Waktu mengalir dengan cepatnya. Setelah Rizki menengok arlojinya dengan kedua ekor mata selang mengemudi, ia baru tersadar akan janjinya pada sang istri.
'Jangan pulang malam ya mas! Aku bakalan masak special buat mas!' Ingatan Rizki masih terngiang dengan suara istrinya dan permintaan tadi pagi, tapi bersama Elena ia benar-benar melupakan waktu yang terus berputar.
Rizki pun menyisikan mobilnya menepi meski tidak akan banyak membantu ketika ia harus tetap menghadapi amukan istrinya lagi.
Di rumah yang sangat luas, dengan penghuni yang hanya beberapa saja, Mahira duduk di sofa berbahan sweade.
Bibirnya meruncing dan tetap menahan rasa keingintahuan tentang dimana suaminya berada.
Ia hanya sesekali melirik ke arah gagang telpon rumah, dan terkadang ia memeluk handphonenya dengan banyak sekali buah pikiran kotor tentang Rizki.
Rasa penat di dadanya sangat menyesak, ketika lama kelamaan hanya lamunan tentang tingkah jelek Rizki yang mencuat di pikirannya. Bahkan tak tertoreh sedikit pun ingatan positif untuk suaminya itu.
Hanya ada kamar, ranjang, dan mungkin wanita lain di otak Mahira, Itu begitu membuat Mahira sulit berpikir jernih.
"Mas, kenapa kamu melakukan ini sih?" Lirihnya sambil memeluk handphone dan satu bingkai potret suaminya.
Tubuhnya pun hanyut tenggelam dalam hangatnya sofa berbahan swede itu.
Ia mulai tak sadar akan dunia, karena matanya mulai memejam dan ingatannya melayang berubah jadi mimpi.
Melihat tingkah aneh dari majikannya, Centini pembantu kepercayaan dari Rizki tiba-tiba berinisiatif menelpon majikan laki-lakinya.
Bisa jadi itu adalah salah satu bantuan untuk Rizki ketika bala bencana hendak datang menggoncang rumah tangganya.
"Makasih ya, Bi tini!" Sahut Rizki setengah berteriak karena meski ia menepi tetap saja suara lalu lalang mobil di jalanan membuat telinganya mendengung.
Sesaat setelah ia melewati perjalanan yang melelahkan, Rizki melonggarkan tali dasi yang melintir di lehernya, lalu ia menggunakan punggung kaki untuk membuka sepatu pentople hitam yang sangat mengkilat salah satu atribut bekerjanya.
"Aku pulang!" Suara Rizki tak sesegar biasanya.
Ia membuka pintu rumahnya, dan sudah di sambut oleh Bi' Tini.
"Den?"
"Bi, Nona Mahira kemana? Tumben gak ikut nyambut?"
Bi'Tini hanya mengangguk tak tahu harus menjawab apa. Langkah rengkuh Bi'Tini menunjukan kesopan santunannya.
Ia menganggu sambil menunjuk punggung sofa dengan jempol kanannya.
Rizki pun mengerti apa yang di isyaratkan Bi' Tini.
Ia membuka kancing kemejanya sambil tak menghentikan laju langkahnya menuju sofa swede merah itu.
Di lihatnya, Mahira tidur dengan tentram.
Tak banyak bicara, Rizki meraih selimut tipis dari kamarnya.
Ia menenggelamkan separuh tubuh Mahira di balik selimut, lalu sedikit tak bisa menahan satu kecupan di kening istrinya yang setiap kali memejamkan mata maka godaan ingin menggoda selalu memuncak.
Rizki memejam, lalu bangkit kembali hendak membersihkan diri.
Semua kancing kemeja di depan dada pun sudah terbuka hingga Rizki setengah telanjang dada.
Saat ia hendak masuk di kamar mandi kamarnya, keran yang ia putar mengalami kemacetan membuatnya harus mengurungkan niat mandi di tempat itu.
Handuk putih yang tadi ia gantung di atas kapstok, kembali ia sambar. Tak pikir panjang ia keluar dari kamar mandi untuk pergi ke kamar mandi tamu.
Handuk putih itu membalut sebagian tubuhnya, dengan kemeja putih masih terpasang di punggungnya, meski dadanya masih terlihat gamlang.
