"Selamat ulang tahun," bisik laki-laki dengan mata sipit itu sembari membuka kotak perhiasan putih di tangannya. Di mana, di dalam kotak tersebut bernaung kalung cantik dengan liontin berbentuk bunga.
Gadis di depannya, langsung menunjukkan senyuman lembut. Sebentuk senyum yang selama ini selalu membuat mimpi laki-laki itu indah. Dunianya terasa sempurna semenjak gadis ini hadir.
"Ini bagus banget loh, Mas. Mas Langit selalu kasih aku hadiah bagus, sementara aku nggak pernah ngasih apa-apa ke Mas," keluh gadis dengan mata teduh itu sembari menggelung rambut panjangnya yang tergerai saat Langit bangkit dari duduknya. Berniat memakaikan kalung perak dengan liontin bermata berlian itu ke lehernya.
"Kalung ini nggak berarti apa-apa kalau dibanding kamu yang selalu ada buat aku." Langit mencium kening gadis yang begitu dicintainya ini dari belakang. "Makasih karena kamu mau nerima kondisi aku apa adanya."
Maura, gadis berusia 25 tahun itu tersenyum penuh haru saat mendengar kalimat yang Langit ucapkan. Langit Rakasya Hardian, selalu mengucapkan kalimat itu, padahal dia yang harusnya mengucapkan terima kasih seperti itu.
"Aku juga bukan sosok yang sempurna, Mas. Aku punya cerita kelam di masa lalu, yang kalau Mas Langit tahu, mungkin akan buat Mas Langit ilfil."
Langit yang sudah kembali ke kursinya segera meraih jemari lentik Maura, atau yang lebih sering dipanggilnya Ara. "Semua orang punya cerita kelam di hidupnya. Dan lagi itu masa lalu, asalkan kamu sudah menjadi lebih baik, apa pun cerita kelam itu nggak perlu aku risaukan."
Seperti inilah Langit, tidak pernah mau mengungkit cerita kelam seperti apa yang Maura pernah alami di masa lalu. Jika itu menyakitkan, maka sebaiknya tidak perlu diungkit lagi atau malah akan membangkitkan luka yang mungkin saja sudah susah payah dikubur. Terkadang memang ada beberapa hal yang tidak perlu diungkit, cukup tutupi dan anggap tidak pernah ada. Dan lagi, memang cerita kelam Maura itu tidak berani pemiliknya ingat. Depresi akibat cerita itu terkadang masih sering menganggu kehidupan Maura, jadi memang lebih baik tidak perlu diungkit lagi. Maura bersyukur karena Tuhan mengirim jodoh seperti Langit di hidupnya. Maka saat laki-laki ini melamarnya beberapa hari yang lalu, gadis itu tidak berpikir panjang untuk menerimanya. Ke mana lagi dia bisa mencari laki-laki yang tidak mempertanyakan masa lalunya. Namun, sayangnya kebahagiaan ini tidaklah sempurna karena sesorang yang seharusnya menjadi salah satu saksi hari bahagianya itu menghilang.
"Jadi kapan aku boleh ke rumah kamu buat ngelamar kamu secara resmi?" Pertanyaan itu langsung melenyapkan senyuman Maura.
"Apa Mas Langit marah, kalau aku bilang belum bisa?" tanya Maura dengan wajah takut.
Langit sebenarnya kecewa, tetapi jika memang Maura berkata belum bisa maka dia akan menurutinya. "Kalau kamu belum siap—"
"Bukan karena aku belum siap," potong Maura cepat. Dia tidak mau Langit salah paham. "Tapi ada satu masalah yang harus aku selesain."
"Apa aku bisa bantu?" Langit tulus menawarkan bantuannya. Bukan semata-mata untuk mempercepat proses pernikahan mereka, tetapi juga untuk meringankan beban Maura. Namun, gadis itu malah menggelengkan kepalanya.
"Nggak perlu, ini urusan keluarga aku, Mas. Jadi aku akan selesain sendiri." Maura senang dengan tawaran bantuan yang Langit berikan, tetapi kali ini dia benar-benar tidak mau melibatkan Langit. Atau orang yang harus diluluhkan hatinya itu akan semakin membencinya.
"Ya sudah, kita makan."
Maura mengangguk, dan keduanya mulai mengalihkan topik pembicaraan pada hal-hal yang lebih ringan.
*
'Kak, hari ini aku ulang tahun. Kakak nggak mau kasih selamat?'
Mauren membaca pesan itu di pop up layar ponselnya yang menghitam. Kadang, ada keinginan untuk membalas beribu pesan yang sudah diabakannya itu sekali saja. Namun, perasaan kecewa yang mendominasi kini masih memenangkan isi kepala dan hatinya untuk kembali mengabaikannya.
'Hari ini aku 25 tahun. Kakak ingat, nggak, kalau aku pernah bercita-cita nikah di usia ini. Dan sekarang udah ada yang ngelamar aku.'
Mauren masih diam, hati dan kepalanya selalu berperang setiap kali pesan-pesan itu masuk. Apalagi hari ini adalah hari istimewa untuk seseorang yang sudah dihindarinya selama bertahun-tahun ini. Mauren hanya takut untuk membuka hati, dia takut akan kembali dikecewakan lagi.
