Shayna terbiasa melakukan sesuatu seorang diri. Benar-benar seorang diri. Tanpa di dampingi atau dibimbing. Dia belajar sendiri, berusaha sendiri, bahkan menangis pun seorang diri.
Kemandirian itu tumbuh akibat dipaksa oleh keadaan. Belum lagi, dia memiliki ambisi yang sangat besar untuk membanggakan kakeknya.
Dan jika dipikir-pikir lagi, menjadi Shayna di masa lalu rupanya sangatlah melelahkan. Dimana dia dituntut oleh dirinya sendiri untuk sempurna.
Ya, oleh dirinya sendiri.
Jujur saja itu menyakitkan. Shayna kadang iri saat melihat anak-anak lain yang dekat dengan orang tua mereka. Meski sebagian mengatakan orang tua mereka tak sempurna, setidaknya orang tua mereka tidak menelantarkan anaknya begitu saja.
Pernah suatu hari, teman sekelas Shayna berkata seperti ini.
"Kamu beruntung karena diadopsi orang kaya. Walaupun yang kamu dapatkan kakek-kakek, seenggaknya orang kaya."