Ini masih subuh, tetapi teriakkan kencang itu terdengar nyata di sebuah rumah megah yang luasnya tiada terkira.
"Aduh, bisa diam enggak, sih, Zam? Dicukur jambang aja sampai teriak-teriak. Emangnya mama mau makan kamu?" Mama Nazam mengomel, tangannya sibuk membenarkan kepala lelaki itu hingga tegap.
Ternyata teriakan itu bersumber dari Nazam. Dia sedang berusaha menepati janjinya kepada Sofia untuk menyingkirkan dua gunduk bulu yang tumbuh di dua sisi pipinya.
"Mam, bisa enggak, sih hati-hati ngerjainnya, kan takut luka!" balas Nazam sengit.
Meski ini bukan kali pertama ia menyingkirkan bulu jambang, tetapi rasanya dia ketakutan setengah mati sebab kali ini yang mencukurnya ibu sendiri.
Bukan tak mampu pergi ke salon atau tempat cukur khusus pria, tetapi dirinya memutuskan untuk cukur mandiri di rumah saja. Untuk bepergian ke tempat lain, ia terlalu perhitungan waktu dan uang tentunya. Belum lagi harus ngantri lama. Capek, deh.
Sayangnya, karena dia sendiri takut gagal praktek, alhasil memanggil sang mama tak peduli jika wanita itu sedang masak bersama para asisten rumah tangganya. Nazam menyeret tanpa kata, dan meminta untuk membantunya menyingkirkan bulu-bulu yang membuat Sofia geli setiap kali melihat.
"Alah, diem. Siapa suruh minta mangkasin?" Mama Nazam tak mau tahu, tak mau diprotes. Yang penting dirinya melakukan apa yang putranya inginkan. "Gimana sekarang sama Sofia? Udah ada perkembangan?" lanjutnya bertanya.
Sejenak Nazam membisu, menatap diri di cermin memerhatikan tangan ibunya yang luwes memainkan pisau cukur.
"Datar. Parasnya memang cantik, tapi itu tak membuat hati ini tertarik," ungkapnya jujur.
Meski dia tampak terlihat baik dan menerima Sofia, nyatanya itu semua dilakukan tanpa adanya landasan cinta. Nazam sungguh datar, persis seperti katanya.
Padahal, harapan ibunya begitu besar. Akan tetapi, sepertinya ia harus berusaha lebih keras lagi untuk membuat hati anaknya terbuka.
"Enggak apa-apa. Seiring berjalan waktu, kamu pasti akan mencintai dia. Pun dengannya." Mama Nazam seperti memberi penghiburan, sayangnya itu tak mampu membuat Nazam merasa baik.
Lelaki itu mematri senyum hambar. Hambar seperti perasaannya kepada sang calon istri.
Di sini tak ada yang mengerti mengapa cinta begitu rumit dan sulit untuk Nazam rasakan. Hatinya terlalu beku dan hampir mati. Namun, ia mati-matian menahan semua dan bersikap seolah baik-baik saja, lalu menerima tawaran kedua orang tua untuk dijodohkan dengan Sofia.
Pertanyaannya, mengapa dia harus repot-repot membuat surat perjanjian hitam di atas putih dengan Sofia? Alasan sebelumnya mengatakan untuk mengikat wanita itu, akan tetapi melihat dia sama sekali tak ada ketertarikan barang setitik, harusnya itu menjadi sebuah tanya yang tentu harus ada jawabannya. Dan hanya lelaki itu yang bisa menjawab semua.
Lantas, bagaimana nasib Sofia kelak setelah menikah dengannya? Kasihan perempuan itu. Ibarat kata sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah gagal menikah dengan orang tercinta, eh malah dapat lelaki yang tak punya rasa terhadapnya.
Derita seakan sudah nampak di ujung mata, tetapi Sofia tetap menerima. Akan tetapi, tak ada yang tak mungkin. Tuhan menyatukan mereka lewat perjodohan, pasti ada rencana baik di atas semua itu meski sejatinya kedua insan ini hanyalah akan menjalani pernikahan yang tak mereka inginkan.
Jika bukan karena niat bakti terhadap orang tua, mereka sebenarnya tak akan mau.
***
Di rumah sakit tempat Naran membawa Ify, dia kini sedang bersandar ke sandaran kursi melepas rasa khawatirnya yang agak berlebihan.
