Mauren melebarkan daun pintu tanpa mengatakan apa pun. Tidak mungkin juga mengusir ibunya, meski kini rasa kecewanya terhadap wanita yang telah melahirkannya ini sangat besar. Seberapa besar pun kemarahannya pada sang ibu, Mauren tidak akan pernah bertindak kasar. Itu kenapa dia memilih pergi dari rumah setelah bertengkar untuk pertama kalinya dengan ibunya seumur hidup.
Mauren membiarkan ibunya mengedar pandang pada kontrakannya yang sederhana ini. Dia memilih untuk melangkah ke dapur, membuat secangkir teh. Sengaja berlama-lama karena tengah menyiapkan hati. Namun, sang ibu malah menyusul, tidak ada kursi atau meja makan karena biasanya Mauren menikmati sarapannya di ruang tamu.
"Kita bicara di depan aja," ujar gadis itu sembari membawa cangkir teh untuk ibunya. Berjalan terlebih dulu ke luar dan duduk di kursi kayu tanpa mau menatap ibunya.
Bunda Lila ikut duduk, menjatuhkan pelan tubuhnya di kursi kayu seberang anak sulungnya agar bisa melihat wajah Mauren dengan jelas. Gadis yang dilahirkannya ini terlihat lebih kurus dari semenjak keluar rumah untuk terakhir kali.
"Gimana keadaan kamu?" Lila tentu saja sangat mencemaskan dan merindukan anak sulungnya ini. Selama tiga tahun ini, dia hanya bisa diam-diam mengamati Mauren dari kejauhan. Takut anaknya akan menghindar jika dia temui. Namun, sekarang kondisinya tidak lagi memungkinkan untuk dia duduk diam dan memantau.
"Seperti yang Bunda lihat, aku baik," jawab Mauren tanpa mau menatap wajah sang ibu. Jujur, rindu itu menggelegak naik seperti saat dia bertatap muka dengan Maura. "Aku harap Bunda juga baik." Kali ini Mauren sedikit berbisik, tetapi masih terdengar jelas di telinga ibunya.
Lila tersenyum mendengar kalimat terakhir yang Mauren katakan. Anaknya yang satu ini memang sering gengsi untuk menunjukkan kasih sayangnya, rindunya, perasaan sebenarnya. Mauren sejak dulu senang memendam semuanya sendiri. Tidak jarang hal itu menimbulkan sebuah kesalahpahaman.
"Bunda juga baik. Tapi adik kamu enggak." Lila menghela napasnya yang terasa berat saat mengatakan itu.
Mauren sendiri langsung terkejut dan mendongakkan kepalanya untuk menatap sang ibu yang tengah menunjukkan wajah sedih.
"Rara kenapa?" tanya Mauren kembali menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan kekhawatiran yang muncul.
"Rara udah berapa hari ini jatuh sakit. Dia selalu seperti itu kalau lagi banyak pikiran," ujar Bunda Lila dengan sorot sedih. "Dia terus nanyain kamu."
Mauren semakin menundukkan wajahnya. Rasa bersalah di hatinya semakin terasa parah.
"Dia juga bilang udah putus sama Nak Langit." Berita itu membuat Mauren kembali mengangkat wajah.
"Apa?"
"Sepertinya itu yang paling membuatnya tertekan sekarang." Lila beringsut mendekat, berpindah duduk di kursi kayu dekat anak sulungnya. "Pulang, ya, Kak. Sebentar saja, Rara butuh kamu."
Mauren menunjukkan wajah gelisah. Pulang ke rumah bukanlah keputusan yang mudah. Apalagi jika harus bertemu dengan laki-laki itu. Tidak, Mauren tidak sanggup.
"Om Guntur lagi ke luar kota selama satu minggu. Jadi kamu nggak usah khawatir akan ketemu dia." Lila terpaksa berbohong, dia sengaja meminta suaminya untuk pergi dari rumah dulu agar Mauren mau pulang.
Mauren tidak langsung percaya dengan informasi tersebut, tetapi saat ditatap mata sang ibu dan tidak ada kebohongan di sana gadis itu memutuskan untuk pulang sebentar. Hanya untuk menjenguk adiknya, tidak ada hal lebih yang akan dilakukannya.
