Tak ada lagi secercah impian yang bisa di pertahankan oleh Elena. Dia merasa tubuhnya sudah busuk lebih busuk dari sampah. Sampah mana yang bisa melirik kalau bukan hanya untuk memanfaatkannya saja.
Tidak ada pilihan lain selain mengiyakan semua keinginan Mami. Berkenakan baju mengetat tubuh, dan perhiasan glamour yang sudah di cocokan oleh Mami sebelumnya, Elena sudah terlihat cantik.
Bahkan buntalan kelopak matanya pun sudah samar tertutup foundation tebal dan blush on di wajahnya. Tapi, secantik apapun dirinya di poles, mimik wajah kesedihan tak bisa ia tutup-tutupi. Bibirnya meruncing dan pipinya cembung seperti sedang mengulum loli pop akibat cemberut yang berlebih.
"Tersenyum!" Sergah Mami menjambak rambut Elena yang sudah di curly.
"Awww! Ba-baik!" Elena tak ada jawaban lain.
Di otaknya hanya terlintas semua kalimat Bapaknya yang pemabuk itu. Rasa dendam mulai berkobar, tapi dia tak punya celah lagi.
Di dampingi banyak pengawalan, Elena di anak emaskan. Bukan karena sayang dirinya di specialkan, tapi karena pemesan yang berkelas dan uang yang banyak akan di rauk Mami atas kerja malam dari Elena.
Elena hanya bisa mengunci mulutnya duduk di samping Mami dengan mobil yang sama. Mobil mewah itu khusus di kemudikan oleh Verrel sesuai keinginan Mami.
"Sayang! Cepetan dong! Aku gak mau telat nih. Pokoknya malam ini gak boleh gagal lagi kaya kemarin!" cerocos Mami masih di depan kaca lengannya.
Verrel mengangguk santai, kakinya menancap pedal gas sedang matanya mencuri pandang ke atas spion melirik ke arah Elena.
Lobi hotel saat itu masih sepi. biasanya akan ramai kalau sudah di jam-jam rentan seperti tengah malam, bisa sampai pagi. Hotel berbintang itu sengaja di pesan mahal oleh Mami untuk layanan Vip.
Sepanjang perjalanan Elena diam, tapi wajahnya mendadak terpana saat melihat lelaki bertubuh tinggi besar berdada tegap dengan rahang yang tegas memakai stelan kantor brended yang ia yakin bahwa harganya tidak kurang dari angka satu jutaan.
Setelah turun dari mobil mewah, dia masuk ke area lobi dengan gagah membuka kaca mata hitamnya perlahan dan menyisipkannya di tengah dada.
"Nah, dia datang juga." Mami bangkit dari tempat tunggu menyambut kedatangan Rizki di temani Verrel.
Ratu malam itu segera menyodorkan tangannya ke depan Rizki yang langsung di tanggapi Rizki dingin.
"Senang bertemu dengan anda. Anda pemesan dari Masterindo corp 'kan?"
Rizki diam terkesan dingin hanya senyum tipis menanggapi Mami, lalu menyodorkan satu bundle amplop coklat berisi jutaan uang berwarna merah.
Mami menarik nafas bahagia dengan wajah berbunga-bunga, walau di tanggapi sebegitu dinginnya oleh Rizki.
Tatapannya mulai tertuju pada Elena, melirik dari ujung rambut hingga ujung kaki lalu Rizki pun menarik kembali kaca mata hitamnya dan menyematkannya antara daun telinga dan rongga kepala.
Satu tangannya tenggelam dalam saku celananya, dan kanan kirinya sudah menyampai di pundak Elena, membuat detak jantung Elena tak bisa di kondisikan.
Jarang-jarang dia mendapatkan teman malam yang sangat tampan dan kaya seperti malam ini. 'Tapi, setampan apapun itu, kucing liar tetap mengeong garang, gak akan pernah berubah jadi kelinci putih,' Pikir Elena sama sekali tidak mengobati luka di hatinya.
Mami dan Verrel segera pergi, tak mau mengganggu Elena yang di tarik masuk kamar oleh Rizki.
Sedangkan para Bodyguard berjaga di luar hotel dan ada beberapa lagi yang berdiri di depan pintu.
