"Hey, kenapa kamu membuang muka? Ayo tatap wajahku," tanya Saga sembari ia menarik tangannya Bella dengan paksa agar bisa ia lihat.
Bella hanya bisa menunduk di saat suaminya itu ingin melihat raut wajah yang memerah karena salah tingkah. Entah kenapa ia bisa seperti itu, padahal ia tahu bahwa cinta tidak ada di dalam hatinya untuk Saga.
"Wow! Lihat wajahmu, istriku. Ternyata kamu sangat menantikan malam pertama kita ya?" tanya Saga dengan senyuman manis yang lagi-lagi ia perlihatkan untuk kedua kalinya.
"Siapa juga yang menginginkan malam pertama? Tidak akan, Tuan Saga. Lepaskan tanganku." Bella melawan sampai akhirnya ia bisa lepas. Ditambah kursi roda Saga yang membuat pria itu sedikit kesulitan untuk terus menahan.
Membuat Bella berlari masuk ke dalam kamarnya, dan ia segera mengunci pintu dengan harapan agar suaminya tidak datang. Denyut jantungnya yang berdetak kencang di saat membayangkan malam pertama yang akan terjadi sebentar lagi.
"Ya ampun, bagaimana ini? Aku tidak mau memberikan semuanya kepada pria yang tidak aku cintai. Lagipula kakinya Saga cacat, jadi mana mungkin bisa dia memaksaku. Ya benar sekali, jadi sekarang tenanglah ... Bella." Berusaha mengatur deru nafasnya yang memburu.
Berusaha untuk berpikir positif walaupun hatinya masih sangat deg-degan. Lalu Bella memutuskan untuk menenangkan dirinya di bawah pancuran shower air hangat demi bisa membuatnya lebih rileks.
Di luar ruangan, Saga tersenyum tipis dengan memegang segelas wine di tangannya. Ia merasa semuanya akan berjalan dengan lancar, hingga perlahan dirinya pun bangkit dari kursi roda itu. Berjalan kearah Sam dan Bian yang juga sedang tertawa ceria dengan bermain biliar.
Permainan mereka segera berhenti ketika sang ketua datang mendekat, dan tidak lupa memberikan hormat. Namun, Sam dan Bian merasa khawatir ketika sang ketua berjalan dengan kaki yang sempurna.
"Tuan Saga, ini masih dikawasan acara pernikahan mu. Bagaimana jika nantinya Nona Bella melihat kakimu yang berjalan sempurna?" tanya Bian dengan merasa was-was.
"Tenanglah karena wanita itu sudah masuk ke dalam kamarnya," sahut Saga dengan santai sembari ia memperlihatkan senyumannya.
"Oh ... Aku tahu sekarang, pantas saja Tuan Saga terlihat begitu ceria. Rupanya sedang menantikan malam pertama," ledek Sam sembari melirik kearah Bian. Mereka pun mengakhiri ledekan itu dengan tertawa lepas.
"Hey, hentikan! Ayolah kalian tahu kan kalau aku tidak begitu mengharapkan pernikahan ini apalagi dengan malam pertama ini, dan akan melakukannya dengan terpaksa. Tapi sekarang, Bian, kamu harus menemaniku ke rumah sakit. Sam, tetap jaga di sini, dan jangan sampai Bella kabur." Saga mengalihkan perhatiannya agar tidak melulu menerima ledekan dari mereka.
"Baik, Tuan Saga," sahut mereka secara bersamaan. Bian segera berlari untuk menyiapkan mobil. Sedangkan Sam, kembali masuk ke dalam rumah untuk menjaga dari dalam.
Perjalanan Saga ke rumah sakit untuk menjenguk sang adik yang masih terbaring lemah tak berdaya. Hingga beberapa saat mereka pun tiba.
Membuat Saga hanya bisa melihat Devan Leandra Graham dari kejauhan. Ketika jendela besar yang sedang menghalanginya.
"Bian, segera panggilkan suster supaya aku bisa masuk ke dalam sana," perintahnya. Sebab, Saga meminta kepada pihak rumah sakit untuk tidak memberikan izin bagi pengunjung yang datang sembarang untuk bisa menjenguk adiknya.
"Baik, Tuan Saga." Bian pun berjalan dengan cepat, namun langkahnya terhenti ketika sebuah tempat tidur dorong menghalangi jalannya. Ia pun memilih untuk mengalah.
