Sabtu malam pukul sepuluh lewat. Saat itu Naran mabuk berat. Ia terjatuh, tetapi tubuhnya ditangkap seorang wanita.
Senyum Naran merekah kala yang nampak di depan mata adalah Sofia, kekasih hati yang sangat ia cinta.
Naran memeluk tubuh ramping itu erat, menyesap bau parfum yang menempel di bajunya.
"Baunya wangi, tapi ini bukan seperti parfum yang selalu kamu pakai," ucap Naran. "Tapi enggak apa-apa. Aku tetap suka. Ini juga wangi," sambung Naran kembali menyesapnya lagi.
Tak ada jawaban, Naran merasa sangat gemas bukan main. Lantas, ia terus menyesap bau wangi itu sepuasnya. Hingga semakin lama, gairahnya sebagai laki-laki tergugah.
Naran mengecup bibir Sofia yang terlihat ranum. Dia semakin bersemangat ketika tak ada perlawanan sedikitpun. Bahkan balasan lembut dirasakan olehnya.
Kejadian itu pun terjadi. Naran menghabiskan malam panjang penuh keringat di bawah selimut. Namun, sayangnya ketika pagi menjelang, sosok wanita yang memuaskan hasratnya semalaman bukanlah Sofia sang kekasih, melainkan sahabat kekasihnya sendiri, Ify.
"Tidaak!"
Naran membuka mata lebar-lebar. Jantungnya berpacu cepat.
"Kejadian itu lagi! Kenapa terus masuk ke mimpi terus, sih?! Sial!" umpat Naran mengusap wajah kasar.
Naran baru saja terbangun dari tidurnya. Ia kini berada di rumah Richard, tergeletak lelah di sofa memanjang yang menghadap televisi super besar.
Ternyata adegan tadi hanyalah mimpi belaka. Mimpi yang berdasarkan dari kejadian nyata, dan berulang kali datang entah untuk mengingatkan akan dosanya atau muncul karena besarnya rasa bersalah yang menjadi beban pikirannya.
Entahlah. Hal itu masih menjadi misteri yang Naran pun tak mengerti.
Naran melirik jam di dinding. Sudah sangat siang.
"Duh, kok mas Richard enggak bangunin, sih." Ia teringat Ify yang kemarin ditinggalkan di kosan saking marahnya atas sikap kekanakan ketika datang ke acara pernikahan Sofia.
Tanpa ingat pada apa pun lagi, ia bangkit dan bergegas ke kamar kosan yang ditempati Ify.
"Fy, buka pintunya," pinta Naran kala menyadari pintu kosan itu dikunci.
Lama tak ada jawaban, Naran kembali memanggil. Nihil, masih sama seperti sebelumnya.
"Fy, kamu di dalam, kan?"
Laki-laki itu kepalang over thinking. Panik. Naran pun akhirnya memutuskan untuk mendobrak pintu dengan tenaga yang dia punya.
"Fy! Ify!"
Naran melihat Ify tergeletak di lantai dekat kamar mandi. Ia dirundung kepanikan lebih banyak ketika melihat ada cairan merah di lantai putih itu. Matanya langsung melotot menatap perut Ify.
'Jangan-jangan bayinya ....' Ia tak lagi sanggup untuk membayangkan kemungkinan buruk itu. Naran memilih untuk menggendong Ify, membawanya ke rumah sakit.
Saat itu uangnya hanya cukup untuk membayar ongkos taksi dan biaya daftar administrasi, untuk perawatan dan lainnya, akan dia urus nanti.
***
Beberapa jam setelah Ify sadar dengan kondisi stabil dan janin yang masih sehat dalam perut.
Naran menggenggam tangan Ify lembut, menyesal telah meninggalkannya dari kemarin hanya karena marah.
"Maaf, Fy, maaf." Hanya kata itu yang sanggup ia ucap.
Ify menatap Naran dengan mata sayu. Ia terlalu lemas untuk sekadar membalas genggaman Naran. Mata bening itu kini berkaca-kaca.
"Maaf buat kamu khawatir, Naran."
"Tidak. Jangan bicara begitu. Aku yang salah di sini. Beruntung saja hanya pendarahan ringan dan kamu serta calon bayi kita tidak apa-apa." Naran bisa cukup bernapas lega.