Gadis itu menghela napas, merasa bersyukur saat pesan itu tidak lagi masuk. Kini berganti dengan dering telepon yang memunculkan senyuman di bibirnya.
"Halo," sapa Mauren dengan degub rindu yang menyelimuti hatinya. Entah sudah berapa bulan dia tidak bertemu dengan laki-laki yang berstatus sebagai kekasihnya ini. Biasanya dia yang akan menyusul ke tempat Ardian melakukan konser musik, tetapi akhir-akhir ini kesibukan tidak bisa membuatnya beranjak ke mana pun.
"Aku kangen banget." Suara berat itu memancing Mauren untuk tersenyum.
"Kayaknya bulan depan aku baru bisa nyusulin kamu. Bulan depan jadwal kamu ke mana?"
"Kelamaan kalau bulan depan, Yang," ujar Ardian.
"Bulan ini aku beneran nggak bisa."
"Nggak bisa buat keluar rumah doang?"
Mauren mengerjab bingung, lalu saat satu pemikiran muncul, gadis itu segera bangkit dari duduknya, dan berlari ke depan rumah. Benar saja, sosok jangkung itu kini sudah berdiri di sana. Mauren tanpa canggung langsung menghabur ke pelukan laki-laki yang begitu berarti dihidupnya ini. Pertemuan yang begitu jarang tidak lantas membuat keduanya merasa canggung untuk menunjukkan rasa memiliki. Mungkin karena hubungan mereka yang terjalin lama.
"Kamu kok nggak bilang-bilang mau dateng?" Mauren melepaskan pelukannya untuk menatap wajah sang kekasih yang menyiratkan kelelahan.
"Nggak surprise dong, kalau kabar-kabar."
Mauren tersenyum, lalu menarik lengan Ardian agar laki-laki itu melangkah masuk. "Kopi?" tawar gadis itu, lalu segera melangkah ke dapur saat anggukan kepala diterimanya sebagai jawaban.
"Aku cuman bisa sebentar, dua jam lagi udah harus terbang ke Bali." Ardian melangkah mendekati Mauren, lalu memeluk tubuh mungil itu dari belakang.
"Nanti aku nyusul," ujar Mauren tanpa beban. Semenjak mereka memutuskan untuk menjalin komitmen, keduanya sudah tahu risiko hubungan ini. Dan meski berat, hubungan jarak jauh yang mereka lalui berjalan lancar karena masing-masing percaya tidak akan ada yang menodai hubungan mereka.
Bagi Ardian, Mauren adalah sosok langka yang tidak mungkin akan dia sia-siakan keberadaannya. Meski banyak godaan di luar sana, laki-laki itu selalu bisa menjaga hati dan pikirannya untuk tetap menjadi milik Mauren. Tidak semua orang bisa mengerti dirinya yang memiliki begitu banyak kekurangan. Dan hanya dengan gadis ini dia merasa sempurna dan tidak ada perasaan takut dihianati.
"Kamu baik-baik aja?" Ardian menanyakan itu tentu bukan tanpa alasan. Dan kedatanganya hari ini di tengah-tengah kesibukannya juga bukan karena sekadar rasa kangen. Tanggal dan bulan ini adalah waktu paling sensitif untuk Mauren.
Gadis itu memberikan senyuman, sebuah senyum yang tidak pernah sampai ke mata. "Seperti yang kamu lihat, aku sangat baik."
Ardian menghentikan tangan Mauren yang sedang menyeduh kopi untuknya. Laki-laki itu lalu memutar tubuh gadis itu agar mau menghadapnya.
"Kalau kamu lagi nggak baik, bisa kok ngomong sama aku kalau lagi nggak baik." Ardian tidak tahu pasti apa yang membuat hari ini, tanggal ini begitu menyedihkan untuk seorang Mauren. Gadis ini tidak pernah mau bercerita, maka dia pun tidak mau mengoreknya.
"Bapak Bumi Ardian, saya benar-benar baik-baik saja." Mauren menangkup wajah kekasihnya, lalu mendaratkan satu kecupan di bibirnya. Satu hal yang Ardian balas dengan mencium gadisnya dengan cara yang benar menurutnya.
"Aku kayaknya harus pergi sekarang," ujar laki-laki itu sembari mengusap bibir Mauren yang basah. Ponsel di sakunya terus berdering sejak tadi. Menandakan waktunya untuk berkunjung sudah habis.
Mauren mengangguk, meski rasa rindunya belum benar-benar terobati, tetapi dia tidak boleh egois. "Akhir minggu sepertinya aku free."
"Aku tunggu," ujar laki-laki itu sembari mengecup singkat bibir Mauren sebelum pergi. Namun, langkahnya sempat terhenti saat melihat sebuah benda tergeletak di lantai.
"Ini punya kamu?" Ardian memungut gantungan kunci berbentuk lumba-lumba itu, lalu menunjukkannya pada Mauren.
"Oh, itu punya anak bos Kenanga." Mauren mengangkat alis saat Ardian seperti menunjukkan ekspresi aneh. "Kenapa?"
Laki-laki itu malah menggeleng, lalu memutuskan untuk benar-benar melangkah karena ponselnya terus saja mendapatkan teror.