Chereads / Dipinang Lelaki Pelit / Chapter 12 - Hari Pernikahan

Chapter 12 - Hari Pernikahan

Sekembalinya dari rumah sakit, Richard membawa Naran dan Ify ke rumahnya sesuai janji. Selama perjalanan tak ada perbincangan berarti, hanya ada keheningan yang sesekali membuat canggung.

"Untuk sementara Ify bisa tinggal di sini." Richard membuka salah satu pintu kamar kost yang masih kosong. "Sementara kamu, Ran. Kalau enggak akan pulang ke rumah, tinggalnya di rumahku saja dulu. Ingat, kalian belum resmi menikah. Kalau tinggal bersama, nanti diamuk warga " Ia melanjutkan sembari menepuk bahu Naran.

"Terima kasih, Mas." Baik Naran atau pun Ify, mereka begitu bersyukur sebab diperbolehkan tinggal di sana.

"Aku duluan," pamit Richard tak mau mengganggu pasangan ini.

"Iya, Mas."

Sekarang hanya ada Ify dan Naran. Mereka duduk di kursi teras masih dengan perasaan kacau.

"Maaf, Naran. Semua kekacauan ini terjadi karena aku," akuan Ify penuh sesal. Ia begitu gugup hingga jemarinya tak bisa diam dan terus memilin ujung baju yang dikenakan.

Naran menghela napas kasar. Itu sudah ke berapa kali? Ia tak mengharapkan Ify menyalahkam diri lagi. Sebab, kesalahan itu tak bisa disalahkan pada satu sisi saja. Ia yang paling salah di sini.

"Jangan terus dipikirin. Kita jalani saja, kasihan bayi kita nanti ikut sedih," bujuk Naran menatap lekat.

Sungguh, meski dirinya masih terkungkung dalam rasa sedih tak bertepi, Naran tak seberengsek itu. Setidaknya ia masih bersedia bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan terhadap Ify.

"Aku minta maaf. Meski hubungan ini berawal dari sebuah kesalahan, aku akan mencoba menanamkan rasa cinta padamu. Terlebih kita akan segera memiliki buah hati."

Lelaki itu meraih punggung tangan Ify dan menatap penuh keyakinan.

Jadi, ternyata Naran sama sekali tidak mencintai Ify? Lantas, mengapa semua itu terjadi?

Ify mengembangkan senyum. Tak seperti Naran yang menatap tanpa cinta, wanita itu terharu hingga berkaca-kaca. Akhirnya, setelah sekian purnama berusaha menahan cintanya secara diam-diam dalam kesendirian, Naran bersedia juga memberikan hatinya. Ini berkat kehadiran sang calon buah hati.

'Setelah betahun-tahun hanya mampu menyentuh bayangannya saja, kini aku sungguh telah mendapatkan hatinya,' monolog Ify dalam hati.

Oh, ternyata ini tentang cinta bertepuk sebelah tangan. Di mana Ify sebenarnya telah memendam rasa cinta terhadap Naran tanpa sepengetahuannya. Dulu, bahkam ketika Naran masih berstatus kekasih Sofia.

***

Hari-hari berat itu perlahan mulai berlalu. Pernikahan Sofia tiba. Kamarnya sungguh tak dihias, ia tak ingin. Lagipula, selepas resepsi selesai, dirinya dan Nazam akan langsung pergi ke apartemen milik Nazam, bukan pulang ke rumahnya.

"Ya, ampun. Masih enggak percaya bakal nikah sama si pelit." Sofia mematut diri, berputar menghadap cermin besar. Meski ini bukan pernikahan impiannya, Sofia juga tak mau berpenampilan buruk di depan khalayak umum.

Sayangnya tak ada senyum terpatri sedikitpun, padahal Sofia sudah tampil cantik sempurna dengan balutan gaun putih indahnya.

Bunda Sofia masuk ke ruangan itu, ia begitu terharu melihat betapa cantik putrinya itu.

"Bun ...." Sofia menyambut kedatangannya dengan senyum yang dipaksakan. Namun, di sisi lain dirinya juga merasa berdebar, sebentar lagi calon mempelai pria akan segera tiba.

Ibu Sofia segera menggenggam tangan putrinya. Ia mengangguk sebagai tanda pujian. Tak ada kata-kata yang mampu dirinya ucapkan, sebab ia sendiri telah tenggelam dalam rasa haru yang tak ada ujungnya.

Baru kemarin rasanya Sofia belajar berjalan, belajar menyuap makanan, belajar bicara, sekolah mengenakan seragam merah putih, dan dirinyalah orang yang selalu sabar menguncir rambutnya setiap pagi. Mengomelinya kalau telat bangun, bahkan mempersiapkan seluruh kebutuhan sekolah.

Ibunda Sofia tak tahan ingin menangis, tetapi masih ia tahan. Dengan hati yang berdebar dirinya masih bertanya-tanya apakah ini saatnya ia melepas putri tercintanya.

