Para tangan kanan Alfaro itu pun bergegas membawa mayat Kenny pergi, Fabian hanya bisa melihat hal tersebut tanpa bisa berkutik. Tubuhnya sudah tidak digerakkan, rasa nyeri juga sakit merajainya dengan begitu nyata. Air mata Fabian mengalir dengan sempurna, hingga napasnya kini mulai terengah, dan tak beraturan.
Dan ketika beberapa anak buah Doni Alfaro yang lain hendak melayangkan tembakan di kepala Fabian. Beberapa selongsong peluru itu menembus dada mereka dengan sempurna, mereka langsung tergeletak begitu saja tanpa nyawa.
Sosok laki-laki tua perawakan tinggi besar dengan langkah kaki terseok itu mulai mendekati Fabian, dia pun tampak memeriksa nadi Fabian yang masih berdetak meski sangat begitu lemah. Laki-laki itu tampak tersenyum puas.
"Kamu pemuda yang kuat, mendapatkan luka separah ini masih bisa bertahan. Apakah kamu mau bekerjasama denganku?" tawar laki-laki tersebut. Fabian yang hanya bisa memandang laki-laki yang rambutnya sudah tampak putih itu pun mengerang tidak jelas. Antara ingin berbicara serta menahan rasa sakit yang ada. Berkali-kali Fabian memuntahkan darah segar dari mulutnya dengan sempurna, membuat napasnya kembali tersengal, otot-otot leher Fabian terlihat nyata, seolah menunjukkan betapa keras perjuangannya untuk menahan rasa sakit yang ada di dalam tubuhnya. Membuat laki-laki itu memberikan tiga butir pil yang bahkan Fabian tidak tahu itu apa. "Bukankah Doni Alfaro yang melakukan semua ini padamu? Ikutlah denganku, aku akan menyelamatkan nyawamu, dan membantumu balas dendam kepada Doni Alfaro tentang apa yang kau alami ini. Jika kamu mau, kamu akan mendapatkan apa yang kau inginkan untuk itu,"
*****
Malam ini akan tetap sama seperti malam-malam sebelumnya, untuk seorang gadis yang kini sedang duduk sendirian di balkon kamarnya. Meski ada bintang, meski rembulan sedang bersinar dengan indah tidak akan pernah bisa mengubah apa pun yang telah terjadi kepada hidupnya. Ya, selalu seperti ini, dunianya tetap sama saja, akan menjadi gelap seolah tanpa ada satu pun yang bisa untuk menolongnya.
Kebodohannya adalah hal yang tidak biasa, kekurangannya adalah hal yang sangat nyata. Andai, waktu dapat diputar kembali, mungkin dia masih tetap akan mengambil langkah ini.
Wanita berambut hitam legam sepunggung itu pun hanya bisa mengembuskan napasnya berat, kedua tangannya saling bertaut dengan gelisah. Entah kenapa, malam ini hatinya benar-benar tidak enak, dadanya tiba-tiba nyeri, dan dia pun mulai gelisah. Dia merindukan saudari kembarnya, apakah saudari kembarnya itu sudah pulang? Ataukah dia masih menikmati malam tahun baru bersama dengan kekasihnya? Dua jam, adalah waktu yang diberikan, bahkan ketika lonceng perganitan jam berbunyi seharusnya saudari kembarnya sudah kembali. Namun saat ini, jangankan pulang, memberi kabar pun tidak sama sekali.
Dia ingat dengan jelas bagaimana hari-harinya yang gelap menjadi sedikit menyenangkan, ketika saudari kembarnya selalu memberinya dukungan, menjadi mata keduanya meski dia tak bisa melihat selama beberapa tahun ini. Hingga dia bisa membayangkan bagaimana dunia indah, dan penuh warna itu. Ada pelangi, yang dulu dia lihat tampak sangat indah, meski dulu begitu sering dia abaikan, birunya laut, dan langit, hijaunya gunung, dan lain sebagainya. Sampai akhirnya dia sadar jika di titik ini, bisa melihat semua hal yang mungkin dulu dia anggap sepele, faktanya sekarang adalah hal yang begitu dia inginkan. Selalu melihat warna hitam di mana pun, adalah hal yang sangat menyiksa, dan dia sama sekali tidak bisa berbuat apa pun selain menerima takdir yang diberikan oleh Tuhan.
"Keyra,"
Keyra menoleh, meski dia tak mampu melihat sosok yang memanggilnya, tapi suara itu cukup familier. Ya, itu adalah suara ibunya. Dengan perasaan kalut, Keyra mencoba berjalan sambil meraba beberapa bagian sekitarnya kemudian dia dengan tertatih mendekati ibunya.
