Luna akhirnya memutuskan untuk tetap naik bus itu, meskipun memang sedikit terlambat menyadari kalau dia pulang di jam-jam ini, neneknya akan curiga kalau dia tidak bekerja. Dan Luna tidak mau neneknya sedih kalau dia sudah dipecat dari pekerjaan paruh waktunya. Masalahnya, ini sudah ke sekian kalinya dia pecat dari sebuah pekerjaan. Masa mudanya sudah mengalami berpuluh-puluh kali dipecat dan ditolak lamaran pekerjaannya.
Sambil melamun, Luna menyandarkan kepalanya di jendela bus. Hatinya merasa kalut dengan keadaannya sekarang. Dia dipecat lagi. Dan sekarang dia murni kembali lagi menjadi seorang pengangguran. Entah bagaimana caranya dia menjelaskannya pada neneknya. Padahal Luna sangat mengharapkan dari pekerjaan paruh waktunya dia bisa sedikit membantu neneknya mencari uang. Karena dia tidak mau neneknya bekerja sendiri menghidupi mereka berdua. Usianya sudah senja, namun neneknya masih bekerja di sebuah tempat laundry. Luna tidak tega. Jadi dia berusaha untuk mencari pekerjaan agar bisa bertahan hidup dengan neneknya.
Luna adalah seorang gadis yang baru menginjak usia 21 tahun. Dia tinggal berdua dengan neneknya di sebuah rumah sewaan. Luna dibesarkan seorang diri oleh neneknya yang bernama Rima. Sementara dari Luna dibesarkan oleh neneknya sejak usia lima tahun. Dan Luna tidak pernah mengetahui orang tuanya secara jelas. Dari sejak kecil Luna sering menanyakan keberadaan kedua orangtuanya. Neneknya itu tiadak pernah menceritakan dan memberi tahu. Dia tidak mengetahui wajah ayah dan ibunya. Sebenarnya Luna mempunyai foto ibunya. Itu pun hanya selembar foto saat ibunya sedang remaja. Praktis, Luna tidak tahu dengan jelas siapa kedua orangtuanya itu. Dan setiap kali dia ingin menanyakan hal itu pada neneknya. Neneknya akan marah bahkan memukuli dirinya sambil berkata, "Tidak usah mencari dan menanyakan orang yang sudah tidak ada."
Dari situlah Luna menganggap ucapan neneknya kalau kedua orangtuanya sudah meninggal. Jadi Luna pun tidak menanyakan hal itu lagi pada neneknya. Meskipun neneknya cukup keras padanya, namun neneknya itu adalah orang yang menyayanginya. Kalau dia tidak menyayanginya, mungkin neneknya sudah membuang dan menelantarkannya sejak kecil. Luna dibesarkan dan disekolahkan oleh neneknya sampai SMA. Lulus SMA, memang Luna sudah berniat untuk tidak melanjutkan pendidikannya. Karena dia ingin mencari pekerjaan sampai dia mempunyai uang untuk membiayai kuliahnya. Dia tidak mau membebani neneknya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan itu.
Luna mengusap bulir bening yang tak sadar sudah jatuh dari sudut matanya. Dia teringat dengan kondisi neneknya yang sudah mulai renta dan sering mengeluh sakit. Pekerjaannya memang tidak mudah dan untuk usianya, seharusnya sudah jangan dipaksakan lagi untuk bekerja. Mengingat dia baru saja dipecat membuat Luna merasa menjadi cucu yang tak berguna.
"Sebentar lagi kita akan sampai di halte terakhir," teriak supir bus mengingatkan para penumpangnya yang ingin turun di pemberhentian selanjutnya. Luna kemudian bersiap-siap untuk turun dari bus. Dan setelah bus berhenti, dia pun segera turun dari bus.
Kemudian sambil menekan luka lecetnya Luna berjalan menuju sebuah gang, melangkah dengan sedikit ragu, karena dia masih belum menemukan alasan pulang cepat.
"Luna!"
Sebuah suara memanggil dari arah belakang. Dan dia pun mengenali siapa yang sudah memanggilnya itu.
"Oh Nyonya, ada apa?" tanya Luna pada seorang perempuan setengah baya yang dia kenal sebagai bos tempat neneknya bekerja.
"Kau dari mana saja, aku coba meneleponmu dari tadi?" seru Nyonya itu sambil terengah-engah karena setengah berlari menyusulnya.
Luna kemudian memeriksa ponsel di tas pinggangnya. Dan ternyata ponsel itu sudah mati. Mungkin sejak dia pulang dari pengiriman naas itu, baterei ponselnya sudah kosong.
"Ah, baterai ponselku habis Nyonya, ada apa?" tanya Luna pada Nyonya itu.
"Nenekmu tadi pingsan, dan sekarang dia ada di rumah sakit," ucap Nyonya itu.
"A-apa, Nenekku di rumah sakit!" pekik Luna panik.
