Chereads / Jodoh Untuk Fatimah / Chapter 1 - Ditinggal Menikah

Jodoh Untuk Fatimah

Nuraenivivi
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 14.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Ditinggal Menikah

"Adnan, apa maksud semua ini?!"

Fatimah menunjukkan undangan yang kusut di depan wajah kekasihnya. Ia terus saja meremas undangan yang berwarna biru itu dalam genggamannya.

"Fatimah, tenanglah ... dengarkan penjelasanku dulu!"

Sementara kekasihnya mencoba menenangkan Fatimah, dan mengajaknya bicara dengan kepala dingin.

"Coba jelaskan sekarang!" titah Fatimah, tak mau lagi berlama-lama melihat Adnan karena hatinya terasa semakin sakit.

"Aku ... malam itu ...." Adnan kebingungan harus bercerita mulai dari mana. "Sungguh aku tidak ingat apapun! Tiba-tiba saja aku terbangun di sebuah kamar bersama Naura--"

"Cukup!" potong Fatimah cepat, tak sanggup mendengar lanjutan cerita Adnan. Ia menutup kedua telinganya. Mendengar kata 'malam' dan 'kamar' membuat telinga Fatimah terasa berdengung.

"Fatimah ...," panggil Adnan lirih.

"Hubungan kita selesai, Adnan! Bagaimana bisa aku menjadi kekasih seseorang yang akan menikah?" Fatimah menatap Adnan dengan pandangan yang mengabur karena air mata.

"Tapi aku tidak mencintainya, Fat! Kamu tahu, aku hanya mencintaimu."

Ucapan cinta Adnan tak lagi membuat Fatimah luluh sekarang, bahkan membuatnya tersenyum pahit. Fatimah memahami secara tidak langsung bahwa pria di hadapannya ini terpaksa menikah karena suatu hal tak terduga sudah terjadi di antara Adnan dan Naura.

Tak mendengar sahutan dari lawan bicaranya, Adnan pun berkata lagi.

"Tunggu aku, aku mohon ... aku akan segera bercerai setelah anaknya lahir! Tunggu aku, Fatimah," bujuk Adnan.

"Anaknya lahir? Apa maksudmu? Naura hamil?" cecar Fatimah dengan mata yang sudah berembun. Meskipun ia menerka bahwa Adnan pasti tertangkap basah bersama Naura di sebuah kamar, tapi ia tidak menduga sampai sejauh ini.

"Percayalah padaku, Fatimah. Aku benar-benar tidak merasa melakukannya. Tapi aku tidak tahu kenapa Naura bisa hamil! Tunggu aku sampai anaknya lahir, aku mohon ...," pinta Adnan dengan wajah penuh harap disertai keputus asaan.

"Anaknya? Kamu tidak mau mengakui perbuatanmu?"

"Karena aku benar-benar tidak merasa melakukannya!"

"Lantas? Kenapa kamu mau bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak kamu lakukan?!"

Adnan terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan Fatimah.

"Lalu kamu minta aku menunggumu bercerai? Aku tidak sekonyol itu, Adnan! Kini aku menjadi kekasih calon suami orang, lalu setelahnya dicap sebagai perebut suami orang. Apa itu maumu?"

"Kamu tidak merebut posisi siapa-siapa, karena memang dari awal itu milikmu. Naura yang menghancurkannya!"

"Perbuatan kalian yang menghancurkan impian pernikahan kita! Jangan hanya menyalahkan Naura, karena seperti yang kamu katakan bahwa kalian berdua berada di dalam satu kamar yang sama ...!" Fatimah benar-benar tidak tahan untuk tidak meninggikan suaranya, padahal dia merupakan wanita yang bicara dengan nada lemah lembut.

Adnan terdiam tak percaya wanita yang ia cintai bisa meninggikan suaranya, karena dia tahu betul Fatimah tidak suka membentak. Fatimah benci dibentak, itu sebabnya ia tak pernah membentak orang lain. Namun hari ini sepertinya menjadi hari pengecualian bagi Fatimah.

"Aku benar-benar kecewa padamu, Adnan!" Fatimah melemparkan undangan yang sejak tadi digenggamnya.

Undangan berwarna biru itu terjatuh di tanah, di bagian depannya jelas tertulis nama dua orang. Nama calon pengantin pria sudah pasti Adnan, namun bukan nama Fatimah yang bersanding dengannya, melainkan nama Naura.

"Fatimah! Fatimah!"

