Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

ANTARA LANGIT DAN BUMI

🇮🇩Aya_Arini
--
chs / week
--
NOT RATINGS
10.5k
Views
Synopsis
Mauren memutuskan untuk menutup pintu hatinya, tidak ada orang baru yang boleh hadir dan kembali membuatnya kecewa. Hanya ada Bumi serta Kenanga di hidupnya, dua orang yang Mauren percaya tidak akan pernah melukainya. Namun, nyatanya berharap pada manusia memang bukanlah hal yang benar. Satu persatu fakta menyakitkan muncul saat sosok Langit hadir di hidup Mauren. Laki-laki itu bukan hanya sekadar orang baru yang bisa meruntuhkan tembok pertahanan Mauren, tetapi kehadiran Langit ternyata memang sengaja Tuhan kirim untuk membuka fakta tentang siapa Bumi sesungguhnya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 2. Mauren

Rasanya, baru beberapa menit Mauren memejamkan mata. Nyaris masuk ke dunia mimpi dengan seseorang yang selalu ditunggunya, terpaksa membuka mata karena ponselnya terus berdering. Benda pipih yang diletakkannya di atas meja samping tempat tidur itu seperti tengah berteriak untuk menginformasikan sesuatu yang teramat genting. Gadis berusia 27 tahun itu mendesah kesal saat melihat nama di layar. Kenanga, sahabat juga orang yang selalu merusuh hari tenangnya terpampang di layar ponsel.

"Ren! Tolongin gue!" Teriakan dari seberang begitu memekakkan, Mauren sampai menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Ren, tolongin masa depan gue, Ren!" Kenanga terdengar begitu panik saat mengatakan itu. Jika yang menerima telepon saat ini bukanlah Mauren, pasti sudah dibuat kalang kabut panik karena akan berpikir yang tidak-tidak.

"Mau ngapain?" tanya Mauren dengan nada santai karena yakin sahabat yang sudah dikenalnya sejak kecil itu tidak sedang dalam kondisi berbahaya. Paling hanya lupa menepati janji makan malam, atau kencan dengan pacarnya.

"Malam ini gue ada janji sama Romeo buat dikenalin sama orang tuanya," rengek Kenanga masih dengan nada panik.

"Terus?"

"Lo ke sini, nanti gue jelasin!"

"Ma—"

"Nggak ada males-malesan!" potong Kenanga cepat, tahu betul satu kata yang akan muncul dari bibir Mauren. "Gue bener-bener butuh bantuan lo kali ini, Ren. Please, Ren, ini bener-bener menyangkut masa depan gue."

Mauren mendesah pasrah, jika Kenanga sudah memohon seperti itu dia tidak bisa menolak, jika tidak ingin mendapat teror setiap waktu yang Kenanga lakukan sebagai aksi balas dendam.

*

Sehingga di sinilah Mauren akhirnya berada, berdiri di depan sebuah sekolah SD elite tempat anak-anak orang kaya biasa menuntut ilmu.

"Ren, bantuin gue, ya." Kenanga merengek setelah menjelaskan kesulitannya, dan Mauren malah menolak apa yang menjadi permintaannya.

"Gue bisa bantuin yang lain, tapi nggak yang ini." Mauren bergidik ngeri melihat anak kecil di samping Kenanga yang sebenarnya terlihat manis. Namun, semanis apa pun anak kecil hanya akan membuatnya repot. Apalagi anak ini tidak dikenalnya sama sekali. Dan sekarang, Kenanga memintanya untuk menjaga anak orang yang tidak dirinya ketahui perangainya. Bagaimana jika anak ini nakal?

"Lesi anak manis kok, Ren. Nggak bakalan repot jagain dia." Kenanga benar-benar merasa buntu karena acaranya dengan Romeo akan berlangsung sebentar lagi.

"Bapaknya juga bakalan jemput satu jam dari sekarang," ujar Kenanga lagi dengan wajah nyaris menangis.

Mauren yang melihat itu semua tentu saja tidak tega. Apalagi momen perkenalan dengan orang tua Romeo ini sudah Kenanga tunggu dari lama.

"Memangnya bapaknya anak ini nggak bakalan marah sama lo nanti? Nitipin anaknya ke sembarang orang?" Mauren benar-benar tidak mau dunia sepinya terusik oleh orang lain. Apalagi setelah ini masih ada deadline pekerjaan yang harus diselesaikannya. Beberapa novel dari penerbit harus dirinya revisi dan itu membutuhkan waktu tenang.

"Enggak bakalan! Pak Rakasya percaya banget sama gue. Dan gue tadi juga udah bilang sama dia kalau nitipin Lesi ke lo." Kenanga benar-benar berharap Mauren menyetujui permintaannya.

