Pagi-pagi sekali Nazam sudah dibuat kaget dengan suara benda jatuh dari luar kamar. Dari suaranya, Nazam mengira itu adalah gelas atau piring. Yah, pokoknya benda berbahan beling kaca yang pecah saat jatuh ke lantai.
Buru-buru ia bangkit dari ranjang.
"Jangan-jangan ada maling," gumamnya seraya mengendap-endap mengintip di celah pintu yang telah ia buka.
"Aduh, pake acara jatuh segala. Bisa-bisa si pelit ngamuk ini." Sofia berjongkok, memunguti pecahan-pecahan itu rusuh. Ia takut sekali kalau sampai ketahuan tuan rumah.
Sayangnya sangkaan Nazam salah besar. Bukannya maling seperti katanya, tetapi itu adalah Sofia istrinya. Namun, lucunya lelaki itu lupa kalau ia sudah menikah kemarin. Sungguh lupa.
"Heh?! Siapa kamu? Kenapa ada di rumahku!" Sehingga hal inilah yang terjadi. Nazam pasang kuda-kuda, takut istri yang ia anggap maling itu menyerang, takut wanita yang sedang memunggunginya itu membawa benda tajam.
Sofia berbalik kaget dengan mata yang melotot.
"Kampret! Kaget! Astaga, Mas—" Sofia memegangi dadanya dengan dentuman keras yang sulit untuk dihentikan.
Rahang Nazam terbuka, sama kagetnya. Lelaki bermata teduh ini tak bisa berkata-kata saat menyadari siapa yang ada di hadapannya.
"So-Sofia?" Akhirnya ia ingat juga kalau sekarang bertambah satu penghuni di rumahnya.
Nazam mengatupkan bibir rapat mengingat jika Sofia adalah istrinya.
Demi menjaga harga diri, Nazam kembali menampakkan wajah datarnya seperti biasa.
"Bahasamu, Sofia ... Sofia ...." Bahkan dirinya geleng-geleng kepala, seolah umpatan yang baru saja keluar dari mulut istrinya adalah kesalahan yang begitu fatal.
"Ma-maaf, Mas. Saya kaget." Sofia mundur selangkah.
"Aw!" Tak lama pekikan kencang dan mendadak itu keluar dari mulutnya. Membuat Nazam terperanjat kaget.
Sofia terduduk di lantai. Kakinya menginjak pecahan beling gelas. Wanita itu meringis, melihat kaca bening itu menancap cukup dalam di telapak kaki sampai mengeluarkan darah segar.
"Kamu!" Nazam berjongkok tepat di hadapan Sofia.
"A-aku enggak apa-apa, Mas. Cuma perih sedikit," ucap Sofia mencoba menenangkan.
"Kamu pecahkan gelas berharga itu?" Mata Nazam melotot mengarah pada gelas yang sudah hancur.
Sementara Sofia kini tengah terperangah sembari memandang suaminya. Dia pikir Nazam sedang mencemaskannya, tapi ternyata Nazam hanya memikirkan gelas yang katanya 'berharga itu' tanpa peduli dengan Sofia yang kakinya berdarah-darah.
"Mas, kamu kok malah lebih belain gelasnya dibanding aku." Sofia tak terima dan berusaha berdiri meski sulit.
"Kamu gimana, sih? Gelas yang kamu pecahkan ini peninggalan mendiang nenek saya," gerutu Nazam dengan intonasi rendah. Setidaknya kemarahan yang Nazam rasa tak sampai meledak-ledak.
Namun, meski begitu Sofia tetap tak percaya dengan sikap Nazam yang lebih mementingkan gelas hancur itu daripada dirinya yang kini sedang terluka.
Sofia mengangguk dalam diam. Ia akhirnya sadar kalau status istri yang bergelar padanya hanyalah hiasan belaka. Nazam sama sekali tak menganggapnya.
"Saya cuma mau buat sarapan, Mas. Maaf." Terlampau perih hatinya atas perlakuan Nazam, Sofia pun menunduk meminta maaf untuk gelasnya.
"Lain kali hati-hati. Sudahlah, sekarang kamu kembali ke kamar atau duduk di sofa. Untuk sarapan kita beli saja," kata Nazam sembari masih sibuk memunguti pecahan-pecahan gelas tersebut tanpa melihat ke arah Sofia.
Wanita itu diam. Melihat pada kakinya yang semakin terasa perih. Dengan langkah tertatih, ia pergi menuju sofa. Saat duduk, ia mencabut pecahan beling kaca itu dengan tangannya sendiri.
Entah mengapa tiba-tiba saja air matanya jatuh. Padahal perihnya tak separah itu. Bahkan sakitnya masih bisa ditahan.
