"Saya terima nikah dan kawinnya Shayna Majendra binti Ardana Majendra dengan mas kawin berupa rumah, mobil, uang senilai seratus empat puluh juta di bayar oleh Kakek!"
Seisi ruangan di sana menganga lebar mendengar ijab qobul kali ini. Pasalnya, Sagara dengan jelas dan tegas memberitahu semuanya bahwa segala mas kawin yang ada dibayar oleh kakeknya.
Tentu hal ini langsung menjadi kontroversi bagi tiga puluh orang yang datang di sana, tidak terkecuali dengan kedua orang tua Sagara.
Sama seperti mereka, Shayna geleng-geleng kepala mendengarnya. Dia yang kini tampil cantik dalam balutan kebaya dan riasan sederhana hanya bisa menunduk malu. Memang dasar suaminya ini, tidak modal sekali. Semua-semua kakeknya yang membayar. Bahkan sampai mahar sekalipun.
"Lo malu-maluin banget sumpah, Saga!" Shayna berbisik.
Sagara menunduk, membalasnya. "Kenapa? Sah-sah aja kok. Belajar agama makannya, jangan sibuk belajar bisnis terus!" Sagara menjitak kepala Shayna, membuat semua orang di sana semakin terkesiap dibuatnya.
Belum sah saja sudah berani main tangan. Memang dasar si Pengacara satu ini.
"Ayo-ayo di ulang. Tidak perlu pakai dibayar oleh kakek, langsung dibayar tunai saja." Kata penghulu.
Sagara kembali mengucapkan qabul nikahnya tepat setelah penghulu selesai mengucap ijab.
"Saya terima nikah dan kawinnya Shayna Majendra binti Ardana Majendra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Sah?"
"Sah!"
"Alhamdulillah."
Resmi sudah Shayna dan Sagara menjadi sepasang suami istri setelah menanti selama puluhan tahun lamanya.
Butuh waktu selama itu untuk mereka akhirnya yakin dengan perjodohan ini. Karena, mau menolak seperti bagaimanapun, Kakek Dome pada akhirnya tidak akan membiarkan mereka berpisah. Lansia berusia tujuh puluh tahun lebih tersebut pastinya akan melakukan segala cara untuk menyatukan mereka.
Dan sebagai cucu yang baik, Sagara dan Shayna memutuskan untuk menuruti permintaan sang kakek. Ya meski pernikahan ini pada akhirnya akan menjadi pernikahan kontrak yang berlaku hanya sampai sisa umur sang kakek. Apabila esok Kakek Dome meninggal, maka mereka akan bercerai.
Di ujung ruangan ini, Kakek Dome yang duduk di kursi roda nya tersenyum senang melihat kedua cucu nya yang sejak dulu dia rawat sedemikian rupa, akhirnya menjadi sepasang suami istri.
Bagi Kakek Dome, hanya Shayna yang pantas untuk Sagara begitupun sebaliknya. Meski keduanya terbilang tidak akur, Kakek Dome yakin mereka akan menjadi sepasang suami istri yang romantis.
"Cucu Papah tuh! Gara-gara Papah manjain dari dulu, nikah aja sampai pakai uang Papah." Di sampingnya, Halwah Najendra, putri kandungnya berbicara, sedikit mencibir.
Kakek Dome terkikik geli, memilih tidak mendengarkannya. "Suatu hari juga dia bakalan sadar kalau dia itu beban. Terus, saat dia sadar, dia bakal mandiri." Kata Kakek Dome.
Halwah menggeleng tak menyangka. "Untung ada Shayna yang mau lanjutin perusahaan. Kalau gak ada, mungkin perusahaan Papah jadi rebutan sana sini."
Baik Halwah maupun suaminya, Gentala tak ada yang tertarik dengan yang namanya perusahaan. Halwah sebagai seorang anak sulung dari sang ayah memilih melanjutkan cita-citanya menjadi Dosen. Sedangkan Gentala juga melakukan hal yang sama, mengejar cita-citanya sebagai seorang pilot. Gentala menolak dua perusahaan sekaligus. Perusahaan Najendra dan perusahaan Majendra.
Untuk adik-adik Halwah sendiri, mereka sama seperti Halwah. Karena semuanya perempuan, alhasil tak ada satupun yang tertarik dengan perusahaan. Mereka memilih untuk membuka bisnisnya sendiri. Ada yang bisnis fashion, make up dan skincare, sampai ke bisnis pakaian dalam.
