?" lirik Paris terkekeh, Anya menggeleng. Bukan karena ia tidak memiliki pertanyaan lagi, namun karena begitu banyak pertanyaan yang menjejali otaknya sehingga ia bingung harus menanyakan pertanyaan yang mana dulu.
Kedua gadis itu kembali berfokus pada jendela mobil. Melihat pemandangan jalanan yang tampak ramai.
***
Noah menatap foto lama yang sengaja ia taruh di dekat tempat tidurnya. Sebuah foto saat formasi keluarganya masih lengkap. Saat itu dia berumur empat tahun dan Xav berumur dua tahun, ayah menggendong Xav dan sang ibu menggandeng dirinya. Dua bersaudara itu terlihat sangat berbeda karena gen yang melekat di diri Noah adalah gen dari ibunya yang kulit putih dan bermata biru. Sedangkan gen yang menempel pada diri Xav adalah gen ayahnya yang berambut gelap dengan iris kecoklatan.
***