Pagi ini keadaan wanita yang ia hamili itu sudah membaik. Suhu tubuh yang kemarin panas, kini sudah normal kembali. Bahkan wanita itu baru saja menyuap habis semangkuk bubur sebagai menu sarapan pagi. Dan dengan sorot mata yang penuh harap, ia meminta segera pergi. Ify tak mau terlalu banyak merepotkan. Pihak rumah sakit memperbolehkan jika kondisinya sudah benar-benar stabil.
Naran sudah berganti pakaian dengan yang kering dan bersih berkat bantuan Richard. Ia kini tengah ditemani Richard sarapan di luar rumah sakit. Tentunya atas izin Ify.
"Jadi, dia siapamu?" Setelah semalaman menahan rasa penasaran, akhirnya Richard punya juga kesempatan untuk menanyakan.
Tampak Naran mengehela napas berat sebelum akhirnya ia mengakui jika dia adalah calon istrinya.
"Namanya Ify. Calon istriku," jawab Naran menatap udara kosong.
"Loh, bukannya calon istrimu itu Sofia?" tanya Richard menggaruk kepala. Setahunya, memang benar Sofia. Bahkan ia juga sudah mendapat kartu undangannya dari keluarga Naran.
"Tadinya iya. Sekarang bukan."
Naran menjawab ambigu sehingga Richard sulit memahami. Lelaki itu menggeser piring yang sudah kosong, lantas melipat kedua tangannya di atas meja.
"Maksudnya?" Sungguh. Dia bukannya bodoh. Hanya sedikit loading. Untuk mencerna semua itu, ia butuh penjelasan lebih detail lagi.
"Pernikahan kami sudah batal. Aku melakukan kesalahan besar, Mas." Naran mengaku salah, dan ini kali pertama ia jujur tentang permasalahannya kepada orang lain.
"Kesalahan itu ... kamu selingkuh dengannya?" Percaya tak percaya Richard berkata. Ia sedikit kaget mengapa Naran seburuk ini jika apa yang ia tanyakan adalah sebuah kebenaran.
Sayangnua Naran memanglah lelaki buruk yang mengakuinya. Mengakui dirinya berselingkuh dengan Ify, bahkan membuat gadis itu hamil. Membuat masa depannya hancur, dan dia juga diusir dari rumah ibunya sendiri.
Richard geleng-geleng kepala. Syok. Namun, dengan setia ia mendengarkan seluruh cerita Naran yang berakhir pahit.
"Aku tahu itu salah. Tapi bukan semua salahmu. Apa orang tuamu tahu cerita yang sebenarnya?"
Naran menggeleng. "Jangankan mendengarkan semua penjelasanku sampai akhir, Mas. Baru mengatakan tentang aku yang menghamili Ify pun sudah kena gampar berkali-kali. Papa tak mau lagi mendengar apa pun dariku. Baginya, semua hanya terdengar bagai alasan dan pembelaan semata."
Kasihan juga Naran. Akan tetapi, sudah sewajarnya ia menerima buah dari pohon yang ia tanam.
Beruntungnya Richard mengerti keadaan Naran serta masalah-masalah yang ia bawa padanya, meski awalnya ia juga agak kecewa pada kelakuan Naran itu. Akan tetapi, ia terlampau tak tega jika harus ikut memojokan dirinya juga walau benar Naran salah. Dan, dari cerita yang ia dengar, semua kesalahan itu mungkin bisa saja dimaafkan andai ia jujur dengan apa yang terjadi, tak peduli walau semua sudah sangat terlambat.
Meski dikata tak bisa kembali kepada Sofia, setidaknya Naran bisa mendapat restu keluarganya dan segera menikahi Ify sebagai bentuk tanggung jawab yang sebenarnya. Sebab, bagaimana pun perempuan yang hamil di luar nikah itu pasti menginginkan sebuah kepastian dalam hubungan. Ia butuh sebuah pernikahan untuk membangun keluarga bagi calon anaknya kelak.
"Ini lagi berusaha, Mas. Orang tuaku belum stabil, mereka belum bisa dibujuk, mungkin mereka butuh waktu untuk menenangkan diri dulu." Naran menegakan diri, mematri senyum yang agak dipaksakan.
Ify yang masih terbaring di ranjang mulai melamun seperti sebelum-sebelumnya. Ia menatap langit-langit kosong memikirkan masa depannya bagaimana nanti. Ia teramat sedih memikirkan calon anaknya dalam perut.
Setelah menghancurkan hubungan sahabatnya sendiri, ia belum juga menemukan bahagianya. Ify menangis dalam diam, terpikir betapa Sofia membencinya. Pasti.