"Kenanga saya butuh waktu sebentar buat bicara sama kamu." Langit mengatakan itu setelah sekretarisnya itu selesai membacakan jadwalnya hari ini.
Kenanga yang tidak mungkin bisa kabur tentu saja menganggukan kepalanya. Posisinya sungguh benar-benar ada di satu tempat yang tidak menguntungkan sama sekali. Dia terjepit di antara Mauren, Maura, dan kini Langit. Tentu saja dia sudah bisa menebak apa yang akan bosnya ini bahas.
"Ada apa, ya, Pak?" tanya Kenanga pura-pura bodoh. Andai saja dia bisa mendadak amnesia saat ini.
"Kamu pasti tahu apa yang akan saya bahas." Langit menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi sembari menatap Kenanga yang saat ini menunjukkan wajah bingung. "Tenang saja, saya nggak akan maksa kamu buat cerita apa yang sebenarnya terjadi antara Maura dan Mauren, karena itu bukan kapasitas kamu untuk menjelaskan. Walaupun sebenarnya saya sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka."
Kenanga mengerutkan kening, lalu berujar, "Memangnya, Rara belum cerita apa-apa ke Bapak?" tanya gadis itu. Kenanga pikir Langit sudah tahu pokok permasalahannya.
Langit menggeleng, dia sebenarnya sangat pensaran dengan apa yang terjadi, tetapi memutuskan untuk tidak mengorek jauh. Berharap suatu saat Maura akan mengungkapkannya sendiri tanpa beban.
"Saya sudah coba tanya ke Ara, tapi dia kayak tertekan saat harus memulai cerita, jadi saya putusin untuk nggak minta penejlasan lebih." Langit hanya sedang berusaha untuk menjadi laki-laki pengertian. Padahal sebenarnya jika dia mencari tahu sumber masalahnya juga tidak salah.
Kenanga tahu betul apa yang pernah menimpa Maura itu bukan sesuatu yang mudah, dan sangat paham jika gadis itu tidak bisa menceritakan detail masa lalu yang sudah susah payah untuk dikubur. Namun, apa benar jika menyembunyikan semua itu dari Langit? Ah, entahlah, itu bukan urusannya.
"Yang pengin saya tahu, apakah nggak salah kalau kita bantu mereka biar bisa akur lagi?" Langit harus tahu apakah langkah yang akan diambilnya itu tidak salah.
"Sebenarnya nggak salah, Pak," jawab Kenanga. Dia juga sebenarnya ingin melihat kakak beradik itu akur seperti dulu lagi. Dan dengan begitu Mauren pasti bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Mauren sekarang ini nggak bener-bener marah sama Rara, dia cuman kecewa dengan cara berlebihan. Dan kekecewaan itu ngebuat dia terus nyalahin diri sendiri karena merasa nggak bisa jadi kakak yang baik untuk Rara. Dia merasa gagal menjadi seorang kakak." Kenanga sungguh prihatin dengan Mauren yang seperti itu. Sahabatnya yang satu itu dulu adalah gadis ceria, dan mudah bergaul. Namun, semenjak kejadian tidak menyenangkan itu Mauren membatasi diri dari dunia luar. Tidak membiarkan orang baru masuk karena takut akan menimbulkan kekecewaan baru.
"Jadi kalau saya minta tolong ke kamu untuk tahan Mauren agar nggak pindah dari kontrakan itu, kamu bersedia?" Langit berharap sekretaris sekaligus sahabat Mauren ini mau bekerja sama.
Kenanga sebenarnya mau, tetapi bukankah itu namanya dia mengkhianati Mauren? Gadis itu meringis sembari berujar, "Gimana, ya, Pak. Saya bingung."
Langit tersenyum tipis, paham apa yang kini menjadi dilema Kenanga. Posisi gadis ini sungguh bukan tempat yang nyaman karena terjepit di antara orang-orang terdekatnya. Dan kini ditambah dirinya yang berstatus sebagai bos. "Nggak masalah juga kalau pindah, karena saya bakalan langsung nemuin tempat barunya. Sejauh luar kota atau pun luar negeri saya akan tetep bisa nemuin dia."
Kenanga semakin merasa bingung, dia tahu kata-kata Langit bukan sebatas gertakan tanpa arti. "Terus saya harus gimana, Pak?" ujarnya putus asa.
"Kamu bisa bilang ke dia kalau saya bakalan ngutus orang buat ngawasin kontrakan dia yang sekarang, dan juga akan ada yang ngikutin kamu setiap harinya." Langit tidak sedang berniat mengancam, dia memang akan melakukan hal ini mulai hari ini.
Kenanga yang tidak memiliki daya untuk membantah hanya bisa pasrah, dan segera keluar saat kesepakatan itu terpaksa diterimanya.