Sedangkan perusahaan Kakek Dome berjalan di bidang properti. Dan kebetulan, Shayna sangat menyukai hal-hal seperti itu. Sejak dulu, dia selalu tertarik pada hal-hal berbau properti seperti rumah dan apartemen. Entahlah, dia sendiri tidak tahu mengapa.
"Memang tidak sia-sia Papah kamu ini merawat Shayna dari kecil. Sekarang, dia sangat membanggakan." Meski Kakek Dome memuji Shayna terlalu banyak, nyatanya Halwa dan Gentala tidak tersinggung. Karena pada kenyataannya, mereka sudah menganggap Shayna sebagai putri mereka sendiri. Dan tentunya mereka juga sama bangganya pada pencapaian Shayna.
Sibuk membicarakan Shayna, mereka tidak sadar jika yang dibicarakan kini sudah ada di depan mereka.
"Kakek, Om Genta, Tante Halwa." Shayna mencium tangan mereka satu persatu sebagai bentuk kesopanan.
Di mata Halwa, Shayna tampak menawan dengan kebaya berwarna putihnya. Sehari-harinya, Shayna lebih sering mengenakan pakaian yang gelap. Jadi, sekalinya mengenakan pakaian berwarna putih ini, kulitnya jadi terlihat lebih bersih dan wajahnya berseri.
"Ya Allah, cantik banget menantu Mama!" Puji Halwa. Dia menyikut Sagara, menyuruhnya memuji Shayna juga.
"Pinter kamu cari istri, Saga." Lanjut Halwa.
Sagara melirik sang ibu sejenak, "harusnya ngomong itu ke Kakek. 'Kan kakek yang cariin Saga istri." Sindirnya pada sang kakek.
"Astaghfirullah ini bocah ya!" Genta menggeleng kecewa.
Putranya ini benar-benar tidak bisa menghargai sesuatu, bahkan sekalipun itu istrinya. "Mama kamu cuman mau kamu muji Shayna. Susah banget kayaknya. Kamu gak tau aja kalau laki-laki di luaran sana banyak yang ngejar-ngejar Shayna."
Merasa tak terima, Sagara membalas. "So am i. Di luar sana banyak kok yang mau sama Saga."
"Tapi tidak setelah mereka tau kalau kamu pengangguran."
Sagara tercekat mendengarnya. Mulutnya yang terbuka karena hendak membantah, kembali ditutup rapat. "Ah, menjengkelkan sekali terlahir di keluarga ini." Dengusnya kesal.
Shayna jadi tidak tega sendiri. Kadang, orang tua Sagara memang sedikit berlebihan dalam hal membandingkan. Jika Shayna jadi Sagara, mungkin dia sudah marah dan merajuk.
"Udah, Tante… Shayna gak butuh pujian dari Sagara untuk bisa jadi cantik. Tanpa pujian dari Sagara pun Shayna udah cantik kok." Shayna mencoba menengahi keadaan.
"Idih, pede lo." Cibir Sagara yang tak senang.
Oke, Shayna memang tampaknya harus banyak bersabar.
Beberapa menit ngobrol hangat, Shayna tiba-tiba mendapat panggilan dari kantor. Dia harus datang dalam waktu dua jam karena ada urusan. Alhasil, Sagara langsung mengantarkan Shayna ke apartemen yang nantinya akan mereka tinggali bersama selama masa pernikahan mereka.
Sampai di apartemen, Sagara langsung saja melepaskan sepatunya dan melemparnya asal. Persis seperti anak sekolah menengah atas yang baru pulang sekolah.
Melihat tingkah Sagara, Shayna mengusap dadanya. "Lo bisa gak sih kalau naruh sepatu tuh di tempatnya?! Punya kaki 'kan?!" Kesalnya.
Sagara melirik Shayna, bersikap acuh. "Tinggal lo taruh apa susahnya sih?!"
"Tinggal lo taruh apa susahnya sih?!" Shayna membalikkan ucapan Sagara.
Karena tak ada waktu berdebat, Shayna segera masuk ke kamar apartemen dan berganti pakaian. Sewaktu dirinya sudah siap dan sedang mengenakan heels nya, Sagara tiba-tiba bersuara.
"Ay? Pulangnya nitip makan. Gue laper." Ay adalah panggilan Sagara untuk Shayna. Bukan panggilan sayang, tetapi panggilan normal mengingat nama gadis itu adalah ShAYna.
Shayna berdecih, memicingkan mata. "Kalau gak kerja setidaknya jangan beban."
Tak mau kalah, Sagara membalas. "Kalau kerja setidaknya jangan lupain kewajiban."
"Sialan!"