Rizki menunduk memandangi lantai dengan kikuk. Pria itu menghela nafas dengan sangat berat, mengisi dadanya yang sangat sesak dengan oksigen.
"A-aku bisa menjelaskannya!"
"Ga usah Mas, semakin Mas Rizki menjelaskannya, Mahira akan semakin sakit hati, Mas." Tangan Mahira terangkat membuka, mengutarakan semua keberatannya.
"Percayalah, itu_," Kalimat Rizki tersendat. Karena ia tahu, meskipun ia harus menjelaskannya, dengan bibirnya yang berbusa namun tak bisa membersihkan namanya. Mahira akan tetap merajuk seperti budak kehilangan lolinya.
Mahira mendorong dada Rizki dengan kuat, sampai Rizki hampir berada di bibir pintu kamarnya.
"Ra, ayolah jangan begini! Malu sama Bi'tini dan pekerja lainnya. Beri aku kesempatan!" Rizki terus meronta menolak tubuhnya untuk pergi lebih jauh lagi.
"Beri aku waktu, mas! Mahira ingin sendiri saat ini," ketus Mahira terus merajuk.
"Mahira sayang!" Rizki mengeratkan genggamannya pada tangan Mahira yang sudah terengah kecapean.
Bulir air mata yang keluar dari kelopaknya sudah tak mampu di tahan lagi oleh Mahira. Rasanya seperti luka sayatan yang di lumuri garam dapur. Perih dan menyakitkan.
Melihat air mata itu terus mengalir, Rizki tak bisa meneruskan cekcok yang semakin meradang.
Perlahan Rizki mengendurkan pegangannya, lalu melihat wajah Mahira dengan seksama.
Rizki menghela nafas kasar, "Kalau kamu belum mau mendengarkan aku, baiklah." Rizki mengambil kaos polosan dari loker bajunya, lalu ia juga mengambil bantal dan selimut yang biasa ia pakai.
Rizki lelah kalau harus beradu keegoisan. Kali ini, Rizki mengalah.
Ia keluar dari kamarnya, dan meninggalkan Mahira yang menangis semakin pecah.
Di balik dapur, Rizki sempat melihat ada beberapa pegawainya yang menguping pertengkaran mereka.
Memang Rizki malu, tapi ia tak bisa berkutik, lalu melanjutkan langkahnya pergi ke kamar tamu.
Ia melakukan itu bukan tanpa alasan, Rizki sengaja tidur di kamar tamu hanya ingin memberi waktu sejenak untuk istrinya berpikir lebih jernih lagi.
Ia sadari, ia menyembunyikan sebuah rahasia dari istrinya, tapi Rizki benar-benar tak berniat mengkhianati wanita yang sudah jadi pilihannya, semenjak ia mengikat hubungannya di atas altar pernikahan.
Rizki melempar tubuhnya lelah, pikirannya saat itu benar-benar sedang tidak karuan. Ia melampirkan tangannya di atas kening, sambil menyawang melihat langit-langit kamarnya yang nampak sudah kusam.
Memang belakangan ini, kamar tamu jarang berpenghuni. Biasanya kamar itu akan ramai, jika keluarganya, dan para mertua datang untuk menginap. Akhirnya, ia merasakan juga tidur di kasur yang sudah apek, dan sendiri dengan hening tanpa ada istri memeluknya dari arah punggung.
"Ck! Apa yang harus aku lakukan?" tanya Rizki pada dirinya sendiri dengan lirih.
Bahkan Rizki sama sekali belum mencicipi masakan istrinya, dan malas untuk keluar, Rizki memilih untuk menahan rasa laparnya, dan memejamkan mata berharap matahari esok hari akan merubah keadaan.
Keesokan harinya ...
Rizki keluar dari kamar tamu sudah siap mengenakan kemeja stelan, dan di balut jas blazer abu muda menyegarkan wajahnya. Tas kantoran ia tenteng seraya keluar dari kamar yang udaranya sudah terasa pengap.
"Pagi, Den!" sambut Bi'Tini.
"Pagi, Bi. Mahira mana?" Mata Rizki liar menyawang ke arah dapur.
Biasanya pagi itu, dapur sudah di ramaikan oleh Mahira, dengan segala kegiatannya.
Tapi, ruangan demi ruangan terasa sangat sepi bagai rumah kosong tak berpenghuni. Hanya Rizki melihat ke arah kamarnya nampak pintu masih tertutup rapi.