"Ikut aku ke rumah sakit!"
Luna pun kemudian mengikuti Nyonya itu menuju rumah sakit. Hatinya sungguh tidak tenang, karena baru kali ini neneknya sampai pingsan di tempat kerja. Selama perjalanan Luna tak berhenti berdoa agar keadaan neneknya baik-baik saja. Tak terasa air matanya jatuh. Dia merasa tidak berguna, karena dia belum bisa membantu neneknya.
"Luna, lebih baik kau bujuk nenekmu untuk tidak terus bekerja, kau tahu sendiri kan, usianya sudah tidak muda lagi. Dia mestinya menikmati masa tuanya dengan tenang!" ucap Nyonya pemilik sauna.
"Iya Nyonya, sebenarnya saya sudah membujuk nenek, tapi nenek tidak bisa dibujuk dan diberi tahu," jawab Luna.
"Kasihan di usianya yang sudah tua, dia harus mengurus seorang cucu. Sungguh orangtuamu itu keterlaluan Luna!" ucap Nyonya itu.
"Apa kau tahu orangtuaku?" tanya Luna sambil menatap wajah Nyonya itu dengan tatapan penasaran.
"Aku tidak tahu siapa orangtuamu, tapi nenekmu pernah mengatakan padaku, kalau kau ditinggalkan begitu saja oleh mereka. Dan mereka pergi entah ke mana," jawab Nyonya itu dengan emosi tinggi.
"Nyonya, terimakasih sudah membantu Nenekku selama ini, dan saya juga berharap Nenek diberhentikan saja oleh Nyonya, mungkin itu lebih baik," jawab Luna meminta pada Nyonya itu agar bisa memberhentikan pekerjaan neneknya. Supaya neneknya tidak harus pergi bekerja lagi.
"Tetap saja aku tidak tega kalau sampai memecat nenekmu," jawab Nyonya itu.
Luna menundukkan kepalanya. Apa yang harus dia lakukan untuk mencegah neneknya agar berhenti bekerja. Karena mungkin neneknya masih berusaha untuk menghidupinya, karena jika dia tidak bekerja tidak ada pemasukan untuk keluarganya.
Sampai di rumah sakit, Nyonya itu kemudian mengantar Luna sampai depan.
"Luna, aku sebenarnya masih banyak pekerjaan. Jadi tolong urus nenekmu sampai dia pulang dari rumah sakit. Dan ini gunakan untuk membeli obat nenekmu," kata Nyonya itu memberikan sejumlah uang padaku.
"Ny-Nyoya kau tidak usah memberikan uang," kata Luna menolak karena malu.
"Terimalah Luna, aku buru-buru!"
"Ba-baik Nyonya, nanti akan saya ganti uang Nyonya," jawab Luna dengan suara tertahan karena menahan kesedihan.
Setelah Nyonya itu pergi, kemudian Luna berjalan masuk ke sebuah ruangan rawat. Dan di sana terdapat beberapa pasien juga yang sedang dirawat. Luna kemudian menemukan neneknya sedang terbaring tidur. Luna pun menghampirinya dengan perasaan yang sedih. Ditatapnya wajah neneknya yang sedang tertidur. Luna memegang tangan neneknya yang sudah tertanam jarum infusan.
Air matanya tumpah melihat keadaan neneknya itu. Dia adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki. Dia tidak tahu rupa kedua orangtuanya. Namun Luna bisa yakin kalau ibunya pasti cantik. Karena dia bisa melihat wajah neneknya yang menyimpan jejak kecantikan di masa mudanya. Namun untuk wajah ayahnya dia tidak pernah tahu seperti apa rupanya. Neneknya tidak pernah menunjukkan fotonya.
"Luna!" suara nenek terdengar.
Luna langsung mengangkat kepalanya yang dia rebahkan di samping tubuh neneknya.
"Nenek, kau sudah bangun. Bagaimana keadaan Nenek! Mana yang sakit?" kata Luna sambil buru-buru menghapus air matanya.
"Apa kau sedang menangis?" tanya nenek itu melihat kedua mata Luna yang sembab.
"Apa nenek baik-baik saja, aku belum menemui dokter untuk menanyakan keadaan nenek yang sebenarnya," sambung Luna sambil menggapai tangan nenek yang hendak menjangkau wajah Luna di depannya.
"Aku baik-baik saja Sayang, Nenek hanya sedikit pusing tadi saat bekerja," jawab neneknya sambil mengusap wajah cantik Luna dengan tangan keriputnya.
"Nenek, berhentilah bekerja. Biar Luna saja yang bekerja!" ucap Luna sambil memegang tangan neneknya.
Neneknya tidak menjawab. Hanya tatapan sedih dengan penuh rasa luka yang dia berikan pada Luna. Luna semakin tidak tega melihatnya.
"Luna, sepertinya Nenek sudah tidak punya waktu yang banyak untuk hidup menemanimu," kata neneknya dengan suara berat.