Sebelum pintu di tutup, Elena sudah masuk duluan berjalan menghentakan kaki. Sedang kepala Rizki menoleh ke arah luar, dan menatap tajam para bodyguard.
"Aku gak mau lihat wajah kalian di sini! Pergi, atau masalahnya akan rumit." Ancam Rizki bertolak pinggang.
Kedua pasang mata para bodyguard itu saling beradu, lalu salah satunya segera memberi konfirmasi pada Mami lewat handphone pribadinya.
"Tolol! Lakuin apa yang Tuan muda pinta!" Sentak Mami di balik telponnya.
"Baik Bos!" Tubuh kekar berambut plontos itu mengangguk-angkuk di balik telponnya.
Rizki tersenyum menyumbingkan bibirnya. Pintu
Pintu kamar dengan dengan desain minimalis menggunakan kunci otomatis, di banting kencang oelh Rizki hampir membanting wajah salah satu bodyguard.
***
Dengan rileks Rizki berjalan santai menuju sofa merah yang bersebrangan dengan ranjang itu. Dasi yang bergelayut di lehernya terus ia renggangkan. Lelahnya merasa terobati hanya melihat sofa yang tergelar rapi. Sedikit demi sedikit kursi berbahan sweade itu akhirnya jadi tempat ia berbaring sambil asyik memainkan gadgetnya.
"Tunggu apa lagi?" Tanya Elena.
Elena yang sudah kebal dengan lelaki hidung belang kini mati rasa. Tak punya rencana lain, selain melakukan kebiasaannya memberikan service walau hatinya bertolak belakang.
Tapi, Elena mendapat aroma lain dari pelanggan yang kali ini. Senyuman nakal yang biasa ia dapat dari mata keranjang tidak nampak di wajah Rizki.
Terus biasanya para lelaki yang sudah memesan lebih agresif itu malah mati.
Rizki tersenyum sibuk memainkan game onlinenya sembari umpang kaki.
Elena tak mau menunggu waktu terbuang lagi, karena kalau dia sudah menjalankan kewajibannya, maka ada beberapa waktu yang akan ia dapatkan untuk sekedar beristirahat bersama janin di dalam perutnya.
Tubuh berbalut outfit merah jambu itu segara membuka pakaiannya hanya meninggalkan pakaian dalam dan mengenakan celana short pendek berwarna hitam membuat lekukan tubuh mulusnya terlihat jelas. Bulatan kecil di perutnya terlihat menendang menggemaskan.
Rizki terpaku lalu membalikan pandangannya segera.
"Kenapa? Bukannya kau sudah membeliku mahal?" Tanya Elena heran dengan tingkah pelanggannya ini seperti orang yang tak bernafsu saja.
Rizki menarik nafas panjang, membuka jas brandednya, lalu melingkarkan jas itu tepat di tubuh mulus Elena.
Aroma parfum yang sejuk cukup membuat hati Elena layu. Untuk pertama kalinya dia mendapatkan lelaki aneh seperti ini.
"Pakai bajumu! Kasihan bayi di perutmu ikut kedinginan." Pinta Rizki menggetarkan bibir Elena hingga tertunduk malu.
"Bagaimana dengan uangmu?"
"Hmmh, Uang? Santai saja, aku tidak ingin kamu terburu-buru untuk bekerja. Berapa uang yang kamu inginkan akan aku penuhi asal kamu mau menikah denganku!" Ucapan Rizki santai tapi benar-benar sangat menusuk.
"Nikah?" Mata Elena keluar, mulutnya menganga merasa tak percaya dengan apa yang ia dnegar saat itu.
Dunia terasa terhenti saat itu.Elena merasa mendapatkan obat dari luka hati siang tadi. Ini kesempatan baik untuknya keluar dari lingkar hitam danmemiliki ayah untuk si jabang bayi. Tapi, rasa ragu itu lebih identik dibandingkan rasa senangnya.
Entah apa lagi cobaan yang akan datang menghampirinya, ia benar-benar tidak mengerti dengan takdir.
Perlahan ia memakai kembali rok di atas lututnya, semua atribut kencannya sudah lengkap di tubuhnya, tapi kini jas milik Rizki menambah hangat tubuhnya.
Sampai menit itu keduanya duduk besebrangan di bibir ranjang dengan tubuh yang saling bertolak punggung.