Sofia menangis dalam diam bukan karena perih di kaki, tetapi perih di hati. Sudah menikah karena terpaksa, diperlakukan bagai bukan seorang istri pula. Wanita mana yang tak akan sedih. Meski sejatinya Sofia pun belum menaruh suka pada Nazam, tetap saja diperlakukan dingin seperti itu ia tak tahan.
"Emang nggak ada bedanya. Naran ataupun Nazam, sama-sama jahat," gumamnya teramat pelan. Sofia menghapus air matanya dengan tangan, meninggalkan bekas-bekas basah di pipi.
Nazam telah selesai memunguti beling kaca itu. Sebelum beranjak pergi, matanya menangkap bercak darah di lantai.
'Dia terluka? Kok, enggak ngomong,' batin Nazam gegas menyimpan pecahan kaca yang telah dibungkus kain serbet itu di tepi lantai.
Tanpa kata, laki-laki itu mengambil kotak P3K dalam laci. Mengambil baskom kecil dan mengisinya dengan air.
"Ceroboh. Sudah merusak barang penting orang, pake acara luka segala." Ucapan Nazam terdengar sarkas, tetapi sesungguhnya begitulah cara laki-laki itu menunjukkan kekhawatiran dan perhatiannya.
Nazam berjongkok di lantai, meraih kaki Sofia dan mencari-cari lukanya di sebelah mana.
"Maaf, akan saya ganti nanti. Dan, terima kasih, kaki saya baik-baik saja." Gengsi yang teramat tinggi membuat Sofia tak enak hati dan kembali menarik kaki.
Tidak, bukan gengsi. Lebih tepatnya dia sudah terlanjur sakit hati. Sofia merajuk ceritanya. Namun, Nazam tak membiarkan itu. Ia kembali menarik kaki Sofia.
"Sudah, diam dulu. Saya mau obati kaki kamu. Bukan mau minta ganti rugi. Pecah ya pecah saja. Tak apa. Saya hanya kaget, salah satu barang penting saya hancur."
Tanpa menunggu istrinya menolak lagi, ia membasuh luka di kaki Sofia dengan air dalam baskom.
Hening. Tak ada lagi kata-kata keluar dari bibir mereka. Sementara Nazam fokus membasuh luka Sofia, wanita itu justru memerhatikan Nazam dengan seksama. Ia tak pernah sedekat ini dengan suaminya itu.
Ada yang Sofia sadari, ternyata Nazam adalah seseorang yang bersih. Badan serta rambut laki-laki itu menguarkan bau segar khas shampo. Wangi natural.
"Kamu kenapa enggak membangunkan saya kalau lapar?" Pertanyaan Nazam membuat Sofia sedikit terkejut.
"Emm-ya ... kan, sudah tugas seorang istri untuk memasak sarapan. Mas enggak tahu itu?" Sofia memerhatikan tangan Nazam yang begitu cekatan membalutkan kain kasa di kakinya.
"Ya, tahu. Tapi, kata ayah kamu, kamu nggak bisa masak."
Merah padam muka Sofia. Diam-diam dia mengulum bibir bawahnya untuk menutupi rasa malu. Bisa-bisanya sang ayah mengatakan soal itu pada Nazam.
"Ya, kan niatnya mau belajar," belanya pada diri sendiri. Sofia berusaha menghindari tatapan mata Nazam.
"Belajarnya sampai bisa pecahin barang dapur. Itu baru niat, gimana kalau udah praktik. Pasti dapur kacau balau," kata Nazam lagi-lagi membuat bibir Sofia mengerucut.
Iya. Dia tahu sudah melakukan kesalahan. Tapi apakah tak bisa sedikit saja menghargai niatnya itu? Walau akhirnya yang dilakukan hanya memecahkan gelas berharganya, setidaknya ia sudah berusaha melakukan tugasnya sebagai seorang istri.
"Ya, gimana abisnya. Gelasnya aja yang licin pas dipegang." Wanita itu sudah muak.
"Selesai." Nazam pura-pura tak mendengar ucapan Sofia barusan. Ia malah menunjukkan kalau dirinya sudah selesai membalut luka di kakinya.
"Duduk saja. Saya akan pesan makan untuk kita." Nazam melengos pergi, meninggalkan Sofia sendiri.
Tak lama ia kembali dan menunjukkan senyum aneh disertai smiling eyes yang sebenarnya membuat Sofia sebal.
"Ayo ke dapur. Lebih baik masak sendiri daripada beli. Selain boros, makanan luar kita tidak tahu gimana mereka buatnya."
Mata Sofia memutar.
'Alasan. Bilang aja ogah keluarin duit! Dasar manusia pelit sejagad raya!'