"Sekarang katakanlah kepada Ibu, di mana Kenny? Bukankah kau bilang kepada Ayah, dan Ibu kalau Kenny pergi ke rumah Alia? Hah? Katakan kepada Ibu di mana saudari kembarmu berada, Keyra!" teriak ibunya.
Keyra tampak terdiam, air matanya pun langsung luruh lantah dengan sempurna. Perasaannya semakin tidak enak, bahkan hatinya terus saja terasa begitu sakit. Sesak, dan sakit itulah yang dirasakan oleh Keyra sekarang.
"Ibu, aku—"
"Kamu telah membunuh Kenny, Keyra! Karena kamu membohongi Ayah, dan Ibu. Kenny tidak sedang bersama dengan Alia, kan? Dia bersama dengan pemuda miskin itu kan?"
"Ibu, apa yang kamu maksud? Aku tidak membunuh Kenny, Bu. Aku sangat menyayanginya, bagaimana bisa—"
"Kalau kamu menyayanginya, seharusnya kamu jangan bertindak seperti ini, Keyra. Apa kamu tak tahu apa yang telah terjadi kepada saudari kembarmu sekarang, hah? Dia … dia tertembak, dan meninggal karena melingungi pemuda miskin itu!"
Deg!
Jantung Keyra nyaris berhenti dengan sempurna, air matanya kembali mengalir. Tidak … ini tidak mungkin, batinnya terus menolak semua yang telah dikatakan oleh ibunya.
"Tidak, Ibu. Ini tidak mungkin, tidak …" Keyra berjalan tanpa arah, sampai dia menabrak nakas yang ada di depannya kemudian dia terjatuh dengan sempurna. Keyra berusaha merangkak, mencari jalan agar dia bisa menemukan keberadaan Kenny di mana pun Kenny berada. "Tidak mungkin, Kenny tidak mungkin mati, Ibu. Dia sudah berjanji kepadaku kalau dia akan pulang sebelum tengah malam, dia sudah berjanji kepadaku untuk membacakan buku cerita baru, dia juga telah berjanji kepadaku akan menunjukkan aku pelangi di danau yang sering dia kunjungi. Dia juga …."
Keyra langsung menangis sekeras mungkin, dia sama sekali tak menyangka semua ini akan terjadi. Sebuah hal yang berada di batas nalarnya, yang tak mungkin untuk dia terima dengan begitu saja.
Lagi, Keyra memeluk dirinya sendiri. Dia ingin bertemu Kenny, dia ingin merengkuh tubuh Kenny, dia ingin memastikan jika Kenny baik-baik saja dan tidak kurang apa pun.
"Mariam, bawa Keyra ke rumah sakit untuk melakukan operasi mata, karena hanya mata milik Kenny yang cocok untuk menggantikan matanya,"
Suara itu seolah seperti perintah yang harus ditaati oleh siapa pun bagi yang mendengarnya, dan Keyra sama sekali tidak mau untuk melakukan itu.
"Tidak, aku tidak mau, Ayah. Aku tidak mau mengganti mataku dengan mata Kenny! Kenny masih hidup! Kenny masih hidup, dan aku tidak mau melakukannya!"
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Keyra, hal tersebut berhasil membuat Maria langsung merengkuh tubuh putrinya. Ya … dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, sekarang. Dia hanya memiliki Keyra, sekarang.
"Jangan menjadi pembangkang seperti saudari kembarmu, Keyra! Lekas ke Rumah Sakit dan laksanakanlah semua perintah yang Ayah berikan kepadamu!"
Keyra hanya bisa menangis tersedu, terlebih setelah kepergian ayahnya. Dia sama sekali tak menyangka jika akan hidup, dan tumbuh di keluarga yang seperti ini. Keluarga yang bahkan tidak memiliki hati, keluarga yang bahkan tidak memiliki rasa sayang satu sama lainnya. Di hari kematian Kenny, yang seharusnya menjadi hari berkabung bagi keluarga kecil itu, malah menjadi hari yang bahkan lebih mengerikan dari pada yang Keyra bayangkan.
"Ibu, bisakah kamu beritahu padaku, siapa yang telah menembak Kenny?" tanya Keyra pada akhirnya.
Mariam tampak terdiam sejenak, isakannya kini seolah terhenti. Lalu, dia mengelus puncak kepala putrinya dengan begitu sayang.
"Ayahmu … ayahmu mengutus orang untuk membunuh pemuda miskin itu,"