Chereads / Jodoh Untuk Fatimah / Chapter 6 - Tak Tahu Malu

Chapter 6 - Tak Tahu Malu

Seperti yang Fatimah sudah duga, jika ia masih disini maka persentase bertemu dengan Adnan cukup besar. Sekarang ia menyesali keputusannya untuk menonton film, karena disini ia harus dengan bertemu Adnan dan Naura.

"Hai Fat, Naz," sapa Adnan pada Fatimah dan Naura.

"Cie pengantin baru," sindir Syahnaz seraya melirik sinis pada Adnan dan Naura.

"Naz, kita pergi saja!" Fatimah menarik lengan Syahnaz agar pergi dari bioskop, padahal mereka sudah membeli tiket.

"Kenapa? Kamu tidak mau melihatku dengan suamiku?" Tanpa diduga Naura mengeluarkan suara.

Fatimah hanya tersenyum, tak berminat menjawab Naura.

"Kamu cemburu? Tidak baik cemburu pada suami orang," kata Naura lagi seakan sengaja memancing amarah Fatimah.

"Naura, cukup!" geram Adnan.

Namun bukan Fatimah yang terpancing amarahnya, melainkan Syahnaz.

"Tutup mulut anda! Fatimah tidak cemburu pada kalian, karena dia sudah tidak mencintai Adnan!" ketus Syahnaz.

"Kalau begitu kenapa pergi? Kita bisa menonton film bersama kan?" Naura tersenyum mengejek kemudian mengalungkan tangannya pada lengan Adnan dan memasuki teater.

Tangan Syahnaz terkepal menahan amarah. "Jika aku jadi kamu, aku sudah menjambak rambutnya sejak tadi!"

"Sudahlah, Naz. Kita pergi saja!" ajak Fatimah lagi, tak memperdulikan ejekan Naura.

"Ayo kita masuk saja, Fat! Buktikan pada mereka kalau kamu tidak cemburu!"

Fatimah pun menurut saja saat ditarik masuk ke dalam teater. Padahal ia lebih ingin pergi dari sana. Syahnaz melewati tempat duduk Adnan dan Naura dengan membuang muka.

Tempat duduk Syahnaz dan Fatimah berada dua baris di atas dari kursi Adnan dan Naura.

Lampu teater mulai diredupkan tanda film akan di mulai. Meski dengan cahaya yang terbatas, Fatimah dapat melihat jelas Naura menyandarkan kepalanya pada pundak Adnan.

"Sial! Kenapa mereka duduk di depan kita," umpat Syahnaz berbisik.

"Aku kan sudah katakan untuk pergi dari sini. Kamu yang menarikku masuk."

"Maaf."

Syahnaz mulai merasa bersalah pada sahabatnya karena memaksanya masuk.

Film sudah berjalan sekitar satu jam, namun Fatimah sama sekali tak fokus menonton karena pemandangan di depannya sungguh mengganggu.

Naura dengan sengaja mendekatkan wajahnya pada Adnan lalu menciumnya, mungkin agar Fatimah dapat melihatnya.

"Kurang ajar!" umpat Syahnaz pelan yang juga melihatnya.

Syahnaz bahkan berdiri dari duduknya yang mengundang protes dari orang yang duduk di belakangnya. Fatimah pun turut berdiri dan menarik Syahnaz agar kembali duduk.

"Naura itu benar-benar tak tahu malu!"

"Sudahlah, Naz. Aku tidak apa-apa."

"Aku yang tidak baik-baik saja, Fat. Ingin rasanya aku siram air cola ini ke wajah mereka." Syahnaz meremas gelas colanya.

Fatimah memilih tak menyahut lagi karena takut obrolan mereka mengganggu penonton lain, meskipun sudah berbisik dengan sangat pelan.

Film pun selesai diputar, Fatimah dan Syahnaz dapat melihat jelas bagaimana Naura mengalungkan tangannya pada Adnan dan bergelayut mesra berjalan menuju pintu keluar.

"Sok cantik sekali Naura itu!" Syahnaz hendak menghampiri Naura, namun ditahan oleh Fatimah.

"Naz, please stop! Jangan bikin ribut, malu!" larang Fatimah.

"Tapi, Fat, aku benar-benar kesal melihatnya!"

"Aku tidak apa-apa. Lagi pula sebentar lagi aku akan pergi dari negara ini."

Adnan terlihat menoleh ke belakang dan menatap Fatimah, namun Fatimah buru-buru menghindari pandangannya. Dan itu membuat Adnan kecewa.

Sesampainya di parkiran suasana cukup sepi, Adnan dan Naura terlibat cek cok. Adnan melepaskan tangan Naura dari lengannya. Sebenarnya sudah sejak tadi ia muak, namun ditahan karena banyak orang.

"Maksud kamu apa, Nau?!"

"Maksudku adalah agar mantan pacarmu itu sadar bahwa kamu sudah menikah denganku! Dia tidak boleh mengharapkan pria yang sudah menikah," jawab Naura.

"Dia mungkin sudah tidak mengharapkan aku, namun aku yang masih mengharapkannya!"

"Adnan! Kita sudah menikah, ada bayi dalam perutku! Apa kamu tidak mau mengakuinya? Kita melakukannya malam itu!"