*
Langit menatap rumah dengan bangunan dua lantai di hadapannya itu dengan perasaan yang tidak keruan. Entah sudah berapa hari dia terus melakukan hal semacam ini sebelum dan setelah pulang kerja. Berharap Maura mau membuka pintu rumah, dan membiarkan dia masuk untuk bertemu. Ulang tahun Lesi akan digelar beberapa hari, anaknya itu pasti akan sangat sedih jika Maura tidak datang.
Laki-laki itu merogoh ponsel yang diletakkan di sakunya, lalu mencoba menghubungi nomor Maura, tetapi tidak aktif. Mencoba menghubungi ke kantor pun teman-teman kantornya mengatakan jika sudah dua hari ini Maura tidak datang ke kantor.
"Nak Langit!"
Langit menoleh saat mendengar panggilan dari arah belakangnya. Ibu Maura terlihat baru saja turun dari taksi, dan di belakangnya tampak sosok Mauren.
"Maura lagi nggak enak badan," ujar Bunda Lila lembut. "Lebih baik Nak Langit pulang dulu, nanti kalau Rara sudah enakan Tante kabarin."
Langit tidak langsung menjawab, melainkan melongok sosok Mauren yang langsung memalingkan wajah saat pandangan mereka bertemu.
"Mauren akan coba mengajak Rara bicara," kata Bunda Lila lagi.
Langit yang merasa itu adalah keputusan terbaik memilih untuk menganggukkan kepalanya. Lalu pamit untuk pulang, tetapi langkahnya terhenti dan memanggil Mauren saat merasa ada yang harus dikatakannya pada gadis itu.
Mauren yang namanya dipanggil oleh Langit terpaksa berhenti, dan meminta ibunya untuk masuk terlebih dulu. "Ada apa?" ujarnya dengan nada malas.
"Saya sedang mencari tahu apa yang terjadi di masa lalu Ara, saya akan buktikan kalau saya ini bukan pengecut," ujar Langit yang memang akhirnya memutuskan untuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi di masa lalu Maura. Bukan hanya karena tidak mau dianggap pengecut, tetapi dia juga penasaran dengan apa yang terjadi.
"Lalu?" Mauren tidak tertarik sama sekali dengan informasi tersebut. Langit di matanya malah seperti anak kecil saat ini. Dia tidak yakin laki-laki ini akan menerima Maura apa adanya jika tahu fakta yang ada. Dan jika memang pada akhirnya laki-laki ini memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungannya dengan Maura, itu akan lebih baik sebelum semuanya berjalan jauh.
"Saya akan buktikan kalau saya bisa menerima Ara dengan masa lalu seperti apa pun." Langit tahu dirinya tengah bertindak konyol dengan mengatakan semua ini pada Mauren. Dan dia juga tahu jika kelakuannya kali ini seperti anak kecil yang tengah membuktikan dirinya tidak bersalah. Hanya pada Mauren dia bisa bersikap seperti ini. Dan Langit tidak merasa ini salah, dia hanya ingin membuat gadis ini memandangnya dengan cara yang benar. Mau tidak mau mereka kelak akan menjadi keluarga.
Mauren mengangguk malas, tidak peduli apa yang akan Langit lakukan. Yang terpenting untuknya adalah Maura tidak terluka lagi hanya karena seorang laki-laki. "Baguslah kalau memang seperti itu," ujarnya dengan wajah datar.
Langit yang mendengar komentar santai seperti itu tentu saja tidak terima. "Hanya seperti itu?"
Mauren tidak paham, jadi dia mengangkat alisnya sebagai pertanda jika dia bingung. "Hanya? Apanya yang hanya seperti itu?"
"Tanggapan kamu." Langit tidak tahu tepatnya Mauren harus bersikap seperti apa, tetapi tidak bisakah menghilangkan wajah datar tanpa ekspresi itu? Langit selalu merasa seperti orang bodoh jika berhadapan dengan gadis ini.
Mauren menunjukkan senyuman tipis, nyaris tidak terlihat, arti senyum itu juga tidak baik. Sarat akan ejekan yang membuat Langit sedikit tersinggung. "Kamu ngelakuin apa itu juga bukan urusan saya. Jadi nggak perlu nunjukin kalau sifat kamu itu masih seperti anak-anak."
"Apa?" Kemarin pengecut dan kali ini anak-anak? Gadis ini.
"Maaf, saya nggak punya banyak waktu untuk dengerin hal nggak penting lainnya." Mauren langsung pergi setelah mengatakan itu. Meninggalkan Langit yang benar-benar merasa seperti orang bodoh saat ini.