"Adnan!" Fatimah loncat dari tempat tidurnya karena teringat Adnan yang menunggunya.
Sekuat apapun dia mencoba tak peduli, namun ternyata ia tetap tidak bisa.
Bersiap dengan secepat yang ia mampu, Fatimah sampai di kafe pukul 16.00 sore.
Matanya memindai seluruh ruangan, mencari sosok pria yang kini bukan lagi miliknya.
Dia menemukannya, pria itu sedang tertunduk dengan raut wajah putus asa karena telah tiga jam menunggu.
Fatimah berjalan pelan mendekati meja Adnan.
Mendengar suara langkah kaki mendekat, Adnan mengangkat wajahnya. "Fatimah."
"Kenapa kamu tidak pulang saja?!" Fatimah merasa kesal karena Adnan keras kepala, menunggunya selama tiga jam, kalau dia benar-benar tidak datang bagaimana?
"Aku kan sudah bilang akan menunggumu."
"Kalau aku tidak datang bagaimana?"
"Tapi nyatanya kamu datang."
Fatimah kalah. Ia ada disini dan duduk berseberangan dengan Adnan.
"Apa yang ingin kamu bicarakan lagi? Aku merasa berdosa sekarang karena menemui calon suami orang," sindir Fatimah.
"Jangan pernah berpikir seperti itu, Fat! Aku dan kamu, hubungan kita tak akan berakhir!" tegas Adnan.
"Maksudmu tak akan berakhir bagaimana? Kamu mau menikah dengan wanita lain dan tetap berpacaran denganku? Jangan gila, Ad!" Suara Fatimah pelan, namun penuh penekanan.
"Percayalah padaku, aku akan segera bercerai dengan Naura. Aku tidak mencintainya, Fat."
"Pernikahan bukan mainan, Adnan! Aku benar-benar kecewa karena tahu sifat aslimu ternyata egois seperti ini."
Fatimah beranjak dari duduknya dan berbicara pada Adnan lagi sebelum pergi.
"Jika aku tahu kamu meminta bertemu lagi untuk membicarakan omong kosong seperti ini, aku tidak akan kemari!"
"Fatimah!" Adnan segera menahan lengan Fatimah yang akan pergi.
"Lepas." Dengan tatapan tajam Fatimah berucap dingin.
"Apa kamu sudah tidak mencintaiku?" Suara Adnan bergetar, seperti sedang menahan tangisnya.
Walaupun kafe saat itu tidak begitu ramai, tetap saja Adnan dan Fatimah menjadi pusat perhatian, karena terlihat seperti FTV di dunia nyata.
"Lepas, Ad!" Fatimah berseru lagi, memilih tidak menjawab pertanyaan yang Adnan ajukan.
"Jawab dulu pertanyaanku!" Tangan Adnan semakin kuat mencengkram lengan Fatimah.
"Untuk apa aku mencintai calon suami orang?!" Dengan kasar Fatimah menarik lengannya dan menghempaskan cekalan Adnan.
Dia berjalan cepat ke luar kafe dan memberhentikan taksi. Tidak memperdulikan Adnan yang terus memanggil-manggil namanya.
Fatimah menangis di dalam taksi, yang membuat supir taksi itu kebingungan.
"Nona, kenapa anda menangis?"
"Aku putus dari pacarku," jawab Fatimah tergugu.
"Berarti Nona dan dia belum berjodoh. Jangan bersedih terlalu lama. Semoga Nona diberi pengganti yang lebih baik."
Fatimah mengaminkan dalam hati dan memilih tak menjawab lagi.
Sepertinya dia harus pergi dari kota ini, atau mungkin dari negara ini jika perlu. Tidak menemui Adnan sementara waktu mungkin ide yang bagus. Ia butuh waktu untuk menyembuhkan luka yang Adnan torehkan.
***
"Ayah, Ibu, aku mau lanjut S2."
Selesai makan malam bersama orang tuanya, Fatimah langsung mengutarakan niatnya. Gadis berkulit putih dan memiliki lesung pipi itu mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan studinya.
Bu Maryam dan Pak Fadil tentu saja saling pandang keheranan. Mereka ingat betul bagaimana Fatimah menolak melanjutkan jenjang pendidikannya.
"Lho, bukannya kemarin ditawari S2 tidak mau?" Bu Maryam ingat putrinya mogok makan karena suaminya memaksanya untuk S2.
"Iya. Kamu sampai mendiamkan Ayah tiga hari waktu itu, gara-gara Ayah paksa lanjut S2," imbuh Pak Fadil.
Fatimah mengerucutkan bibirnya, kenapa orang tuanya malah mengungkit masalah waktu itu.