*
Entah hanya perasaan Mauren, atau memang ada orang yang seperti mengikutinya sejak tadi. Tepatnya setelah dia keluar rumah, pergi menuju bandara, berada di pesawat, dan kini tengah berada di Bandara Ngurah rai Bali. Yah, dia sedang melarikan diri sesaat karena yakin tidak akan mendapatkan kontrakan baru dalam waktu dekat. Sengaja tidak memberitahu Kenanga tentang kepergiannya kali ini karena takut sahabatnya itu mendapat tekanan dari bos dan membocorkan keberadaannya.
"Eh, mau ke mana?"
Mauren nyaris memekik andai saja tidak segera mengenali laki-laki berambut gondrong yang kini mengenakan topi, masker, juga kaca mata hitam itu.
"Isss, kamu." Mauren memukul pelan lengan kekasihnya, lalu kepala gadis itu melongok ke belakang. Tidak ada orang yang mencurigakan,
"Ada apa?" Ardian ikut menoleh ke tempat yang sama, tetapi tidak menemukan apa pun.
"Tadi berasa kayak ada yang ngikutin," ujarnya. "Tapi kayaknya perasaan aku aja."
"Yang ngikutin pasti fans kamu," ujar Ardian sembari tertawa kecil.
Mauren memutar bola matanya malas, lalu memberikan senyuman pada kekasih yang sangat dirindukannya ini. "Memangnya aku artis kayak kamu?"
Ardian hanya tersenyum, lalu mengambil alih koper dari tangan Mauren. "Aku udah sewa resort buat kamu tinggal sementara waktu."
Keduanya pun segera pergi meninggalkan bandara sebelum keberadaan Bumi Ardian, penyanyi solo yang sedang naik daun tersendus keberadaannya oleh media.
*
"Kopi." Ardian menyorongkan segelas kopi susu pada Mauren yang sedang duduk melamun di tepian jendela. Wajah gadis itu terlihat sangat murung saat ini, seperti ada satu masalah yang sedang menimpanya. Dan sepertinya, alasan untuk mengunjunginya di Bali kali ini adalah untuk melarikan diri, lagi.
"Makasih." Mauren tersenyum sembari menerima gelas kopi yang Ardian sorongkan, lalu kembali melakukan pekerjaannya. Entah apa yang sebenarnya kini dia pikirkan, Mauren sendiri juga bingung dengan isi kepalanya. Yang ingin dia lakukan saat ini hanya diam, tanpa melakukan apa pun.
"Mereka nemuin kamu lagi?" Ardian bersimpuh di hadapan Mauren untuk menarik perhatian kekasihnya yang pasti akan melakukan hal seperti ini jika masalah yang sama tengah terjadi.
Mauren menundukkan kepalanya untuk menatap mata bulat milik Ardian yang kini tengah menatapnya. "Aku capek," bisiknya. Hanya dengan laki-laki ini dan Kenanga dia bisa membagi beban yang ada di hatinya.
"Kalau gitu berhenti, ada aku tempat kamu istirahat untuk sejenak." Ardian mengusap jemari Mauren, lalu mengecupnya lembut. Sebenarnya bukan hanya Mauren yang terus melarikan diri dari kenyataan dan keluarga yang mencari, dia pun sama. Mungkin inilah yang membuat mereka cocok dan bisa menjalin hubungan selama tiga tahun meski jarang bertemu. Satu sama lain tanpa sadar paham dengan perasaan yang dialami.
Mauren mengangguk, lalu memeluk tubuh Ardian saat laki-laki itu berdiri menjulang di depannya. Mencari rasa nyaman yang selalu hadir untuknya.
"Nanti malam ada acara di kafe temen aku. Kamu ikut, ya."
Mauren mengurai pelukannya, lalu mendongakkan wajah. "Memangnya nggak papa?"
Selama ini hubungan mereka disembunyikan karena Mauren enggan dikenal oleh banyak orang. Hubungan mereka, cukup mereka yang tahu. Meski konsekuensinya harus sering mendengar gosip tentang Ardian yang dijodoh-jodohkan dengan artis lain. Mauren percaya jika semua yang beredar itu hanya gosip karena nyatanya Ardian tidak pernah berubah semenjak tiga tahun lalu.
"Nggak papa, acara privat. Dan nggak banyak orang yang dateng."
Sebenarnya Mauren enggan ikut, dia tidak suka berkumpul dengan banyak orang. Namun, di tempat ini bukankah tidak ada yang mengenalnya? Jadi mungkin dia bisa untuk menjadi diri sendiri, sebentar saja.
"Oke, kalau gitu."
Ardian tersenyum lega, dan segera meminta Mauren untuk istirahat. "Nanti aku jemput jam tujuh."
Mauren mengangguk, dan segera merebahkan tubuhnya saat sosok Ardian menghilang di balik pintu kamarnya yang sudah tertutup. Mungkin dia butuh istirahat sejenak, matanya juga sedikit mengantuk,. Namun, rasa lelah dan kantuk itu hilang saat satu pesan dari Kenanga muncul. Gadis itu mengatakan jika Langit saat ini sedang berada di Bali.