Igho terdiam diri di tempat sepi itu sambil menghabiskan air matanya.
Ia tak bisa terima kalau saat ini Papanya lebih memilih membela orang lain di bandingkan dirinya.
Igho pikir dunia ini memang benar tidak adil. Ia mengepalkan tangannya dan memukul kencang angin menghempaskan semua kekesalannya.
"Arrgh!" teriak Igho lepas.
"Ayah. Aku tak akan dia sampai kapanpun juga. Aku akan menyingkirkan Alyn juga Daniah di kediaman kita. Aku tak terima!" jerit Igho sambil menengadah ke atas langit. "Alyn Lihat saja sampai kapanpun juga aku akan membalas semuanya!" dengkus Igho sangat yakin.
Sementara Alyn keluar dari kamar Daniah yang sudah selesai di periksa oleh dokter. Ia bergegas masuk kedalam kamarnya.
Blug!
Alyn melempar pintu kencang karena masih geram atas tingkah Igho.
Di dasar pintu, Alyn menyandarkan tubuhnya yang terasa sangat letih.
Sedikit demi sedikit tubuh Alyn melorot bersamaan dengan jatuhnya air mata Alyn.
"Igho. Kenapa kamu begitu kejam? Apa salahku dan ibuku?" ucap Alyn lirih.
Sejenak Alyn mengingat pula sesuatu yang sempat ia saksikan di rumah sakit beberapa hari yang lalu.
Alyn berdiri di bibir pintu ruangan Ibunya di rawat dengan lutut yang sangat lemas.
Pria berjubah putih itu sedang sigap memeriksa Daniah dengan teliti.
Lalu pria itu menyampirkan alat kedokterannya di atas tengkuk lehernya.
"Maaf Bu. Dengan berat hati kami harus mengabarkan ini pada anda. Bagaimanapun juga anda harus mengetahuinya."
"Iya Dok. Bicara saja, aku sudah siap mendengar apa hasil dari lab ku."
Dokter itu terlihat ragu mengucapkannya. Tapi tak ada orang lain lagi di tempat itu. Bahkan tak ada satupun pihak keluarga yang bisa di ajak musyawarah saat itu.
Berat hati Dokter itu mengucapkan hasil lab dari Daniah dengan serinci-rincinya.
"Begini, jadi hasilnya ternyata anda mengidap penyakit kangker tulang belakang stadium akhir,"
"Hah?" Sontak Daniah membelalak mendengarnya, ia tak menyangka penyakitnya bisa separah itu.
Ia pikir yang sedang di alaminya hanya penyakit biasa seperti kecapean dan letih saja.
"Pasti dokter salah kan?" ucap Daniah dengan bibir lemah bergetar hebat.
"Maafkan saya harus mengatakan ini Bu."
Bulir kecil yang menyembul di kelopak mata Daniah langsung terjun membasahi pipinya. Ia tak menyangka kalau dirinya separah itu.
Pantas saja belakangan ini ia sering merasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya dan paling inti ia merasa sakit di bagian punggungnya.
Bahkan setiap kali bekerja di dapur, pasti dia selalu merasakan letih yang hebat.
"Apa yang harus aku lakukan Dok?" tanya Daniah dengan mata yang semakin basah saja.
"Sebaiknya anda terus rutin melakukan kemoterapi,"
"Apa itu Dok?"
"Kemoterapi itu sebuah metode pengobatan dengan cara terapi rutin menggunakan sebuah cairan kimia untuk melawan sel kanker anda."
"Lakukan saja yang terbaik dok!"
"Tapi, cara ini akan membutuhkan biaya yang sangat besar, dan membutuhkan waktu yang sangat lama."
Sejenak Daniah berpikir soal itu karena ia benar-benar tidak memiliki biaya apapun untuk menyembuhkan penyakitnya selain rumah yang sedang ia singgahi sekarang ini.
Daniah mulai gontai melakukan semua itu dan lebih baik mundur teratur saja.
"Aku lebih memilih mengobati diriku di rumah saja dok kalau begitu,"
"Baiklah. Kalau ada apa-apa saya tidak ikut bertanggung jawab karena ini sudah menjadi
keputusan anda!"
"Baik Dok!" dengan hati yang sesak, Ibu Daniah berusaha tegar saat itu sedangkan Alyn yang mendengarkan perbincangan mereka merasa tersambar petir.
