"Ay!"
"Ay, bangun!"
Delapan hari telah berlalu semenjak hari pernikahan mereka. Dan selama delapan hari itu, pagi hari Shayna hanya diisi oleh teriakan Sagara. Teriakan yang sialnya tidak memiliki kepentingan sedikitpun. Paling-paling, pria itu berteriak karena kelaparan, berteriak karena meminta uang, atau paling mentok pria itu minta antar ke suatu tempat dengan alasan malas menyetir.
Sebeban dan tidak berguna itu Sagara bagi Shayna.
Pada hari pernikahan mereka, pada hari dimana Sagara mengucapkan qobulnya, Shayna sempat berpikir dia akan kuat dengan tingkah Sagara mengingat dia sudah hidup dengan Sagara lebih dari sepuluh tahun lamanya.
Tetapi, fakta yang terjadi berbeda dari perkiraannya. Baru delapan hari dan Shayna sudah sakit kepala setiap malam. Sampai-sampai dia harus meminum obat sakit kepala agar bisa tidur.
Koyo bagai makanan sehari-hari untuknya. Di punggung, di pelipis, sampai di kaki. Tidak hanya ibu rumah tangga, Shayna juga yang bekerja mencari uang untuk keluarga kecil ini. Bayangkan selelah apa hidupnya. Sudah begitu, gaya hidup Sagara tidaklah murah. Pria itu tidak mau makan jika bukan dari restoran mahal. Menjijikan sekali, bukan?!
"Ayna!"
"Astaghfirullah, sabarkan hamba Ya Allah!" Shayna membuka mata, mengangkat kedua tangannya untuk berdoa meminta kesabaran. Dia sedang mati-matian menahan amarahnya. Dia sedang berusaha keras tidak menggorok leher Sagara.
Tolong apresiasi perjuangan Shayna dalam hal menahan diri ini.
"Apaan sih Mas Saga?!" dengusnya kesal. Mata dia melotot, seperti akan lepas.
Dan yang membuatnya sakit kepala justru cengengesan di atas ranjang. Sepertinya Sagara puas sekali mengerjai Shayna di jam… lima pagi.
Ya, ini masih jam lima pagi ternyata. Yang artinya, baru sekitar setengah jam sejak Shayna tertidur setelah menjalankan sholat subuh.
"Gak boleh marah-marah sama suami, Ay. Gue aduin ke Kakek tau rasa lo." selalu seperti ini. Sagara pasti mengancamnya setiap kali Shayna mulai menaikkan nada bicaranya. Benar-benar mental anak sekolah yang suka merajuk dan mengadu.
Menghela nafas panjang, Shayna mengulang ucapannya dengan suara yang selembut mungkin. Ya meski tangannya sudah mengepal kuat sampai berotot. "Kenapa Mas Saga?" tanya dia.
Sagara semakin puas mendengarnya. "Besok jam sembilan anterin gue kondangan ya di temen SMA gue?"
Shayna kira suaminya membangunkan dia di pagi buta seperti ini karena ada bom yang akan meledak di sekitarnya. Ternyata, hanya untuk sesuatu yang tidak terlalu penting. Sagara hanya minta diantar ke acara nikahan teman SMA nya. Bukankah menjengkelkan?
"Harus banget ya lo ngomongnya subuh-subuh begini?! Kenapa gak dari semalem atau besok kek pas agak siangan dikit." Kesalnya. Shayna kembali berbaring di ranjang, memejamkan mata namun masih belum terlelap.
"Kalau gue ngomongnya besok pagi, ntar lo bilang terlalu mendadak." Sagara ikut berbaring di samping istrinya, bermain game.
"Ya 'kan bisa tadi malam."
"Tadi malem lo 'kan sibuk ngelembur. Gue gak mau lah ganggu lo." pintar sekali Sagara dalam urusan mencari alasan. Sampai-sampai, Shayna kehabisan akal untuk membalasnya.
"Gak mau ganggu gue atau emang lo yang lupa karena keasikan main game?" di sisa kantuknya, Shayna masih sempat membalas. Ya meski suaranya mulai tidak jelas.
Sagara cengengesan tidak jelas, menandakan tebakan Shayna benar adanya. "Itu lo tau."
"Udah ah, gue mau tidur. Ngantuk tau. Kepala gue akhir-akhir ini sering sakit." Shayna membalik tubuhnya karena tak nyaman tidur menghadap kiri. Dia kini tidur persis menghadap ke arah Sagara yang sedang duduk nyaman.
Merasa ingin berbaik hati, Sagara menawarkan sesuatu. "Mau gue pijet kepalanya?"
