Baru beberapa kilo Rizki menancap pedal gas mobilnya, Ia langsung menyingkirkan mobilnya jadi terparkir di pinggir kota. Semua macam-macam kendaraan menyalip melewati mobilnya terlebih dahulu, dan se
"Jangan tunggu sampai malam! Aku tunggu kamu di pinggir jalan sekarang juga!" Balas Rizki dari handphonenya penuh rasa gelisah.
Memang Rizki gak bakalan bisa tenang sebelum apa yang jadi tujuannya tercapai. Mendapat balasan dari Elena merupakan harapannya. Ia terus memainkan handphonenya ingin segera mendapatkan balasan dari wanita pilihannya itu.
"Baik!" Jawab Elena singkat di balik layar handphone milik Rizki.
Pagi ini, Elena mencuri waktu senggangnya. Saat semua para wanita malam sedang beristirahat di tempat masing-masing, setelah aktifitas malam dan ketika suasana sudah cukup sepi, Elena segera bersolek memberi kesan pangling untuk bertemu dengan Rizki.
Rambut yang biasa ia curly, di buatnya jadi berbeda. Berwarna hitam pekat, helaian rambut itu ia gerai sempurna.
Sesuatu yang membuatnya lebih berbeda adalah dari pakaian yang ia kenakan. Kain yang mencetak body, sengaja ia hilangkan. Rok span, di bawah lutut, dan kemeja wanita, membuat Elena terlihat sangat dewasa.
Lipstik merah muda membingkai bibirnya. Tak seperti biasanya, warna mencolok yang biasa ia pakai di lingkaran bibirnya, sekarang hanya memakai warna santai terlihat seperti anak ABG seusianya. Hanya saja, perut buncitnya tidak bisa ia sembunyikan, dan menampakan bahwa dirinya sudah tidak perawan lagi.
Setelah ia berjuang mengendap-ngendap lewat jalan belakang, dan melewati lorong gang kecil untuk sampai di jalanan raya, akhirnya Elena melihat mobil mewah Rizki.
Telunjuk jarinya melayang-layang menghentikan laju mobil berisikan Rizki di dalamnya.
Tanpa menengokan mata, Rizki menghentikan kendaraan besinya. Elena masuk ke dalam mobil mewah itu dengan ragu setelah pintunya sudah di buka dari dalam.
"Masuk!" Suruh Rizki dingin.
Elena ketakutan karena roman Rizki berbeda 360 derajat. Dengan tubuh penuh kekakuan, ia hanya membungkam diam di sisi Rizki. Sesekali Elena menikmati tempat duduk empuk itu dengan aroma wewangian di kursi terdepan. Jalanan nampak lebih jelas dari pada harus naik kendaraan umum berdumpal dengan udara yang panas.
"Mami tau?"
"Hah?"
"Mami tau? Kamu keluar menemui aku?"
Elena bergedig menggelengkan kepalanya sambil menoleh ke arah kanan supir specialnya. Lalu ia mengintip isi tas yang terselendang di sela tangannya, dan mengeluarkan amplop berisi uang pemberian Rizki semalam tadi.
Ia menyelipkan amplop itu di atas dashboard mobil mewah itu, sambil menekuk pandangannya malu.
"Apa itu?"
"Itu, uang semalam yang Bapak berikan untukku. Amplop satunya lagi sudah aku berikan kepada Mami."
Rizki mengernyitkan keningnya heran.
"Kenapa?"
"Maksudnya?"
"Ya, kenapa kamu mengembalikan uang itu?"
Elena memalingkan pandangannya ke arah jalanan. Banyak pepohonan terhempas angin dari laju mobil itu, hatinya bergetar. Tak mau sampai hatinya terculik oleh orang yang sedang berada di sampingnya.
"A-anu, aku gak bisa menerima uang dengan percuma tanpa bekerja lebih dahulu."
Rizki terkejut dengan jawaban Elena yang sangat polos. Semakin meyakinkan dirinya bahwa Elena pilihan yang tepat untuk ia peristri, dan yang jelas Rizki mengincar anak di perut Elena, setelah ia mendapat hasil diagnosis dokter bahwa dirinya tidak bisa mempunyai keturunan dari darah dagingnya.
Saat keduanya saling membeku, suara handphone membuyarkan suasana.
Kringggggggg!
Rizki menengok layar handphonenya, lalu segera meminggirkan lagi mobilnya di bahu jalan.
Ia membetulkan kerah bajunya, dan mempersiapkan diri untuk mengangkat telpon.
"Hallo?"
"Hallo, Mas?"
"Iya?"
"Mas sedang dimana?"
