Chereads / ANTARA LANGIT DAN BUMI / Chapter 5 - Bab 8. Belum siap

Chapter 5 - Bab 8. Belum siap

"Aku bakalan usahain agar kalian bisa ketemu nanti." Langit berjanji dalam hati untuk mewujudkan itu, bukan hanya sekadar kalimat penghibur agar Maura merasa tenang.

Maura senang karena Langit akan membantunya, tetapi apakah cara ini tidak akan membuat kakaknya semakin marah padanya? Urusan mereka dicampuri oleh orang lain. Meski sebentar lagi status laki-laki ini akan menjadi suaminya, tetapi untuk saat ini Langit masih termasuk orang luar.

"Tapi jangan terlalu maksa, ya, Mas. Aku takutnya kakakku malah akan semakin kesel." Maura juga khawatir kakaknya kali ini akan kabur ke tempat yang tidak akan pernah dirinya temukan. Ke luar pulau misalnya.

"Aku tahu," jawab Langit sembari menggenggam jemari Maura. "Aku bakalan pikirin cara biar dia nggak bisa kabur lagi." Entah bagaimana itu, tetapi Langit yakin pasti akan ada cara.

Apa yang terjadi sekarang mungkin adalah takdir yang sudah Tuhan susun. Perkenalan tidak sengaja yang terjadi antara dirinya dan Mauren pasti memiliki satu maksud. Bukan hanya suatu kebetulan semata.

"Kamu istirahat, jangan terlalu dipikirin." Langit mencium kening Maura sebelum gadis itu melangkah masuk ke rumahnya.

Langit pun masuk ke mobil, dalam benaknya mencoba berpikir bagaimana caranya agar dia bisa membantu Maura. Laki-laki itu mencoba membelokkan mobilnya menuju rumah kontrakan Mauren yang nyatanya tidak jauh dari rumah yang kini Maura tempati. Mungkin kakak Maura itu tidak tahu jika keluarganya pindah rumah beberapa bulan yang lalu.

*

Satu kebetulan terjadi lagi. Langit langsung turun dari mobil saat sosok Mauren terlihat keluar rumah. Agar gadis itu tidak kabur, Langit sengaja memarkirkan mobilnya jauh dari kontrakan Mauren.

"Mauren!" Langit berteriak memanggil nama gadis itu sebelum sosoknya masuk ke dalam rumah. Bisa dilihatnya Mauren yang tampak menghela napas, mungkin kesal karena dirinya kembali.

"Apa pun usaha Anda untuk meluluhkan hati saya saat ini nggak akan berhasil. Jadi lebih baik jangan ikut campur," ujar gadis itu dengan nada dingin. Tidak suka saat orang lain ikut campur dalam urusannya.

Langit sudah bersiap untuk mendekat, tetapi gadis itu dengan cepat masuk ke dalam rumah dan menutup rapat pintunya. Andai saja ini bukan malam hari, mungkin Langit akan nekad menunggu di luar. Namun, sayangnya waktu kedatangannya tidak tepat sama sekali.

"Saya akan datang lagi," ujarnya. Yakin jika kini Mauren masih berada di balik pintu dan mendengar perkataannya. "Saya nggak tahu apa masalah yang kalian hadapi sampai kamu memutuskan untuk kabur. Tapi saya yakin kalau semua masih bisa dibicarakan baik-baik," lanjutnya. Berharap Mauren akan menimpali walaupun dengan satu kata. Namun, tidak ada tanda-tanda gadis itu akan merespon kalimatnya.

"Baiklah, saya sekarang pulang. Tapi mulai besok saya bakalan bantu Maura untuk berjuang nemuin kamu." Langit lalu melangkah pergi setelah mengatakan kalimat itu. Meninggalkan Mauren yang sudah memikirkan cara untuk bisa kabur dari rumah ini.

*

"Gimana? Ada nggak?" tanya Mauren pada Kenanga yang baru saja duduk di hadapannya. Mereka tengah duduk di salah satu kedai kopi untuk membicarakan keinginan Mauren pindah dari kontrakannya yang sekarang.

"Belum ada Ren," jawab Kenanga sembari menyeruput es kopi milik Mauren. Biasanya gadis itu akan marah, tetapi kali ini sepertinya Mauren sedang tidak ingin memikirkan yang lain selain pindah secepatnya.