Manik amber Shayna yang semula tertutup seketika terbuka lebar. Tumben sekali Sagara menawarkan sesuatu yang benar. "Kok kayaknya gak meyakinkan ya? Jangan-jangan lo ada niat jahat sama gue?! Lo diem-diem mau ngeremukin kepala gue 'kan?"
Shayna ini, selalu saja menuduh Sagara yang tidak-tidak. Saat Sagara berbuat negative, Shayna akan kesal dan menggerutu. Giliran Sagara berniat baik, Shayna justru menuduhnya macam-macam.
"CK! Ya udah kalau gak mau. Gue juga gak maksa. Lagian di sini konteksnya lo yang butuh gue, bukan sebaliknya." Kata Sagara, menyombongkan diri seolah dirinya sangat dibutuhkan.
Shayna yang kepalang sakit mau tidak mau mengiyakan. Besok dia harus mengantar Sagara. Yang artinya dia akan menyetir. Jadi, mau tidak mau Shayna harus fresh jika tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk.
Alhasil, dengan sangat terpaksa, Shayna mengiyakan Sagara. "Ya udah iya. Tapi awas aja ya kalau sampai lo macem-macem, gue bakal ngadu ke Kakek Dome!"
"Iya ah! Jadi cewek kok tukang ngadu. Lagian kalau misalkan gue ada niatan buat bunuh lo, udah gue lakuin sejak lama kali."
"Ya bisa aja lo emang ada niatan mau bunuh gue tapi nanti setelah Kakek Dome gak ada?" Shayna asal menebak.
Seketika, Sagara bungkam tanpa suara. Pria itu mengulurkan tangannya, memijat kepala Shayna. Meski pijatannya tidak seenak itu, setidaknya bisa membuat Shayna lebih rileks.
Saat memastikan Shayna telah tertidur lelap, Sagara berujar pelan. "Tidur yang nyenyak sebelum gue buat lo tidur selamanya." Ujarnya sembari menyeringai.
Ya, Sagara menyeringai sinis, menunjukkan raut wajah iblis miliknya.
***
***
"Kok lo gak dandan sih?! Mana cuman pakai daster pula!" setengah jam lagi acara akan dimulai. Dan Shayna kesiangan. Sudah kesiangan, gadis itu masih tak kunjung siap, membuat Sagara murka.
Disisi lain, Sagara tidak tahu jika sebenarnya Shayna tidak mengerti bahwa Sagara mengajaknya ke acara kondangan. Bukan hanya sekedar mengantarnya. Ucapan Sagara tadi subuh sangat ambigu bagi Shayna. Dan Shayna menyimpulkan bahwa suaminya minta di antar bukan ditemani.
"Lah? Ngapain gue dandan. 'kan gue cuman nganter lo doang." Katanya.
Sagara tepuk jidat mendengarnya. Dia menuntun Shayna menuju kamar dan menyuruhnya untuk duduk. "Gue minta ditemenin lo kondangan, bukan cuman minta anter."
Sekarang, Shayna mengerti. "Ngomong dong!"
"Itu tadi gue ngomong." Sagara dengan entengnya membela diri.
"Lo tadi subuh ngomongnya cuman minta anter, Sagara Najendra!" Shayna tampak dongkol.
"Anter kondangan yang gue maksud itu… udahlah, jangan malah rebut. Bentar, gue ambilin lo baju." Sagara berlalu dengan hati menahan kesal. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan sebuah dress warna cream milik Shayna.
"Pake ini aja!" katanya sembari melempar dress tersebut.
Shayna menerimanya, menatap Sagara dalam. "Minggir dong, gue mau siap-siap!"
"Jangan kelamaan!" Sagara memberi peringatan. Pasalnya, Shayna tipe perempuan yang cukup lama dalam hal berdandan. Padahal, make up Shayna tidak setebal itu. Entah ritual apa yang gadis itu lakukan sampai membuatnya lama.
"Make up di mobil aja." Ujar Sagara.
Shayna menyipitkan mata, tertawa sarkas. "Make up sambil nyetir maksud lo?!"
"Gue yang nyetir!" tegas Sagara.
Shayna terdiam membeku, tertawa untuk yang kedua kalinya. "Sejak kapan lo bisa nyetir mobil?!"
Ya, Sagara tidak bisa menyetir mobil. Selama ini, dia kemana-mana mengenakan motor kesayangannya. Dan tiap akan pergi jauh yang membutuhkan mobil, Sagara selalu minta antar Shayna.
Sagara : Definisi beban yang sesungguhnya.