"Saya? Sedang di kantor," bohongnya kaku.
"Oh, iya deh. Aku cuman mau mengingatkan Mas, agar tidak pulang terlalu malam. Aku masak special buat mas ya! Maaf udah ganggu pekerjaan Mas Rizki."
"Iya, iya! Nanti di sambung lagi ya! Aku benar-benar sibuk nih!"
Handphone berkelas itu segera di geser layarnya untuk menutup telpon dari istrinya. Rizki celingukan melirik ke Elena, setelah jelas-jelas dia ketahuan berbohong.
"Bukannya kita tidak sedang di kantor, Pak?" Selok Elena.
"Jangan ikut campur urusanku!"
Elena merasa tersentak salah dalam berucap dan mengunci kembali bibirnya. Selama perjalanan menuju ke sebuah lestoran, Elena dan Rizki hanya beradu pandang melewati kaca spion yang tersebar di antara sudut mobil itu.
***
Di istananya, Mahira merasa heran dengan jawaban sang suami yang begitu kaku. Aneh, tak ada ucapan sayang dari Rizki seperti biasanya.
"Ach, mungkin ini perasaanku saja." bisiknya menenangkan hati.
Saat Mahira hendak melanjutkan aktifitasnya, ada sesuatu yang ia lupakan. Sebelum menelpon suaminya, ia berniat untuk menitip buah-buahan segar kalau pulang nanti. Namun niatnya tak tersampaikan sesuai rencana, karena pikirannya yang buyar saat mendengar suara suaminya yang sangat merdu.
"Aduh, aku hampir saja lupa." Decaknya kembali menyambar handphonenya lagi.
Mahira duduk santai di atas sofa swede berwarna merah, kakinya terlentang melepas penat seharian menyibukan dirinya bercocok tanaman di depan rumah.
Tak mau menunggu lama, Mahira segera menelpon ulang suaminya. Tapi kali ini, Mahira iseng menelponya melewati nomor kantor Rizki.
"Hallo?"
"Hallo? Kami dari perusahaan Masterindo, bisa kami bantu?" Tanya seorang operator yang jadi sekertaris pribadi Rizki dari kantornya.
"Aku Ibu Mahira, Pak Rizkinya ada di ruangan?" Tanyanya ramah sekali.
"Oh, ibu? Maaf yang sebesar-besarnya bu!"
"Tidak apa-apa, bagaimana? Pak Rizkinya ada di tempat?"
"Pak Rizki dari pagi, belum ke kantor bu. Sepertinya, hari ini beliau tidak bisa datang bu,"
"Hah?" Mahira terkejut mendengar jawaban dari sekertaris keluarga Rizki yang sangat terpercaya. Tidak mungkin seorang operator sekaligus sekertarisnya bohong pada ibu kepala kantor itu, karena kalau itu terjadi maka taruhannya adalah jabatan yang sekarang di embannya.
"Benar bu, Pak Rizki hari ini tidak masuk." Tegasnya membuat Mahira segera menutup telponnya. Untuk pertama kalinya, Rizki tertangkap basah jelas berbohong kepadanya.
Ia menurunkan kedua kaki yang terkujur di tengah sofa. Mahira benar-benar syok hingga otaknya tak mampu berfikir. Untuk pertama kalinya suami tercinta terpegok bohong.
Sedetik, ia melamun. Mahira bangkit segera pergi ke kamarnya, ia mengecek ulang baju bekas ke kantor malam tadi yang bisa sampai memakan waktu sampe tengah malam dengan alasan metting outdoor.
Setelah ia lari kecil masuk kemarnya, Mahira menggeledah menenggelamkan tangannya ke beberapa kantong baju milik suaminya. Masih jelas tercium aroma yang tak biasa menusuk ke dalam hidungnya.
'Aku yakin, Mas Rizki menyembunyikan sesuatu pada aku, tapi apa?' bisik hatinya cemas.
Beberapa menit berkecimpung di baju itu, tapi Mahira sama sekali tidak mendapatkan bukti apapun yang menjawab banyak pertanyaan di benaknya.
Dengan wajah lelah, Mahira berjalan lemah menuju sebuah tong sampah kering di dalam kamarnya. Kakinya menekan kuat tombol tong sampah hingga terbuka otomatis di bagian tutupnya.
Mahira hendak membuang beberapa sampah yang mengotori kamarnya, tapi seketika itu juga keningnya mengngerut, dan memasukan tangannya ke lubang tong sampah itu mengambil sebuah kertas yang aneh.
"A-apaan ini?" serogohnya membuka kertas yang sudah teremas jadi seperti bola.
Bersambung ...