Mauren yang tidak memiliki pilihan lain akhirnya menyerah. "Oke, tapi—"

"Makasin banget, Ren, gue cabut sekarang," potong Kenanga sembari berlari menjauh sebelum sosok sahabatnya berubah pikiran. "Nanti gue bakalan kasih nomor lo ke Pak Raka!" teriak gadis dengan rambut ikal itu lagi sebelum melesat dengan taksinya.

"Tante." Panggilan lirih itu membuat fokus Mauren yang sedang menatap kesal bekas jejak Kenanga terpaksa menunduk. Ditatapnya mata bulat gadis kecil bernama Lesi yang kini juga tengah menatapnya.

"Lesi laper," ujar gadis itu lagi.

Mauren mengangguk, meski sebenarnya dia bingung dengan gadis kecil ini. Kenapa dia tidak takut berdekatan dengan orang asing sepertinya?

*

"Kamu nggak takut sama Tante?" tanya Mauren penasaran. Dia sudah membawa Lesi untuk makan di restoran cepat saji yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat mereka tadi bertemu.

Gadis kecil itu menggeleng sembari menggigit burger jumbo yang dilumuri saos. Tingkah Lesi sebenarnya mengingatkannya pada seseorang. Satu orang yang—Mauren menggeleng saat merasa tidak ada gunanya mengingat beberapa hal yang sudah diputuskan untuk dilupakan.

"Tante, kan, temennya Tante Anga, jadi aku nggak takut. Bukan orang asing."

Mauren tersenyum tipis, lalu menyedot minumannya sebelum menenggelamkan diri pada buku yang selalu dibawanya ke mana pun. Itu novel seorang penulis ternama yang belum sempat dilahapnya habis karena waktu yang begitu terbatas.

"Lagian Tante keliatan baik." Perkataan Lesi membuat Mauren terpaksa menoleh.

"Dilihat dari mana?" Mauren bukan tipe orang yang pandai berbicara dengan orang asing. Dia lebih senang diam dan tidak dilihat oleh siapa pun. Namun, Lesi hanya anak kecil yang tidak akan memberi pengaruh apa-apa pada hidupnya.

"Tante cantik." Gadis kecil itu tersenyum lebar saat mengatakan itu. Dua kata yang mampu memancing seorang Mauren yang kaku tersenyum dengan begitu mudahnya. Ternyata benar ucapan Kenanga, gadis kecil ini tipe yang mudah diatasi.

"Tapi nggak semua orang cantik itu baik. Kamu harus tetap hati-hati." Mauren kembali memusatkan perhatian pada buku di tangannya saat Lesi mengangguk sebagai jawaban.

"Papi!" Teriakan itu berasal dari Lesi dan Mauren terpaksa kembali meninggalkan barisan kata di depannya. Kepalanya menoleh ke arah pintu masuk restoran, seorang laki-laki dengan perawakan kurus tinggi kini tengah berjalan ke arah mereka.

"Papa kamu?" tanya Mauren pada Lesi. Dan saat gadis kecil itu mengangguk, Mauren segera memasukkan bukunya ke dalam tas. Tugasnya sudah selesai dan kini dia bisa pulang.

"Maaf, saya jadi ngerepotin kamu," ujar laki-laki bermata sipit itu setelah berdiri di samping meja. Entah laki-laki itu yang terlalu tinggi, atau Mauren yang terlalu pendek, saat gadis itu berdiri masih harus mendongak untuk melempar senyuman tipis tanpa arti.

"Karena Bapak sudah dateng, saya mau permisi pulang."

"Tunggu!" Seruan itu menghentikanm langkah Mauren, gadis itu kembali mendongak untuk menunggu kalimat apa yang akan ayah Lesi ini berikan.

"Sebagai tanda terima kasih—"

"Nggak perlu," jawab Mauren cepat. Tidak mau bersinggungan dengan orang baru. Setelah ini, dia akan bersikap seperti orang yang tidak pernah mengenal jika mereka tiba-tiba bertemu. Mauren tidak suka berkenalan dengan orang baru, dekat dengan orang baru. Dia sudah nyaman dengan dua orang yang kini mengisi hidupnya. Cukup mereka dan Mauren tidak butuh siapa pun lagi.

"Saya cuman menjaga Lesi sebentar, dan anak Bapak juga bersikap manis. Jadi, saya nggak perlu ucapan terima kasih." Mauren kembali melempar senyuman tipis tanpa arti.

"Maaf karena saya harus segera pergi. Permisi." Setelah mengatakan itu Mauren langsung melangkah pergi sebelum laki-laki yang kini tengah mematung dengan raut bingung itu mengucapkan apa pun untuk membantah kalimatnya. Namun, sayangnya pertemuan itu bukanlah yang terakhir, ada pertemuan-pertemuan selanjutnya yang memaksa Mauren untuk siap menerima orang baru. Hal yang selalu dirinya takutkan karena mengenal orang baru sama saja dengan membuka peluang untuk menyayangi. Dan rasa sayang hanya akan membuka peluang untuk hatinya kembali merasakan kecewa. Apa pun itu statusnya.