"Nona Mahira belum keluar, Den." jawab Bi'Tini dengan kebiasaannya menyimpan kain yang biasa di pakai lap piring bersih di atas bahunya.
Rizki kembali menghela nafasnya panjang, ia menundukkan pandangannya ke lantai, langkah Rizki tertatih ragu menuju kamarnya, dan menempelkan daun telinganya di
atas pintu kayu yang membentang tinggi.
Tuk! Tuk! Tuk!
"Mahira? Kamu sudah bangun?" tanya Rizki perlahan.
Suasana di dalam kamar sangat senyap. Rizki tahu di dalam Mahira mendengar kata-kata yang di lontarkan oleh Rizki.
"Sayang, maafin mas ya! Jika kamu masih marah, tidak apa-apa. Mas pamit kerja ya!" lanjut Rizki tak sesemangat seperti pagi yang lainnya.
Kembali dari kamar tak terdengar sedikitpun suara balasan, bahkan gerakan pun tak ada.
Rizki tak mau dirinya terus berdiri di bibir pintu dengan tidak ada sambaran sedikit pun, sedang kantornya sangat membutuhkan dirinya karena banyak pekerjaan menunggunya.
Rizki mengangkat tas hitam berbentuk persegi panjang, dengan ketebalan tipis yang cukup untuk menyimpan laptop dan beberapa berkas lainnya.
Itu pun di bantu di angkatkan oleh Bi'Tini.
"Gak sarapan dulu, Den?" Bi'Tini ikut prihatin melihat majikannya sedang berada di tengah perang dingin di tengah keluarga yang biasanya sangat harmonis sekali.
"Aku, sarapan di kantor saja, Bi!" balas Rizki sambil berjalan keluar rumahnya yang sangat megah.
Lepas berada di pinggiran mobil, Bi'Tini menyodorkan tas kantor Rizki, sebenarnya Bi'Tini tak mau melakukan itu. Meski itu hal yang sepele, tapi seharusnya apa yang di lakukan Bi'Tini saat itu sudah menjadi kewajiban Nonanya.
Rizki mulai menghidupkan mesin
mobilnya, ada bibi yang masih berdiri di pintu gerbang, menunggu majikannya melesat untuk pergi berangkat kerja, meski ada hal yang terasa hambar karena ketidak adaan istrinya di samping bi'Tini. Rizki merasa ada yang hilang karena ia tak terbiasa pergi ke bibir gerbang tanpa Mahira.
"Bi, titip Mahira. Jangan sampai dia tidak sarapan. Siapkan juga semua keperluannya. Mungkin aku akan pulang terlambat lagi!" pesan Rizki sebelum ia berangkat.
"Baik, Den!" Bi'Tini mengangguk, mengerti dengan perintah Rizki.
Ketukan untuk kedua kalinya terdengar di pintu kamar majikannya.
Tok! Tok! Tok!
"Non, bibi masuk ya?" Bibi mendesah berat, melihat wajah majikannya di tekuk, melamun di pagi hari tiada arti.
Kemudian ia meletakan nampan berisi makanan empat sehat lima sempurna untuk Mahira, dan segelas penuh susu pun tidak terlewatkan. Tak lupa ia menyimpan segelas air putih di pinggir gelas susu agar majikannya tidak perlu memintanya lagi.
"Di makan ya non, kalau tidak di makan nanti aku bisa di marahi oleh den Rizki."
Mahira bergeming, lantas bibi keluar meninggalkan Mahira sendirian. Bi'Tini berniat ingin datang lagi, setelah pekerjaannya di dapur selesai, hanya untuk memastikan makanan di piring Mahira habis.
Tapi, sayang sekali ketika satu jam berselang, dan Bi'Tini datang kembali ke kamar Mahira, makanan itu tak sedikit pun tersentuh.
Hanya air putih yang sedikit melorot, membasahi bibir yang memucat.
Bi'Tini menggelengkan kepalanya, dan mulai mengelus dada, 'sabar!' desahnya dalam hati.
"Lo'kok? Kenapa tidak di makan non?" tanya bibi lembut. " Bibi suapin ya?" anjur Bi'Tini, namun seketika tersendat berhenti melangkah karena bel di depan rumahnya berdenting menggema di seluruh ruangan rumah bertingkat itu.
"Sebentar non, Bibi buka pintu dulu!"
Bersambung ...