Sore akan datang beberapa saat lagi. Tak terasa Rizki sudah berjalan dengan Elena beberapa jam kebelakang dan terasa sangat cepat.
Mungkin saja Elena menyuguhkan sebuah kenyamanan dalam berkomunikasi saat itu pada Rizki.
Hingga ketika matahari hendak bersembunyi, Rizki mengajak Elena ke tempat yang benar-benar ia anggap sebagai lubang buaya.
"Pak Rizki? Kenapa harus kesini?"
Rumah tingkat yang tak asing di kelopak mata Elena membuatnya merinding. Tak bisa ia membayangkan kemarahan Mami jika ratu wanita itu tahu bahwa ia telah keluar tanpa seizin Mami.
"Gak usah takut! Ayo!" Rizki membuka lebar telapak tangannya.
Itu hal yang paling membuat Elena takjub. Tak bisa ia sangka sebelumnya, masih ada lelaki yang mau melebarkan telapak tangannya untuk wanita malam sepertinya.
Awalnya Elena ragu, tapi tak ada pilihan lain saat itu. Ia menjulurkan tangannya meraih genggaman yang di tawarkan oleh Rizki.
Mereka berjalan saling bergandengan menuju sebuah ruangan yang paling di anggap tabu di singgahi para pemainnya Mami.
"Pak Rizki,"
"Apa lagi?"
Tangan Elena mengerjat.
"Aku-aku takut,"
"Tenanglah! Waktu saya tidak Banyak. Saya harus pulang sebelum jarum jam menunjuk angka 8." Jelas Rizki menaikan jas yang ia pakai agar nampak lebih gagah.
Elena pun percaya dengan segala yang di janjikan Rizki. Bersembunyi di belakang ketiak Rizki, Elena benar-benar merasa aman dari ancaman Mami.
Keduanya masuk setelah pintu terbuka dengan sendirinya. Pemilik ruangan seolah sudah tahu akan kedatangan Rizki dan Elena.
Prok! Prok! Prok!
Tangan Mami saling bersahutan bertepuk tangan seolah meledek kedua sejoli itu.
"Rupanya Romeo dan Juliet sudah pulang?" Sambut Mami bernada santai. Tapi jangan di kira, di balik kesantaian Mami tersimpan racun yang bisa kapan saja menyembur.
"Dari mana saja kamu hah?" Mami menarik tangan Elena hingga terlepas dari eratnya cengkraman Rizki. "Kamu tahu ini bukan waktunya main-main? Sekali lagi kamu keluar tanpa izin dariku, maka bukan bapak kamu saja yang mati! Kamu dan bayimu juga bisa jadi mangsaku!" Ancam Mami menarik rambut Elena di hadapan Rizki.
"Awwww! Aku-maafkan aku mami! Lepaskan!" Elena mengerang kesakitan.
"Tidak, jangan!" Rizki benar-benar tak pernah tega jika melihat seorang wanita di perlakukan seperti binatang.
Apalagi, Elena sedang mengandung.
Tubuh Rizki seolah terperanjat ingin menolong, tapi begitu sulitnya. Karena pupil mata Mami semakin melebar.
"Bisa-bisanya anda membawa melon saya dengan gratisan?" Tanya Mami pada Rizki.
Melon yang ia maksud adalah Elena.
Wanita yang di gadang-gadang sebagai tambang emasnya.
Rizki sedikit bergeming.
"Ini bukan salah dia, kalaupun ada yang salah, maka salahkan aku saja!"
"Hebat, mau jadi pahlawan kesiangan?"
Rizki mengganti wajah kekhawatirannya dengan tatapan dingin berwibawa.
"Aku bukan orang yang suka bertele-tele, berapa yang kamu mau jika aku ingin memiliki Elena seutuhnya?" Serogoh Rizki membebaskan Mami memberi harga untuk seorang wanita.
Bukan berarti Rizki ingin merendahkan Elena, melainkan itulah cara dia menghargai wanita seperti Elena.
Dari beberapa hari berjalan dengan Elena, dan setelah Elena memberikan uangnya lagi, itu sudah sangat membuktikan bahwa hati kecil Elena bagai malaikat.
Namun hal itu pun tak memberi arti bahwa Rizki terpikat oleh wanita bertubuh dua itu.
Elena begitu mematung saat itu, entah ia harus bahagia? Atau sedih? Sungguh ia tak mengerti dengan takdirnya.
