"Hei! kamu, Sini!" Sergah telunjuk Mami menunjuk ke arah salah seorang lelaki kecil dengan lap biru di sisipkan di bagian pundaknya.
Itu Pak Tono. Pembantu rumah tangga yang sangat pendiam asuhan Mami. Karena pendiamnyalah, Mami sangat percaya dengan Pak Nono agar mulutnya tetap membungkam dan tak bocor di dunia luar.
Dengan langkah rengkuhnya, Pak nono merunduk berjalan ke arah Mami.
"Iya, Nona?"
"Pak Tono lihat Verrel?"
"Tuan Verrel? A-anu Nona,"
"Anu apa?" sentak Mami.
"Tadi, Tuan Verrel keluar dengan mobilnya."
Mendengar pernyataan Pak Tono, Mami bertolak pinggang di depan pintu dengan mata yang sangat bulat dan otak yang liar memikirkan kemana pacarnya akan pergi.
Memang usia Mami sudah hampir pangkat 4. Tapi, body dan kebiasaannya masih seperti ABG kebanyakan di luar sana. Bahkan ketika Verrel pacar kesayangannya keluar, Mami seperti ayam kehilangan induknya. Over protektifnya sangat berlebih, membuat Verrel sangat sulit untuk pergi liar.
Mobil Ferari mewah yang di kemudikan Verrel memang bukan sepenuhnya milik dia, tapi kini dia terpaksa mengemudikannya cepat untuk mencari seseorang. Pedal gas yang ia injak benar-benar tak di kasih longgar.
Trrrriiiiinggggg ... Trrringgg...!
Verrel segera memarkir mobilnya di bahu jalan untuk sekedar mengangkat telpon yang masuk dengan tulisan My Honey di layar handphonenya.
Sebelum tombol merah ia geser untuk mengangkat telpon, Verrel menarik nafas dalam, melegakan suasana agar tidak terlalu tegang.
"Hallo sayang?" sambung Verrel.
"Kamu dimana? Aku belum selesai bicara denganmu, udah menghilang aja?"
"Oh, aku? aku sedang cari makan sayang! Tunggu sebentar ya! Bentar lagi nyampe kok ke tempat makannya."
"Kenapa gak bilang?"
"Emmmh, bukannya tadi kamu sedang menelpon?"
Verrel harus memutar otaknya dengan sangat delit, takut kalau mulutnya sampai tergelincir, maka masalah besar untuknya dan untuk posisinya sebagai kepercayaan Mami akan sangat rumit.
"Owh, Iya! Hati-hati ya sayang! Jangan lupa belikan juga aku Salted egg Chiken ya!"
Makanan kesukaan Mami yang berbau telur asin pasti dia suka. Karena sejatinya telur jadi vitamin tinggi menurutnya agar tubuhnya tetap awet muda.
Usai telponnya di tutup, Verrel segera menancap gas kuat-kuat. Melancarkan aksinya agar sampai di sebuah tempat tepat waktu.
***
Pada waktu yang sama, Elena semakin merasa tersiksa dengan rasa lapar yang semakin melilitnya. Saat Elena bangkit, terlihat banyak bintang mengelilingi kepalanya, rasa mual sudah naik di ulu hati karena asam lambungnya semakin naik. Terlebih bayi dalam perutnya semakin terlihat aktif saja.
Ia tak mungkin tinggal diam lagi, mengingat janin di dalam perutnya butuh asupan gizi.
Dor! dor! dor!
"Buka pintunya!"Jerit Elena menggedor-gedor pintu dengan kuat.
Namun di balik pintu tampak terdengar sepi saat dia menempelkan daun telinganya di depan pintu.
Pastinya sepi, karena tempat itu akan ramai hanya di waktu malam saja. Sedangkan siang, semua penghuni sibuk dengan kegiatan masing-masing, dan banyak lagi wanita-wanita memanjakan badannya di salon-salon sana.
Tak mau menyerah, ia menyisiri setiap sudut kamar. Barangkali saja ada satu barang yang cocok dan kuat untuk mendobrak pintu.
Merasa dapat setitik celah, Elena bahagia melihat ada sendok yang sudah lama tak terpakai dan mulai karatan di rongga kasur yang sedikit sempit. Ia bersusah payah menggapai sendok dengan cahaya yang lumayan bersinar itu.
Namun tempat yang sangat sulit di jangkau dengan tangan, membuat Elena kesulitan.
'Hanya ini, satu-satunya kesempatan untuk aku keluar dari sini. Aku pasti bisa!' bisik hatinya menguatkan diri. Dengan terpaksa, dia merogoh dalam-dalam menggunakan kekuatan penuhnya hingga kulit mulutnya tersisir kayu ranjang yang sudah kropos.
Grrrrkkk!