Panggilan Adnan sama sekali tak dihiraukan oleh Fatimah. Dia terus berjalan menjauh dengan sesekali mengusap air matanya. Fatimah ingin segera sampai di rumah dan menumpahkan tangisnya.

"Kenapa hubunganku harus berakhir seperti ini?" lirih Fatimah bertanya pada dirinya sendiri.

Empat tahun Fatimah dan Adnan menjalin hubungan, dan sudah sejak tahun lalu mereka merencanakan pernikahan. Namun takdir berkata lain, Adnan memang akan menikah, namun bukan dengan Fatimah. Empat tahun mereka berdua membagi cerita bahagia serta keluh kesah, namun pada akhirnya tak bisa bersama.

Namanya Naura, yang tak lain adalah teman kecil Adnan. Bulan depan Adnan dan Naura akan menikah, lebih tepatnya terpaksa menikah. Karena malam itu mereka berdua berada di dalam satu kamar yang sama seperti yang Adnan ungkapkan.

Rumah tangga impian Fatimah yang ingin ia bangun bersama Adnan sirna sudah. Kenyataannya sekarang dia harus melepaskan pria yang dicintainya untuk bersanding dengan wanita lain. Andai saja ada alasan lain mengapa Fatimah harus merelakan Adnan, mungkin ia tak akan merasa sesakit ini. Sebagai sesama wanita, Fatimah tak mau menyakiti hati perempuan lain. Adnan juga harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah ia perbuat. Fatimah tidak mau egois dan memaksakan takdir harus berpihak padanya.

Adnan hanya bisa bersimpuh seraya menatap Fatimah yang semakin menjauh. Tangannya terkepal marah, namun dia juga tidak bisa melakukan apa-apa untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan Naura.

"Fatimah ... kenapa kamu tidak mau menungguku?"

Adnan memungut undangan yang Fatimah buang lalu merobek-robeknya kasar. "Aku benci diriku sendiri!"

"Sedang apa kamu disini, Adnan?" Suara itu berasal dari Naura, wanita yang tak lain adalah calon istri Adnan.

Adnan bangkit dan berbalik menatap Naura. "Ini semua gara-gara kamu, Naura!"

Naura melihat nanar robekan undangan pernikahan miliknya dan Adnan. "Apa salahku?"

"Salahmu? Kamu membuatku kehilangan Fatimah karena aku harus menikah denganmu!"

"Kenapa kamu hanya menyalahkanku? Kamu pikir aku hamil karena melakukannya sendiri? Karena kamu juga, Ad!" Naura meletakkan jari telunjuknya di depan wajah Adnan.

Naura sedang dalam perjalanan menuju apartemennya, dan melihat Adnan sedang bersimpuh di taman. Dia pun berhenti dan menghampiri calon suaminya, namun ia malah mendapat amarah dari Adnan.

"Aku tidak melakukannya, Naura! Aku tidak ingat apapun!" Adnan menjambak rambutnya frustasi karena tidak dapat mengingat apapun.

"Kamu tidak. Tapi aku mengingatnya dengan jelas!" pekik Naura dengan mata mulai berkaca-kaca.

Naura berbalik dan meninggalkan Adnan, kembali masuk ke dalam mobilnya dan menyesali keputusannya untuk berhenti menghampiri calon suaminya.

"Naura, tunggu sebentar!" Adnan menggedor kaca mobil Naura sebelum wanita itu berhasil melajukan mobilnya.

Dengan tatapan enggan Naura menurunkan kaca mobilnya. "Kenapa lagi?"

"Aku ingin kamu melakukan tes kehamilan lagi," pinta Adnan.

"Aku sudah memberikan hasil tesku, Adnan. Itu sebabnya aku meminta kamu segera menikahiku!"

"Aku hanya ingin memastikan lagi hasil tesnya," desak Adnan.

"Kamu meragukanku?" Naura bertanya dengan nada kecewa. ""Ikut aku ke apartemen. Aku akan melakukan tes sebanyak yang kamu inginkan!"

Naura dan Adnan pun mampir ke apotek untuk membeli beberapa jenis test pack. Adnan turun dari mobil dan membeli alat tes kehamilan paling akurat. Sedangkan Naura menunggu di dalam mobil dengan sesekali menghela napas gusar. Mereka pun kemudian menuju apartemen Naura.

"Tunggu disini." Naura meminta Adnan menunggu di ruang tengah, sedangkan dia berjalan menuju kamar mandi.

Tak sampai sepuluh menit, Naura kembali menghampiri Adnan dengan tiga alat tes kehamilan di tangannya. Dia memberikan semuanya pada Adnan.

"Ini ...."