Fatimah memejamkan matanya dramatis, mengingat perkataan Adnan kala itu masih membuat hatinya terasa nyeri.
"Adnan bilang ... dia berada di kamar yang sama dengan Naura."
"Tunggu sebentar!" Syahnaz menarik napasnya dalam-dalam. "Maksudmu Adnan menghamili Naura?"
Fatimah mengangguk lemah.
"Brengsek! Aku tidak menyangka pria yang terlihat baik seperti Adnan bisa melakukan hal seperti itu!" Syahnaz tak bisa untuk tidak mengumpat, padahal dia sudah berjanji pada Fatimah untuk tak mengumpat di depan sahabatnya itu.
"Tapi Adnan berkata padaku bahwa dia tak merasa melakukannya, Naz."
"Omong kosong! Mana mungkin dia mau mengaku, Fatimah. Kamu jangan mau terbujuk tipu muslihatnya. Lupakan saja Adnan!"
"Setidaknya sekarang aku sedang mencobanya."
***
Fatimah dan Syahnaz berjalan ke luar dari toko gaun itu. Syahnaz tak jadi memilih gaun untuk pertunangannya dan mengajak Fatimah berjalan-jalan. Sepanjang jalan yang mereka lewati memang terdapat beberapa toko gaun dan salon pengantin.
Sampai netra Fatimah menangkap sosok Adnan bersama seorang wanita hendak memasuki Rose Bridal & Gowns. Tak hanya Fatimah, Syahnaz pun melihatnya.
"Harusnya aku yang bersama Adnan masuk ke dalam sana ... harusnya aku yang menjadi calon mempelai wanitanya." Fatimah bergumam dalam hati.
"Bukankah itu Adnan?" Tunjuk Syahnaz pada Adnan dan Naura yang masuk ke dalam butik. "Ayo kita temui dia!" ajaknya pada Fatimah.
"Tidak usah, Naz. Untuk apa? Aku sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan Adnan!" larang Fatimah, tak menyetujui ajakan Syahnaz.
"Aku ingin tahu secantik apa calon istrinya!" cebik Syahnaz.
"Aku tidak mau tahu. Ayo kita pergi dari sini!" Fatimah segera menarik Syahnaz menjauh dari butik yang dimasuki Adnan dan Naura.
Di dalam sana, Adnan dan Naura tengah melakukan fitting untuk busana pernikahan mereka. Naura yang tampak bersemangat, namun Adnan terlihat begitu murung. Andai saja Adnan bersama Fatimah, mungkin akan lain ceritanya.
Di dalam toko Naura mencoba beberapa gaun dan memakan waktu yang cukup lama. Tentu saja hal itu membuat Adnan bosan. Dia berjalan ke luar butik untuk mencari udara segar.
Plak!
Sampai di luar butik, tiba-tiba pipi Adnan ditampar oleh seseorang. Seraya memegangi pipinya, Adnan pun melihat orang yang menamparnya. "Syahnaz?"
"Iya, ini aku. Kenapa?!"
"Syahnaz, sudahlah! Aku bilang pergi saja, kenapa malah kembali lagi kemari?!" kata Fatimah panik sembari menarik Syahnaz.
Setelah berjalan cukup jauh, Syahnaz malah berbalik dan berjalan cepat. Dia merasa tidak terima dengan perlakuan Adnan pada Fatimah.
Syahnaz tahu Fatimah tak mungkin mampu, atau lebih tepatnya tak akan sanggup menampar pipi Adnan meski hatinya begitu terluka. Untuk itu ia menggantikannya.
"Aku menggantikan Fatimah untuk menamparmu, karena aku tahu gadis selembut dia tidak akan bisa melakukannya meski dia sangat ingin. Bahkan sakitnya tamparan pun tak setimpal dengan rasa sakit yang Fatimah alami!"
"Ya, aku tahu. Tampar saja aku lagi, Naz! Aku memang pantas menerimanya!"
Bukannya membuat Syahnaz berhenti, Adnan malah menantangnya. Tentu saja hal itu membuat Fatimah semakin pusing.
"Ayo pergi, Naz!"
Fatimah tak mau memperpanjang masalah dan menarik Syahnaz menjauh dari Adnan.
Ekor matanya melihat dengan jelas kesedihan pada raut wajah Adnan. Seharusnya Adnan berbahagia karena akan menikah, namun yang terjadi malah sebaliknya.
"Adnan! Kenapa kamu malah pergi?!" Naura ke luar butik dan menemukan Adnan tengah mematung.
Adnan pun mendengus kesal. "Karena kamu terlalu lama!"
***
"Syahnaz, kamu apa-apaan menampar pipi Adnan? Maksud kamu apa?"
Sesampainya di rumah Fatimah pun melayangkan protes pada sahabatnya. Ia tak habis pikir mengapa Syahnaz bisa berlaku senekat tadi.
"Kenapa kamu yang jadi tak terima, Fat? Adnan sudah sepantasnya mendapatkan tamparan itu. Bahkan dia sendiri yang memintaku menamparnya lagi!" jawab Syahnaz dengan nada tak kalah tinggi.