Tetapi saat itu Bian seperti mengenal seorang pria lansia yang sedang terbaring tidak berdaya, dengan kedua putrinya yang terus menangis. Membuat Bian berusaha mengingat, sampai akhirnya ia baru sadar jika pria itu adalah ayahnya Bella.
"Aku harus segera memberitahukan Tuan Saga, tapi sebaiknya sekarang aku panggilkan suster," gumamnya dan berjalan dengan lebih cepat.
Bian pun kembali bersama dengan seorang suster. Saga akhirnya bisa masuk ke dalam ruangan Devan, sedangkan Bian menunggu di luar.
Setiap kali datang untuk membesuk adiknya, Saga selalu tidak bisa menahan air mata yang terus berjatuhan. Ia dapat merasakan bagaimana penderitaan adiknya itu ketika harus melihatnya seperti tidak bernyawa. hanya selang infus dan beberapa alat lainnya yang selalu menemani Devan hingga lima tahun terakhir.
"Kakak datang lagi untukmu, Devan. Maafkan kakak karena Minggu ini terlambat mengunjungimu," ucap Saga sembari mengusap kepala adik kesayangan satu-satunya itu.
Kehancuran hati Saga setiap kali melihat Devan yang terus terbaring lemah, dan karena hal itulah yang semakin membuat dendamnya Saga ingin segera terbalaskan. Bahkan ia juga sangat menyesali ketika adiknya itu tidak dapat menikmati masa-masa remajanya dengan penuh kebahagiaan.
Selama lima tahun, Devan harus merasakan koma yang berkepanjangan setelah mengalami sebuah tragedi kecelakaan yang juga ikut menewaskan kedua orangtuanya, dan kaki Saga yang harus lumpuh untuk sementara.
Bahkan sampai detik ini Saga begitu menyesali atas permintaannya dulu untuk bisa pergi berlibur, dan ditambah ia sendiri yang mengemudikan mobilnya. Tapi sayangnya, mobil itu mendadak tidak bisa dihentikan.
Bayangan tentang kejadian kecelakaan itu selalu saja membuat Saga marah, namun ia tetap bisa mengendalikan dirinya untuk tidak bertindak gegabah. Tidak ingin terus-menerus meratapi kesedihannya, Saga pun memilih untuk ke luar.
"Lain waktu kakak akan datang lagi untukmu, Devan. Semoga kamu cepat terbangun dari koma mu ini. Kakak menyayangimu," ucap Saga dengan penuh perhatiannya.
Namun sebelum melangkah pergi, Saga menghapuskan air matanya terlebih dahulu karena ia juga merasa malu ketika memperlihatkan sosok dirinya yang lemah kepada orang lain.
"Bian, segera siapkan mobil."
"Tuan Saga, tunggu dulu."
"Ada apa? Kamu ingin pergi ke suatu tempat?" tanya Saga dengan merasa heran.
"Tidak, Tuan Saga. Tetapi, aku baru saja melihat kalau ayah dari Nona Bella dibawakan ke rumah sakit ini."
"Benarkah?" Saga tidak begitu percaya, namun Bian dengan cepat menjawab dengan anggukan kecil.
Memutarkan arah langkahnya, dan membuat mereka berdua berusaha ingin memastikan kebenarannya. Setelah mencoba bertanya kepada suster, Saga pun percaya, dan secara diam-diam meminta Bian untuk menemukan fakta.
Saat itu Bian berusaha untuk mengintip dari balik pintu kamar pasien. Akhirnya ia mengetahui tentang penyakit yang sedang dialami oleh ayahnya Bella.
"Tuan Saga, sepertinya dia sedang terkena serangan jantung," ucap Bian.
"Oh, begitu. Baiklah nanti saja kita datang ke sini lagi karena sekarang bukan waktunya yang tepat. Tunggu sampai dia sendirian di dalam ruangan itu. Ayo sekarang siapkan mobil untuk kita segera pulang," sahut Saga dengan mempertimbangkan semuanya tanpa harus terburu-buru.
"Baik, Tuan Saga."
Melangkah untuk segera pergi, dan Saga terlihat bahagia ketika mendengar kabar terbaru. Tapi, ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak memberitahukan kabar ini kepada Bella.
"Tanpa aku menyentuhnya, dan dia terluka dengan sendirinya," batinnya Saga dengan penuh kemenangan yang sekarang berpihak kepadanya.