"Sungguh? Tapi bagaimana bisa aku tidak ingat apapun malam itu?! Apa kita benar-benar melakukannya?" Adnan memajukan langkahnya yang membuat Naura refleks melangkah mundur.

Adnan menatap Naura sangsi dan terus mendekat, sampai Naura terpojok di tembok karena gugup.

Adnan menatap Naura sangsi dan terus mendekat, sampai Naura terpojok di tembok karena gugup. Tidak biasanya Naura melihat Adnan menatap seram seperti ini.

Adnan mendekakan wajahnya dan berbisik tepat di wajah Naura. "Aku harap apa yang kamu katakan benar, karena jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu."

Dari kejauhan Fatimah bisa melihat jelas bagaimana Adnan terus melangkah maju sampai membuat Naura terpojok.

Detik Adnan selanjutnya mendekatkan wajahnya pada wajah Naura, dan Fatimah memilih membuang muka karena tidak sanggup melihat kelanjutannya.

Padahal yang Fatimah pikirkan tidak terjadi, Adnan bukannya mau mencium Naura melainkan memperingatkannya.

Adnan sebenarnya sudah sangat kesal sejak di dalam bioskop, karena Naura terus saja mencoba memperlihatkan kemesraan mereka pada Fatimah. Padahal ia tidak menyukai apa yang Naura lakukan.

'Pria itu ... dia benar-benar brengsek!' umpat Fatimah, namun hanya bisa dalam hati.

Fatimah tak terbiasa mengumpat seperti Syahnaz. Untungnya Syahnaz tidak melihat apa yang Fatimah lihat. Bisa-bisa Syahnaz berlari menghampiri dan kembali menampar Adnan.

***

Hari ini menjadi hari keberangkatan Fatimah ke Singapura. Bu Maryam dan Pak Fadil mengantar sampai di Bandara, begitupun dengan Syahnaz.

Bu Maryam memeluk putrinya begitu lama, membuat Fatimah merasa berat untuk pergi.

"Bu, sudah, Singapura dekat kok. Kalau Ibu mau kita bisa berkunjung setiap bulan," seloroh Pak Fadil.

"Ayah tidak mengerti perasaan Ibu!" Bu Maryam mengurai pelukannya dari Fatimah.

"Aku akan baik-baik saja Bu," kata Fatimah seraya tersenyum.

"Fat, jangan lupa pulang S2 bawa calon suami ya!" celetuk Syahnaz yang mengundang tawa.

Fatimah berjalan masuk dan kini sudah berada di dalam pesawat. Ia bersebelahan dengan seorang pria yang terlihat seumuran dengannya.

Sebelum duduk ia mengangguk tersenyum pada pria itu, namun yang disenyumi tak merespon sama sekali. Dalam hati Fatimah menyesal sudah mencoba ramah pada pria yang duduk di sampingnya itu.

Sesekali Fatimah melirik padanya, namun pria itu sama sekali tak menoleh pada Fatimah. Dia memasang headset sepertinya sedang mendengarkan musik dengan matanya terpejam.

Karena tak ada obrolan yang tercipta, Fatimah pun memilih membaca novel untuk menemani perjalanannya yang tergolong singkat ini.

Satu jam tiga puluh menit mengudara, Fatimah sudah sampai di Singapura.

Saat hendak turun, Fatimah dan pria yang duduk disebelahnya bertabrakan.

"Maaf," ujar Fatimah.

"Hmm."

"Kamu orang Indonesia kan?"

"Ya."

Fatimah benar-benar kesal sekarang, pria itu benar-benar dingin. Dia tak lagi mengajukan pertanyaan dan mengunci mulutnya rapat-rapat.

Sampai di bandara, terdengar seseorang memanggil nama pria yang berjalan di sebelah Fatimah.

"Radinka!" Teman pria itu melambai-lambaikan tangannya.

'Oh namanya Radinka.' Fatimah berkata dalam hati.

Fatimah pun sudah di jemput oleh seseorang, mobil sudah disiapkan untuk mengantarnya menuju apartemen.

Semua sudah disiapkan oleh orang tuanya, karena Pak Fadil tak bisa menemani putrinya dan Bu Maryam juga takut malah tak mau pulang jika mengantar Fatimah sampai ke Singapura.

Fatimah sampai di apartemennya, tidak terlalu luas, namun terlihat nyaman. Dia merebahkan tubuhnya di ranjang dan menatap langit-langit.

"Disini aku tidak akan bertemu Adnan kan? Dia tidak mungkin menyusuliku kemari kan?" gumamnya pada diri sendiri.

***

Hari ini Fatimah pertama kali masuk kuliah. Dia terburu-buru dan menabrak seseorang.

"Sorry!" serunya seraya menatap seorang pria yang ada di hadapannya. "Kamu?"

"Kenapa kamu senang sekali menabrakku?" tanya pria itu dingin. Pria itu adalah Radinka.

"Tidak, bukan seperti itu. Aku tidak sengaja, sungguh!" Fatimah melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. "Maaf aku harus pergi sekarang!"

Namun tidak semudah itu Fatimah pergi, Radinka menahan lengannya dan menatapnya dengan pandangan yang tak dapat diartikan.

"Bagaimana jika aku tidak mau memaafkanmu?"