Wanita yang telah memasuki usia dewasa itu mematri senyum. Dirinya merangkul ibundanya dengan sedih. Pikiran-pikiran berat yang beberapa hari mengganggu itu sekarang agak berkurang, tetapi tak bisa menghilangkan sebuah kekhawatiran.

"Bun, makasih selalu menjadi seorang ibu yang terbaik buat Sofia, maaf anakmu ini enggak bisa memberikan kebahagiaan, malah selalu merepotkan. Sofia sayang Bunda," ungkap Sofia dengan sejuta rasa yang menggebu.

Mungkin inilah pelukan yang paling mengharukan sepanjang hidup gadis itu. Tak ada yang paling membuatnya emosional selain ini.

"Sam-sama, Sayang. Kamu jangan mikir aneh, bagi bunda kehadiran kamu adalah sumber kebahagiaan bunda sama ayah." Pelukan itu dilepas, gegas mengambil tisu, mengelap embun di sudut mata Sofia.

Senyumnya masih mengembang, bunda Sofia mengusap kepala anaknya lembut.

"Bun, Mas Nazam beneran akan datang, kan? Dia enggak akan kabur, kan?"

Sungguh suatu pertanyaan bodoh. Bunda Sofia langsung tersenyum lebar.

"Enggak, Sayang. Dia orang yang bisa dipegang janjinya. Mau bukti? Nih, barusan telfon katanya sudah ada di perjalanan menuju ke sini," terang wanita beranak dua itu.

Entahlah, apa yang disebut bukti itu benar-benar belum terbukti sungguhan. Bagi Sofia, kehadiran Nazam yang nyatalah yang akan menjadi bukti bahwa lelaki itu memang bisa dipegang janjinya.

"Kamu pokoknya percaya saja. Sudah, ya, bunda ke luar dulu banyak tamu."

Bunda Sofia pun pergi, meninggalkan putrinya dalam keadaan hati penuh bimbang.

Namun, kebimbangan Sofia ini masih wajar. Dirinya agak trauma ditinggal seseorang. Meski sejatinya Nazam hanya lelaki yang tak ia kenal, tetap saja Sofia berharap agar pernikahannya berjalan lancar.

Ketiga temannya hadir tak kalah cantik dengan dress warna dusty senada. Sebelum mempelai pria datang, mereka menemui si mempelai wanita untuk diajak berfoto selfie.

"Cieee cantiknya," ujar Naomi mengerucutkan bibir. Gemas sekali dengan Sofia yang tampak elegan.

Mata ketiganya bersinar, tentu hal ini membuat Sofia sedikit melayang dan tak tahan dengan pujian mereka. Senyum merekah pun mengembang.

"Thank u gengs, masih mau hadir ke pernikahanku walau tahu ini agak ... yah, aneh saja." Bibir Sofia mengatup rapat usai mengatakan hal itu.

Bayangan Naran yang melintas tanpa diundang membuat ia kembali merasa sedih. Harusnya sekarang Naran yang menjadi pendampingnya di pelaminan. Bukan Nazam.

Beruntungnya kesedihan yang menguras air mata berhari-hari itu segera ditepiskan oleh Naomi, Inggit, dan Lisa. Mereka mengatakan jika tak ada yang aneh dengan pernikahan Sofia. Justru mereka senang, sebab akan melihat penampakan calon suami Sofia yang baru.

"Katamu dia lumayan ganteng dan tinggi. Pasti punya body atletis yang menggoda iman. Ha ha ha."

Sofia tertawa renyah. Ini kali pertama ia bisa selepas itu lagi. Semua berkat trio sahabatnya yang super jahil.

Karena mereka juga, kesedihan, kepedihan, serta ketegangan itu lenyap berganti menjadi keceriaan yang berlanjut hingga tanpa mereka sadari calon mempelai pria telah tiba.

Sofia terperangah melihat Nazam terlihat sempurna tanpa jambang ditambah rambut klimis hitam yang tampak lebih rapih. Yah, pokoknya idaman.

"Sof, kalau bosan boleh dikasih aku aja, ya," ujar Inggit dibawah hipnotis pesona seorang Nazam.

"Ih, kecentilan. Ingat, dia punya teman kita!" Lisa menyenggol keras.

"Apa, sih, cuma becanda!"

***

Sofia pun melangsungkan pernikahannya dengan suka cita, meski awalnya para tamu yang hadir menyaksikan agak heran, mengapa pengantin prianya bukan Naran.

Akan tetapi, semua itu tak merusak acara, bahkan resepsi berjalan lancar penuh tawa canda.

Di lain tempat, Ify memandang foto dirinya yang sedang tertawa lepas bersama Sofia. Dengan sedih ia mengusapnya. Tak lama Ify menoleh ke belakang dan berbicara,

"Naran, ayo hadiri acara pernikahan mereka."