"Baik, Tuan Saga."
Segera masuk ke dalam ruangan itu dengan sangat berhati-hati, dan Saga melakukannya dengan begitu mulus.
Kedatangan Saga membuat Ayah Freedy terheran, sebab ia tidak bisa mengenali siapa pria itu. Namun, di saat Saga mulai membuka penyamarannya sontak membuat Ayah Freedy begitu terkejut.
"Sa-Saga, k-kamu sudah bisa berjalan? Lalu di mana putriku Bella?" Hingga suara Ayah Freedy sampai gelagapan.
Tidak segera menjawab, tapi justru membalas dengan senyuman tipis. "Oh ... Jadi, Anda merasa heran kenapa aku bisa berdiri tegak sekarang, begitu? Wow! Berarti memang Anda sangat menginginkan kalau aku terus berada di atas kuris roda yang menyedihkan itu ya? Tapi, sayangnya aku telah sembuh."
"Aku tidak pernah berharap seperti itu, Saga, percayalah, nak." Ayah Freedy berusaha untuk tetap membuat menantunya itu percaya.
"Nak? Apa aku tidak salah mendengarnya? Sejak kapan aku menjadi anakmu? Oh, aku tahu hanya karena aku menikahi anakmu, begitu ya? Tapi, sayangnya Anda telah salah memberikan anakmu kepada pria pendendam sepertiku. Ingatkah Anda tentang kejadian lima tahun yang lalu?" Saga berusaha menahan amarahnya ketika ia mencoba untuk tidak segera menghabisi nyawa dari pria itu.
"Saga, percayalah bukan aku pelakunya, tapi aku hanya melakukan semua itu atas permintaan dari seseorang, dan tolong jangan jadikan anakku sebagai alat balas dendam mu." Ayah Freedy memohon dengan penuh permohonan yang tulus. "Salahku kenapa harus percaya dengan pria licik seperti Saga. Bahkan aku berpikir kalau dia masih cacat. Tapi sekarang, semuanya telah terlambat. Dia kembali hanya untuk menuntut pembalasan dendam," batinnya.
"Permintaan seseorang katamu?! Hey! Jangan membuatku semakin marah! Kau tahu kan, aku bisa membunuhmu sekarang juga! Sekarang pilihlah mati dengan sendirinya atau mati ketika harus melihat anakmu terluka di tanganku," geram Saga dengan begitu marah sembari dengan ancamannya yang keras.
Mendengar suara lantang Saga, sontak membuat serangan jantung Ayah Freedy mulai kambuh. Dengan perlahan ia memegangi dadanya sembari mengimbangi denyut jantungnya yang terus berdetak kencang dalam ketakutan.
"A-aku tidak melakukannya, tto-tolong jangan lukai anakku." Suara Ayah Freedy sampai terputus-putus, dan melemah. Hingga akhirnya tak sadarkan diri.
Dengan perlahan Saga menyentuh denyut nadi Ayah Freedy, namun ternyata semuanya sesuai dengan keinginannya. Senyuman tipis pun terlihat ketika niatnya telah tercapai. Ia pun ke luar dengan cepat dari ruangan tersebut.
Seolah-olah tidak sedang terjadi apapun, Saga bersama Sam berjalan kembali kearah kamarnya rawat Devan.
"Bagaimana, Tuan Saga. Apa semuanya berhasil? Tuan tidak meninggalkan sidik jari kan di sana?" tanya Sam, dan Bian berusaha menyimak dengan sesama.
"Tentu saat tidak, dan aku rasa dia telah tiada. Tapi anehnya, kenapa dia tidak mau mengakui kesalahannya itu?" Saga terlihat sedikit kebingungan.
"Jadi, dia masih tidak ingin mengaku, Tuan Saga? Tapi, jelas-jelas bukti mengarahkan bahwa dialah pelaku atas kecelakaan itu, Tuan Saga." Sam dan Bian ikut terheran.
"Itu sebabnya karena yang aku tahu bahwa dia berada di tempat kejadian. Namun, bisa saja dia berbohong kan? Bagaimanapun kedua orangtuaku telah tiada dan adikku koma karena ulah kejamnya," tegas Saga sembari ia menggenggam erat tangannya.
"Lalu sekarang apalagi yang harus kita perbuat di sini, Tuan Saga?" tanya Bian.
"Sam tetap berada di sini, dan Bian akan segera pulang denganku. Aku takut Bella melarikan diri, apalagi jika ia mendapat kabar dari adiknya."