Di satu sisi, dia sudah terbiasa di negosiasikan sebagai barang dagangan, dan itu tak menjadikan Elena Syok. Tapi sisi lain, ia masih ragu dengan lelaki yang akan mengangkat harkat derajat kehidupannya itu.
Elena menunduk dengan ujung jari yang bergetar. Tangan kirinya menggendong bulatan perutnya terasa sangat lemas.
Mami mendekati Rizki, dan berjalan melingkari tubuh Rizki dengan sangat sombong.
Bukannya mau melawan, tapi Rizki hanya diam terpaku berusaha mengontrol emosinya.
"Maaf tuan muda, jangan mentang-mentang kamu orang kaya, bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan dengan seenaknya saja, Elena tambang emas kami. Sekali menginjakan kaki di sini, dan akan tetap berada di sini!" Cecar Mami dengan menengok Rizki dengan ekor matanya.
Rizki Nazar yang sedari tadi sudah mengharapkan semua akan selesai dengan mudah oleh perantara uang, ternyata salah besar.
Rizki yang biasanya di elu-elukan para pegawainya dan selalu memiliki kesempatan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, sekarang ia hanya bisa menelan air liurnya.
Elena memejamkan matanya tak kuasa mendengar keputusan Mami untuk kehidupannya.
"Baiklah!" tanpa basa basi apapun, Rizki membalikan tubuhnya berjalan lirih menjauh ke arah pintu, hendak pergi sebelum kata-kata tajam mengusirnya.
Sedangkan Elena kebingungan, ia tak mampu membayangkan bagaimana murkanya Mami terhadapnya atas semua kejadian ini.
"Mas Rizki?" Bisiknya lirih setelah banyak menggantung harapan pada lelaki itu.
Rizki menoleh hambar, hanya kedipan mata sayu yang menguatkan Elena di detik kemudian.
'Aku pasrah!' Bisik hati Elena setelah melihat kedipan kelopak mata Rizki yang sangat hambar.
Hal apa lagi yang di agungkan Mami selain kemenangan.
Lagi-lagi dia menang, menang, dan menang.
Mami sama sekali tidak berpikir bahwa suatu saat nanti dewi fortuna bisa saja tidak berpihak padanya.
Setelah Rizki tak nampak di pelupuk matanya, Barulah Mami melayangkan kekesalannya pada Elena.
Rambut lurus Elena di jambaknya hingga Elena mendongak melihat langit-langit.
Tapi kali ini Elena tak mengerang kesakitan, ia hanya tersenyum tipis menahan rasa pusing tujuh keliling, mungkin ia sudah kebal menerima kelakuan Mami yang sangat kasar. Meski rasanya semua rambutnya akan putus, tapi dia tak bisa berbuat apa.
"Bersihkan tubuhmu! Dan siap untuk bekerja malam ini!" Gertak Mami membuat aku mengelus dada.
Dengan kencang Mami menoyor kepala Elena, dan melepas jambakannya.
Mungkin Elena tak sanggup berpikir tingkah kasar apa lagi yang akan di lakukan Mami kepadanya kalau ia terus menerus mengelak keinginannya.
Tapi detik itu benar-benar berada di puncak dimana dirinya sudah jijik dengan tempat dan pekerjaan itu.
Elena bingung harus melakukan apa lagi untuk sebuah pelariannya.
Sambil berjalan melewati lorong yang terisi kamar-kamar para wanita gelap, Elena sulit berpikir jernih.
Kalau ia mampu, rasanya otaknya menggiringnya pada tingkah kriminal, tangannya ingin saja menggorok leher panjang Maminya itu lalu ingin membakar tempat haram itu.
Tapi itu hanya sebatas pikirannya saja.
Bagaimana ia bisa berbuat lebih, menjaga perutnya saja ia belum bisa semaksimal mungkin.
Hak paling istimewa bagi seorang wanita adalah hak untuk menjadi seorang ibu, tapi ibu yang seperti apa dan kondisi yang bagaimana yang akan menentukan hidupnya.
Yakinlah wanita yang baik pasti untuk lelaki yang baik dan demikian sebaliknya, seorang pembohong akan di jodohkan dengan pembohong juga, dan seorang penzina berpasangan dengan penzina pula. Itu semuanya telah diputuskan oleh Yang Maha Kuasa.
Tapi bagaimana dengan Elena?