"Jadi tidak boleh?"
"Memangnya siapa bilang tidak boleh? Iya kan, Yah?" Bu Maryam menyenggol lengan suaminya, dia tahu putrinya sedang merasa kesal.
"Iya, boleh dong. Memang mau S2 dimana?"
Fatimah terlihat berpikir sejenak. "Di Singapura."
Pak Fadil yang tengah minum air pun tersedak mendengar jawaban Fatimah.
"Ayah, hati-hati dong kalo minum!" Bu Maryam menepuk-nepuk Pak Fadil.
"Kamu mau kuliah di Singapura? Dimana? Tapi kenapa?" cecar Pak Fadil.
"Iya, Nak. Disini saja, di Jakarta banyak kampus unggulan," rayu Bu Maryam, karena tak mau berjauhan dengan anak semata wayangnya.
"Kalau disini aku akan terus bertemu Adnan, Bu. Aku tidak mau. Aku mau melupakannya."
"Jadi melupakan Adnan dengan pergi ke luar negeri?"
"Bukan seperti itu. Aku bukan jalan-jalan disana, melainkan melanjutkan studiku. Siapa tahu pulang bawa jodoh, kan?" Fatimah tersenyum manis memperlihatkan kedua lesung pipinya.
"Ayah dan Ibu akan memikirkannya dulu, Fat. Kamu anak perempuan sekaligus anak kami satu-satunya. Apalagi kamu tahu sendiri, Ibumu tidak bisa jauh darimu." Pak Fadil melirik pada istrinya yang terlihat tak setuju, dia pun mencoba memberi pengertian pada Fatimah.
"Aku akan baik-baik saja Ibu, Ayah. Aku janji. Boleh ya?" Fatimah menatap ibu dan ayahnya bergantian.
Bu Maryam tidak menjawab malah beranjak dari kursi makan dan pergi ke kamarnya. Dia pasti sedih mendengar Fatimah ingin melanjutkan studinya di Singapura. Itu artinya mereka akan terpisah jarak, walaupun tidak untuk selamanya.
Melihat ibunya ke kamar, Fatimah tahu pasti Bu Maryam bersedih. Pak Fadil memberi kode pada Fatimah untuk segera menyusuli ibunya.
"Ibu," panggil Fatimah lembut.
"Kamu mau meninggalkan Ibu hanya karena ingin melupakan Adnan?"
"Siapa bilang aku meninggalkan Ibu? Aku hanya sebentar, Bu. Aku akan kembali."
"Dua tahun bagimu sebentar? Sedangkan nanti Ibu harus menahan rindu. Lanjut kuliah disini saja, Fat," pinta Bu Maryam.
"Ibu, cobalah mengerti perasaan Fatimah. Dia melanjutkan studi sekaligus melupakan sakit hatinya. Ada Ayah disini menemani Ibu." Pak Fadil muncul dan berdiri di pintu.
"Ayah, Fatimah ini anak kita satu-satunya! Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya disana?"
Fatimah tahu ibunya terlalu mengkhawatirkannya.
"Tidak akan terjadi apa-apa padanya. Dia sudah dewasa, Bu. Anak kita sekarang 24 tahun, bukan anak kecil lagi."
Pak Fadil bukannya tak mau mencegah Fatimah, tapi dia mengerti perasaan putrinya. Menghindari Adnan untuk sementara waktu mungkin pilihan terbaik bagi Fatimah. Dan lagi ia berniat melanjutkan pendidikannya yang dulu sempat ia tolak.
Melupakan kenangan selama empat tahun menjalin hubungan bukanlah perkara mudah. Akan sia-sia jika mereka masih sering bertemu. Perasaan itu bukannya menghilang, yang ada malah semakin tak bisa dikendalikan.
***
Waktu begitu cepat berlalu, hari ini adalah hari pernikahan Adnan dan Naura.
Fatimah masih saja berharap ini mimpi buruk, namun sekali lagi ... harapannya tidak terwujud.
Ragu-ragu Fatimah ingin datang atau tidak, dan dengan berani ia memutuskan untuk menghadiri pernikahan mantan kekasihnya.
Dress panjang dengan lengan brocade berwarna broken white menjadi pilihannya, lalu dia berdandan secantik mungkin.
"Aku tidak boleh terlihat menyedihkan!" ucapnya sembari menatap cermin.
Setelah memastikan penampilannya perfect, Fatimah meraih clutch bag berwarna silver dan bersiap pergi.
Fatimah tak minta ditemani siapapun, dengan berani dia berjalan memasuki gedung resepsi pernikahan Adnan dan Naura.