"Baik, Tuan Saga."
Dalam perjalanan pulang, Saga terus terdiam meskipun saat itu Bian asyiknya mengayunkan kepalanya ketika mendengar lagu menarik dari dalam mobil. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat tuannya.
Namun, Saga masih kepikiran dengan semua perkataan dari Ayah Freedy, tetapi ia mencoba untuk mengalihkan perhatiannya itu.
"Ayo dengarkan nyanyian ku, Tuan Saga," ajak Bian dengan sengaja. "Ketika mengetahui bahwa atasannya itu sedang banyak pikiran.
"Bagus sekali suaramu, tapi lebih baik kalau kamu diam, Bian."
Di lain tempat, Elena baru saja tiba di tempat yang sudah dijanjikan untuk menjemput kakaknya dengan menggunakan sepeda motornya. Namun, ia tidak melihat seorangpun selain dari kendaraan yang terus lalu-lalang. Membuat Elena merasa kesal, tapi ia masih tetap berusaha menunggu dengan sabar.
"Duh ... Ke mana perginya kamu, Kak? Padahal jelas-jelas lokasinya di sini, tapi kenapa tidak ada Kak Bella di sini." Elena semakin resah. Ia bahkan terlihat uring-uringan.
Membuatnya semakin tidak sabar, dan sedikit khawatir dengan keadaan ayahnya yang tinggal sendirian. Ia mencoba menghubungi kakaknya, namun panggilan itu tak terjawab. Sampai tiga puluh menit lamanya, Elena telah menunggu, tapi tetap tidak ada wujud Bella yang datang.
Memutuskan untuk menghubungi adiknya—Fiona. "Hallo, kamu sedang ada di mana?"
"Aku sedang mengambil formulir masuk universitas, kak. Nanti saja ya kakak menghubungiku lagi." Fiona sedang tidak bisa diganggu sampai ia mematikan ponselnya sebelah pihak.
Semakin membuat Elena kesal karena hanya ia yang terlihat peduli dengan ayahnya. "Kenapa kalian tidak ada yang peduli dengan ayah? Bahkan Kak Bella, dia terlalu sibuk dengan suaminya sendiri."
"Sepertinya kakak sudah menipuku," lanjut Elena dalam gumamnya.
Kekesalan Elena membuat ia memutuskan untuk segera kembali ke rumah sakit. Entah kenapa hatinya begitu terasa tidak nyaman seperti ada sesuatu yang sedang terjadi.
Setiba di rumah sakit, Elena semakin gundah, dan ia berusaha untuk tetap berpikir positif. Pertama masuk ke dalam ruangan rawat ayahnya, tiba-tiba saja ia melihat sang ayah tidak sadarkan diri. Ia berpikir jika ayahnya sedang tertidur pulas.
Namun, Elena mencoba mendekati ayahnya untuk mengadukan apa yang telah terjadi. "Sepertinya kakak sengaja ingin membohongi kita, Ayah."
Tidak ada respon dari Ayah Freedy, namun pertama kali masih membuat Elena berpikir positif. Hingga ia mencoba menggerakkan tangan, tapi tiba-tiba fokus Elena mengarah kearah denyut nadi yang tidak bergerak sama sekali.
Semakin membuat Elena panik, dan mencoba menyentuh hidung ayahnya. Namun ternyata, nafas sudah tidak ada berhembus, dan semakin membuat dirinya tidak dapat berpikir positif.
"Ayah, bangun. Aku pulang, Yah." Elena semakin kebingungan, dan ia bergegas berlari agar bisa memanggil sang dokter.
"Ya ampun, kenapa enggak ada satupun dokter yang lewat di tengah kepanikan seperti ini."
"Dok, Dokter! Tolong ayah saya, Dok." Dengan begitu panik dan merasa sangat khawatir. Elena sampai menarik-narik tangan sang dokter.
"Iya-iya, saya akan menuju ke sana sekarang."
Setiba di dalam ruangan tersebut, Elena mencoba menghilangkan ketakutan terbesar di dalam hidupnya. Ia berharap tidak terjadi apapun dengan ayahnya, namun dokter terlihat diam setelah mencoba mengecek kedua mata serta denyut nadi.
Diamnya sang dokter justru membuat Elena keheranan, ia pun segera bertanya. "Bagaimana keadaan ayah saya, Dok? Ayah cuma sedang tertidur kan?"