"Bi' kamar mandiku sepertinya sedang rusak. Tolong panggil tukang ledeng! Barang kali saja ada pipa yang bocor!" Sambar Rizki belum sadar akan sofa yang sudah kosong.
Hanya saja ia yang hendak pergi ke kamar mandi selanjutnya, jelas ia mencium aroma pasakan di dapur. Langkah Rizki terhenti tepat di pertengahan meja makan.
Ekor matanya menilik beberapa hidangan yang sudah nampak tidak segar.
Bisa di perkirakan pasakan itu di buat beberapa jam yang lalu. Karena kepulan asap panas sudah tidak terlihat lagi.
Rizki menelan air liur bukan berarti tergiur oleh makanan itu. Ia hanya membayangkan betapa repotnya istrinya menghidangkan banyak makanan itu.
Rizki pun melanjutkan langkahnya ke kamar mandi dengan pikiran terus melayang-layang.
Tak ada lagi tubuh kering yang tersisa dari hantaman air hangat yang mengguyur tubuhnya.
Di rasa sudah lumayan segar, Rizki mengeringkan tubuhnya dan kembali keluar dalam keadaan telanjang dada karena kemeja yang ia kenakan sebelumnya sudah tak layak pakai penuh bebauan dari polusi yang menempel.
Awalnya baik-baik saja, Rizki masuk ke dalam kamar, dan menggosok rambutnya dengan handuk lain.
Kesibukan lengannya seketika terhenti, ia sulit berpikir saat melihat mata Mahira begitu tajam mengintimidasinya.
"Sa-sayang? Kamu sudah bangun?" Bibir Rizki begitu kaku hanya untuk mengucap beberapa kalimat itu.
Mahira tak menjawab hanya satu alisnya terangkat hebat dan mengangguk dengan kening tajam.
Rizki mulai memutar otak untuk meluluhkan hati istrinya, karena ia tahu keadaan itu pasti terjadi karena janjinya tak sampai di tepati.
Ia mendekat dan memegangi kedua pundak Mahira.
"Sayang! Mas ngerti kenapa kamu marah. Maaf ya! Tadi mendadak ada meeting!" Kilah Rizki mengelus rambut Mahira yang sudah rapi.
Tapi Mahira mengelak.
Ia membuka genggaman Rizki di kedua pundaknya dengan bibir masih merapat.
Menoleh kebelakang dan lanjut membelakangi suaminya yang masih terkesan sangat segar.
Biasanya kesegaran tubuh suami itu yang selalu ia rindukan, ingin berada di dalam pelukannya, bahkan mencium lebarnya dada Rizki.
Tapi kali ini hanya amarah dan hati yang panas berkobar.
Pikirannya entah berapa wanita yang sudah berada di pelukan suaminya ketika ia sudah sesegar itu.
"Kerja Mas?" Satu pipi Mahira terangkat sinis.
"Iya, kerjaan di kantor numpuk banget,"
"Bukannya Mas gak datang ke kantor seharian?" Sentak Mahira membuat detak jantung Rizki terpompa hebat.
Rizki bergegas berjalan ke hadapan Mahira untuk meyakinkan.
"Tanya saja sama Dodit kalau kamu gak percaya!" Timpal Rizki.
Mendengar itu, tanpa harus membuktikan, sedikit kegelisahan Mahira lenyap.
Namun ada satu hal lagi yang masih mengganjal di benak Mahira.
"Terus, apa ini?"
Sebuah kertas yang sudah di remas dan tidak terlalu nampak tulisannya di sodorkan tepat di depan wajah Rizki.
Matanya membelalak hebat saat melihat ada sebuah struk pemesanan hotel bekas bermalam dengan Elena saat itu.
Tangannya menyambar kertas itu dan pura-pura membaca dengan seksama.
Namun pandangan Mahira sudah habis penuh dengan rasa curiga.
Matanya berkeling memerah, tangannya sudah mengepal bahkan Mahira sudah menahan rasa itu dari beberapa jam sebelumnya.
Perempuan bertitel ibu rumah tangga itu sama sekali tidak mempersoalkan pasakannya.
Hanya satu yang terus mengelilingi pikirannya.
Kenapa hotel itu di pesan? dengan siapa suaminya berangkat kesana? Dan apa yang di lakukan suaminya di tempat semewah itu?
Mahira merasa sesak di tengah tenggorokannya, bingung dengan pikiran kotor yang sulit di kondisikan.
Bersambung ...