Ify mengangguk. Ia juga cukup bersyukur dirinya tidak apa-apa setelah terjatuh saat hendak ke kamar mandi akibat kram perut mendadak terasa malam itu.
"Gimana kita bayar biaya rumah sakitnya, Ran? Aku enggak punya uang," tanya Ify tiba-tiba. Ia cemas.
Naran menghela napas berat. Ia juga bingung.
"Nanti bisa pinjam mas Richard atau siapa saja. Ini mau coba hubungi salah satu temanku, semoga saja dapat." Meski keadaan berat menimpa keduanya, Naran tetap berusaha tersenyum.
"Buat gantinya nanti gimana?" tanya Ify lagi. Kali ini dengan nada paling pelan. Wanita itu menggigit kuku.
"Aku akan cari kerja. Kamu tidak usah khawatir, cukup fokus saja pada kehamilan kamu. Mengerti? Ingat kata dokter jangan stres," papar Naran menasehati.
Perempuan berbulu serigala ini tentu saja terharu bukan main. Meski Naran belum menanamkan rasa cinta terhadapnya, setidaknya ia mendapat perhatian penuh dan tak diacuhkan oleh Naran. Terutama calon buah hatinya.
Menurut dokter, Ify sudah boleh pulang setelah kondisinya membaik, tidak lemas lagi nanti. Sekitar dua hari ia disuruh untuk menginap di rumah sakit ini.
Naran cukup dibuat pusing soal keuangan, tetapi ia juga harus bertanggungjawab bagaimanapun kondisinya.
"Kalau begitu aku ke bagian staf administrasi dulu. Mau minta rinciannya," ucap Naran. Ify mengangguk kecil dengan senyum di sudut bibir.
Entah harus disebut apa hubungan mereka. Keduanya tak punya status hubungan, tetapi memiliki calon anak. Cinta bertepuk sebelah tangan, tetapi saling melengkapi di kala susah dan senang. Hubungan yang sangat aneh dan rumit.
Senyum yang Naran tunjukkan itu lenyap seketika saat tubuhnya berbalik keluar ruangan. Wajahnya berubah menjadi frustrasi. Kembali terpikir soal bagaimana ia mendapatkan uang untuk membayar semuanya.
***
Dua hari berlalu. Kondisi Ify sudah membaik, dan kini saatnya pulang.
Akan tetapi, sayangnya Naran belum juga tiba ke rumah sakit. Lelaki itu masih berusaha mencari uang untuk membayar semua biaya rumah sakit yang terbilang sangat mahal untuknya kali ini, di saat dompet kosong dan tak ada lagi sumber pemasukan setelah diusir juga dari rumah oleh ayahnya.
Awalnya Naran berniat ingin meminjam uang kepada Richard, tetapi lelaki itu sedang pergi ke luar kota dan tak bisa dihubungi untuk sementara. Menghubungi teman-temannya, Naran hanya mendapat setengahnya.
"Sisanya aku harus dapatkan dari cara apa pun, kecuali memgemis pada papa," tekadnya waktu itu.
Naran bekerja keras mencari pekerjaan. Tak peduli pekerjaan kasar sekalipun. Sebab, sejak diusir dari rumah, semua fasilitas serta jabatan wakil CEO yang bergelar padanya dicabut begitu saja.
Semua hilang karena satu kesalahan terbesar dalam hidupnya. Ia tak bisa apa. Hanya pasrah dan menerima semua.
Naran baru saja selesai mencuci mobil pelanggan terakhirnya. Ia tersenyum senang, akhirnya bisa mendapatkam uang upah hasil kerja keras seharian.
Namun, usahanya tetap tak membuat uang itu terkumpul sesuai tagihan yang harus dibayarkan hari ini. Senyumnya kembali pudar.
Ia bingung, menyandarkan diri ke dinding putus asa. Baru kali ini Naran mengalami masa paling sulit begini.
"Naran."
Panggilan itu membuat Naran menoleh.
"Mama!" seru Naran setengah kaget.
Laki-laki yang tengah dilanda sedih itu terpaku di tempat kala melihat sang ibunda yang datang. Wanita itu berkaca-kaca, kasihan melihat kondisi anak semata wayangnya begitu menyedihkan begini.
Ia berlari, menggapai anaknya dan memeluk rindu. Tangisnya pecah.
Sementara Naran sendiri masih diserang kaget dan tak bisa berbuat apa-apa. Seluruh tubuhnya bagai mati rasa.