"Awwww! Stttt!" Elena mendesis kesakitan, menahan ngilu di kulit tangannya. Lalu ia menahan matanya terpejam hanya untuk kembali mengumpulkan kekuatan.
'Akhirnya, Huft!' Kembali Elena berbisik di hati, agar tidak ada satupun orang mendengar suaranya.
Elena menggenggam erat sendok berbahan stainlest untuk mencongkel satu persatu paku yang menancap di papan kayu penutup jendela.
Satu, dan dua paku sudah berhasil terbuka. Tinggal ada dua lagi paku yang harus ia congkel, sedang tenaganya mulai mengendur.
'Ya Tuhan, kuatkan saya!' gumamnya untuk pertama kali menyebut tuhan.
Meski sempat terpikir di otaknya, apakah masih pantas dia menyebut Tuhan dalam langkahnya, setelah banyak lelaki menidurinya.
Sisa satu paku yang harus ia congkel dan telapak tangannya sudah mulai lecet. 'Apa ini berkat Tuhan?' bisiknya lagi.
Ketika ia hendak membuka paku terakhir, suara gemercik kunci terdengar menjauh padahal semakin mendekat.
Elena terkujur kaku menegang. Detak jantungnya terpompa sangat kuat, tanpa pikir panjang ia menguatkan lagi tangannya untuk mencokel paku kembali sebelum waktunya semakin terlambat.
Ckrek!
Elena kehabisan waktu setelah paku itu terbuka, tapi tak sempat membuka jendela latar utama setelah papan kayu.
"Woy! Mau kemana kamu?" Sergah dua orang lelaki bertubuh besar, segera menyergap Elena, dan mencengkram erat kedua tangan Elena jadi semakin terikat.
Elena yang sangat ketakutan merasa terintimidasi. Satu di antara lelaki itu membawa segelas air minum dan sepiring makanan di sajikan khusus untuk Elena.
Sekarang Elena sengaja di perlakukan bak permaisuri dan di beri makan yang bergizi. Karena Elenalah yang akan jadi santapan pemesan dari Bos besar Masterindo corp.
Elena yang benar-benar kehausan tak ada pilihan lain selain menerima segelas air mineral itu dari para pesuruh Mami. Tangannya bergetar maju perlahan menerima gelas itu.
"Makanlah! Bayimu butuh asupan juga? Jangan ragu, lagian udah enak-enak di sini eh malah kabur?" Suara besar itu masuk ke telinga Elena dari balik pintu.
Nafsu makan Elena hilang, dan matanya bulat menatap sinis Mami.
"Cantik-cantik belagu?" Mami mencubit dagu Elena lagi, yang sudah siap di pegangi lagi oleh para bodyguardnya.
"Lepaskan!" Decak Elena membara.
"Jangan marah! Kamu harus lihat, siapa yang aku bawa ke sini!"
Elena mengernyitkan keningnya penasaran.
"Siapa?" Ketus Elena.
Mami menyumbingkan bibirnya menahan tawanya dan memanggil seseorang yang jadi kunci untuk Elena agar bisa di jinakan.
Elena menahan nafasnya sekejap merasa terkejut. Entah harus bahagia, atau harus marah, yang jelas perasaannya sata itu campur aduk.
"Bapak?" Sanggah Elena.
Tubuh tua dengan bibir tertutup kumis dan brewoknya itu hampir luput dari ingatan Elena, karena mungkin sudah hampir 2 tahun dia tidak pernah bertemu dengan Bapaknya, orang pertama yang menjerumuskannya kedunia bejad itu.
Janu Danuarta, melirik tubuh Elena keseluruhan. Ada rasa tercabik di hati kecilnya, tapi memang dia hanya ayah tiri saja, pastinya lebih tergiur dengan tawaran uang di bandingkan harus mengambil anaknya kembali.
Mata Janu hanya tertuju pada satu bulatan cembung yang ada di perut Elena. Lalu melirik lagi ke arah Mami.
"Pak! Bapak!" Elena terisak hebat meronta ingin melepas genggaman kedua bodyguard itu.
"Lepaskan!" Titah Mami santai.
Sontak Elena lompat menyergah Bapak Janu dan memeluknya kuat. Tapi Janu hanya memejamkan mata dalam, dan sama sekali tidak ada pergerakan.
"Pak, Elena mohon bawa Lena pulang pak! Hiks, hiks!"
Janu diam kaku.
"Pak, lihatlah! Elena hamil. Kasihani Lena dan anak Lena! Lena benar-benar ingin pulang pak. Hiks, hiks!"
Elena sudah tidak cukup kekuatan lagi untuk berdiri. Ia merunduk, lemas dan pandangannya sudah setara dengan dengkul Janu. Di depan Mami Elena memohon dengan sangat pada bapaknya, sampai hampir mencium kaki Janu yang terbungkus oleh mengkilatnya sepatu hitam pentople itu.
Bersambung ...