Bu Maryam pun heran melihat Fatimah dan Syahnaz yang berdebat ketika sampai di rumah.
"Eh, eh, ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar?"
Baik Fatimah maupun Syahnaz terdiam, tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Bu Maryam.
"Hm, tidak ada yang mau memberitahu Ibu rupanya. Kalau begitu kalian tak dapat jatah makan malam!" ancam Bu Maryam yang tentu saja tak serius.
Syahnaz segera mendekati ibu dari sahabatnya itu dan bergelayut manja di lengannya. "Fatimah nakal, Bu! Dia memarahiku!"
"Benarkah? Kenapa Fatimah bisa sampai memarahimu, Syahnaz?"
"Dia menampar Adnan, Bu!" sahut Fatimah cepat.
"Padahal Adnan itu sudah jahat padanya, Bu. Tapi Fatimah masih saja baik! Aku tak mengerti dengan pikiran putri Ibu yang satu itu." Syahnaz menunjuk Fatimah dengan dagunya.
"Sudah-sudah. Sekarang kalian berbaikan!" perintah Bu Maryam.
Syahnaz memang sudah bersahabat dengan Fatimah sejak SMP dan sering berkunjung ke rumah. Bu Maryam pun sudah menganggapnya sebagai putrinya juga.
Syahnaz berdehem beberapa kali, kemudian mengulurkan tangan lebih dulu. "Maafkan aku."
Fatimah pun menyambut uluran tangan Syahnaz. "Aku juga minta maaf sudah memarahimu."
"Nah gitu dong! Ayo kita makan!" Bu Maryam menarik tangan Fatimah dan Syahnaz menuju ruang makan.
"Ayah kemana, Bu? Belum pulang?" Fatimah mencari-cari sosok Pak Fadil.
"Belum, Fatimah. Sepertinya ayahmu ada operasi mendadak. Seharusnya sudah pulang sejak satu jam yang lalu."
Bu Maryam terlihat sibuk menata makanan di meja makan dan dibantu oleh Syahnaz. Sedangkan Fatimah teringat ponselnya yang ia tinggal di kamar pun segera berlari untuk mengambilnya.
"Tiga puluh panggilan tak terjawab," gumamnya seraya melihat layar ponselnya.
Dia kemudian menuju menu kontak untuk mengubah nama seseorang. Nama kontak 'Sayangku' kini ia ganti menjadi 'Adnan'.
Fatimah kembali ke ruang makan dan bergabung bersama ibunya serta Syahnaz.
"Dari mana kamu, Fat?" selidik Syahnaz seraya memicingkan matanya.
"Ke kamar, memastikan ponselku tertinggal atau tidak."
"Bilang saja tak mau membantuku dan Ibu menyiapkan makan!" tuduh Syahnaz yang membuat Fatimah terkekeh.
"Itu salah satu tujuanku."
Bu Maryam hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ibu tak bisa membayangkan jika kalian berdua benar-benar putri Ibu dan tinggal serumah. Sepertinya kepala Ibu akan pecah mendengar pertengkaran kalian setiap hari."
"Jadikan aku putrimu, Bu. Dan usir Fatimah dari sini." Syahnaz menaik-turunkan alisnya seraya melirik pada Bu Maryam.
Sontak kelakuan Syahnaz itu mengundang tawa Fatimah dan Bu Maryam.
"Apa Ibu mau mempunyai putri sepertimu, Naz? Aku tak yakin!" ejek Fatimah.
"Sudah-sudah, perut Ibu sakit karena kelakuan kalian! Mari makan."
Mereka bertiga pun makan malam bersama, dan Fatimah sedikit melupakan hal yang baru saja terjadi padanya. Melihat Adnan bersama seorang wanita di butik pengantin.
***
Ponsel Fatimah berdering singkat tanpa ada pesan masuk.
[Fatimah, aku ingin bertemu denganmu lagi. Aku mohon. Beri aku kesempatan.]
Fatimah membaca pesan yang Adnan kirimkan dengan memijit keningnya. Ia bingung harus menuruti Adnan atau tidak.
Fatimah belum memutuskan dan ponselnya kembali berbunyi.
[Aku akan menunggumu di kafe tempat biasa kita bertemu pukul 14.00 siang. Terserah kamu datang atau tidak, aku akan menunggumu disana.]
Setelah membaca pesan kedua, Fatimah melirik jam dinding dan menunjukkan pukul 13.00 siang. Masih ada satu jam lagi.
"Siapa peduli? Aku tak akan menemuinya! Lebih baik aku tidur siang!"
Fatimah melempar ponselnya ke tempat tidur dan kemudian menyusul merebahkan diri. Dia padahal hanya pura-pura ingin tidur, namun ia benar-benar tertidur sungguhan.
Selang dua jam kemudian, Fatimah mengerjap-ngerjapkan matanya.
Mata yang belum terbuka sempurna itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 15.00 sore.
"Adnan!" Fatimah loncat dari tempat tidurnya karena teringat Adnan yang menunggunya.