Sebuah palu besar bagai menghantam seluruh tubuhnya hingga ia merasa tubuhnya sudah sangat lemas tak bertulang.
Hanya dengan berada di rumah besar itu, Alyn bisa memohon pertolongan pada Manaf untuk terus membantu Daniah dalam penyembuhannya.
Saat ini Harta paling berharganya adalah Ibu. Tidak ada hal lain lagi selain Ibu Daniah yang menjadikan dirinya kuat menopang beban berat itu.
Alyn membenamkan seluruh wajahnya di atas telapak tangannya.
'Ya tuhan. Kenapa beban ini begitu berat? Ibu sakit keras, dan aku harus di hadapkan dengan Igho yang sangat benci kepadaku. Apalagi hari ini aku sudah tidak memiliki pekerjaan lagi. Ya tuhan tolonglah hambamu ini!' jerit batin Alyn seolah tak ada tempat untuk berlindung.
Di tempat yang berbeda Alyn dan Igho nampak sesenggukkan menangis lepas karena hal yang sama. Seorang ibu jadi alasan keduanya untuk saling menahan ego masing-masing.
'Jesslyn Kato! Yakinlah kamu pasti kuat menjalani semua ini. Pasti ada jalannya! Ayo semangat Lyn!' Alyn menguatkan dirinya sendiri agar tetap bisa bertahan apapun yang akan di lakukan oleh Igho selanjutnya.
Malam semakin berlarut Igho sama sekali tak kunjung pulang. Sedangkan Alyn harus merawat lebih teliti lagi Ibunya agar cepat pulih.
"Om?"
Alyn mendekati Om Manaf seusai menyeka keringat ibunya di kamar.
"Alyn? Bagaimana keadaan ibu kamu?"
"Sudah lumayan membaik om."
"Syukurlah kalau begitu."
"Igho belum pulang om?" tanya Alyn yang sedari tadi melihat Om Manaf kelimpungan mondar mandir di halaman rumahnya.
"Belum lyn. Entah kemana anak itu, kerjaannya bikin rusuh melulu. Tidak tahu apa kalau ayahnya mengkhawatirkannya di sini,"
"Sabar ya Om. Maaf gara-gara kami Igho jadi pergi,"
"Tidak. Tidak. Itu bukan karena kesalahan kalian tapi karena kenakalannya sendiri. Igho harus di beri pelajaran. Ach, biarkan saja dia merasakan kedinginan tidur di luar sana," ucap Manaf meski tidak sesuai dengan suara hati kecilnya.
"Tapi om?"
"Sudahlah. Ayo kita masuk!" ajak Manaf lalu ia mengunci pintunya rapat-rapat.
Alyn merasa bersalah dan sesekali melihat dasar pintu rumah itu yang sudah tertutup, karena masalah siang itu, Igho jadi tidak pulang kerumah.
Berada di rumah itu membuat Akun merasa serba salah saja.
Tapi Manaf tetap mendorong Alyn agar tetap bijak menyikapinya.
Malam yang semakin larut membuat seisi rumah memasuki kamar masing-masing. Hanya kamar Igho yang terlihat sepi tak berpenghuni.
Manaf tak sengaja melewati kamar Igho sebelum ia memasuki kamarnya.
Ia membuka pintu kamar itu dan melihat sekeliling ruangan dengan bola mata yang liar.
"Dimana anak nakal itu sekarang ya? Hemz Gho, kamu percis kaya Mami kamu. Keras kepala," batin Manaf terlihat lirih melihat kamar itu tak berisi.
Lalu Manaf kembali menutup pintu kamar Igho dan berjalan dengan langkah berat meninggalkan kamar itu.
Sepertinya bayangan wajah Igho terus tergambar di dalam pikirannya. Ia merasa bersalah terlalu bersikap keras pada anak sematawayangnya itu hingga dirinya ingin sekali minta maaf pada Igho.
Terlebih setelah melihat kalender di dalam ponselnya, besok adalah hari special Igho dimana hari kelahirannya akan segera tiba.
"Besok hari ulang tahun Igho. Aku harus membelikan sesuatu untuknya," ucap Manaf setelah ia sampa di kamarnya. Ia berbicara pada dirinya sendiri seolah yakin akan meminta maaf untuk memperbaiki jarak mereka yang renggang.