"Rara nggak dateng lagi, kan?" tanya Kenanga hati-hati.

Mauren menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Kebetulan yang aneh banget. Kenapa calon suaminya harus bos lo." Hal ini yang terus terpikirkan di benak Mauren sejak semalam. Kenapa kini orang-orang yang baru dikenalnya ternyata saling memiliki kaitan.

"Gue juga bingung. Kenapa harus ada kebetulan kayak gini," ujar Kenanga sembari berpikir, lalu dengan ragu ditatapnya wajah Mauren yang tampak murung. Bahkan mata itu menatap kosong jendela kedai kopi di samping mereka.

"Apa, ini pertanda kalau lo harus kasih Rara kesempatan?" Kenanga menanyakan hal itu dengan sangat hati-hati.

"Gue nggak tahu apa gue siap," ujar Mauren sembari menghela napas. "Di mata orang lain mungkin alasan gue pergi dari rumah ini terlalu naif, berlebihan."

Kenanga yang tahu seberapa besar kekecewaan Mauren menarik jemari sahabatnya itu untuk digenggam. Dia paham sekali apa yang kini Mauren rasakan. Gadis ini tidak marah pada Maura, tetapi lebih tepatnya perasaan itu adalah bentuk kecewa yang begitu dalam. Amarah yang sesungguhnya adalah tertuju untuk diri sendiri, Mauren yang merasa gagal menjadi kakak memilih untuk kabur dan melupakan apa yang terjadi.

"Setiap kali ngeliat dia, gue ngerasa berdosa, gue ngerasa gagal, gue ngerasa nggak baik. Dan yang paling penting gue udah ngecewain ayah." Mata Mauren berkaca-kaca saat mengatakan itu. Mengingat kembali aib yang pernah keluarganya terima selalu saja seperti ini. Dia akan menyalahkan diri sendiri untuk semua yang terjadi.

"Gue nggak tahu gimana caranya mereka bisa ngelupain semua ini dengan begitu mudah," bisik Mauren lagi. Merasa sakit hati karena hanya dirinya yang tidak mampu melupakan kejadian itu. Sementara ibu dan adiknya sebagai pelaku malah bisa hidup dengan baik.

"Mereka udah ngorbanin satu nyawa." Air mata Mauren luruh, rasanya sesak sekali setiap kali mengingat bagaimana hari itu terjadi.

Kenanga yang tahu betul kisah seperti apa yang pernah terjadi di keluarga Mauren segera bangkit, memeluk sahabatnya itu untuk membagi beban. "Lo nggak salah, lo nggak gagal. Lo selalu berhasil jagain Rara."

Mauren yang paham itu hanya sebentuk kata-kata penghibur hanya diam, tidak berusaha mengelak atau pun membenarkan.

"Saat Rara ngelakuin semua itu dia udah besar. Harusnya dia tahu yang mana salah dan benar." Kenanga mengusap punggung Mauren yang sepertinya terasa semakin kurus setiap harinya. "Dan buat nyokap lo, beliau juga pasti tahu kalau apa yang dilakuin itu nggak bener. Tapi pasti beliau punya pertimbangan sendiri."

"Kalau dia masih ada, mungkin gue masih bisa maklum. Gue bakalan rawat dia." Mauren terisak. "Tapi dia mati karena keegoisan Rara dan nyokap gue. Dan yang paling mengenaskan di antara itu semua, gue tahu tapi gue diem aja. Padahal dia nggak berdosa sama sekali."

Kenanga ikut menangis, ikut merasakan sesal yang kini Mauren rasakan. Andai saja dia ada di posisi sahabatnya ini mungkin akan merasakan hal yang sama.

"Gimana caranya gue bisa ngeliat mereka dengan cara yang sama seperti dulu lagi? Gue nggak bisa, Nga."

Kenanga mengangguk sebagai isyarat kalau dia mengerti. "Gue bakalan cari terus kontrakan baru." Sebagai sahabat hanya itu yang bisa Kenanga lakukan. Membantu Mauren kabur jika itu adalah hal yang bisa membuat Mauren tenang. Entah sampai kapan, tetapi Kenanga yakin akan tiba di mana saat Mauren bisa bangkit, memaafkan diri sendiri dan menerima kembali keluarga yang sudah mengecewakannya.