Chereads / Suami Anti Romantis / Chapter 7 - 7. Mirip Samuel Nathan

Chapter 7 - 7. Mirip Samuel Nathan

Sudah seminggu lebih setelah pemakaman neneknya. Luna hampir tidak pernah keluar dari rumahnya. Semangat dan gairah hidupnya seakan pergi menghilang entah kemana.

"Luna, ayo keluar kamarmu dulu. Aku bawakan nasi goreng!" teriak Wilma teman dekatnya. Hampir setiap hari dia datang untuk sekedar memeriksa keadaan Luna.

"Kau tidak mau makan! Aku khusus bawakan nasi goreng di tempat langganan kita," sambung Wilma memancing Luna agar keluar. Gadis itu sangat mengkhawatirkan keadaan Luna yang hampir tidak makan selama beberapa hari ini. 

"Aku tidak mau makan," sahut Luna. 

Wilma kemudian masuk ke dalam kamar Luna yang tidak dikunci itu.

"Apa kamu mau mati kelaparan dan menyusul nenekmu?" tanya Wilma dengan nada yang tajam.

Luna mendongakkan kepalanya saat temannya itu berkata kasar seperti itu. Posisinya yang sedang meringkuk dengan dengan rambut yang berantakan.

"Apa kamu senang jika aku mati muda?" sahut Luna kesal. Punya teman bukankah seharusnya saling mendukung. Ini malah sebaliknya.

"Kalau aku mau kamu mati muda. Mungkin aku tidak akan bersusah-susah mengantre nasi goreng ini dan mengantarkannya ke sini," dengkus Wilma sambil meletakkan bungkusan nasi goreng di atas nakas. Wajahnya cemberut karena kesal.

Luna menyeringai dengan tatapan sedih. Perkataan Wilma padanya mungkin karena kesal karena beberapa hari ini dia murung dan tidak mau makan. Luna merubah posisinya. Dia bangun dan duduk di tepi ranjang.

"Wil, kenapa aku harus ditinggal nenek di saat aku menjadi pengangguran. Ini benar-benar tidak adil. Di saat aku tidak punya uang, aku tidak bisa mengadakan pemakaman yang layak untuk nenekku," isak Luna. Matanya mulai berkaca-kaca.

Wilma menjadi iba melihatnya. Segera dia memeluk Luna. Dia tahu, kalau saat ini sahabatnya itu butuh sandaran. 

"Aku merasa menjadi cucu yang tidak berguna," lirih Luna.

"Tidak Luna, kau sudah melakukan hal yang baik untuk nenek. Selama ini, kau sudah menjaga nenek mu dengan baik. Kau bahkan menolak tawaran kerja di luar kota karena tidak ingin meninggalkan nenek. Kalau kau tidak sayang, mungkin kau sudah meninggalkannya dari dulu."

"Tetapi, aku gagal membahagiakannya. Aku belum menjadi orang yang sukses yang membuatnya bangga," tangis Luna dengan penuh penyesalan.

"Kau masih bisa berusaha untuk membuatnya bangga Luna. Kau masih hidup dan masih punya banyak waktu untuk mewujudkannya. Kecuali kau memang punya niat mati muda," timpal Wilma.

"Brengsek kau!" umpat Luna. Dia melepaskan pelukan Wilma. 

Sambil terkekeh, Wilma mengambil bungkusan nasi goreng itu dan membukanya. Meskipun, dia berkata kasar seperti itu pada Luna, sebenarnya dia sangat menyayangi Luna.

"Apa perlu aku menyuapi kamu?" tanya Wilma.

Luna tersenyum miring. Dia sangat bersyukur karena masih memiliki orang yang menemaninya.

"Baiklah, aku akan makan sendiri!" sahut Luna manyun. Demi tidak membuat temannya tidak kecewa, akhirnya Luna menyantap nasi goreng yang dibawakan Wilma.

Wilma terlihat puas melihat Luna yang akhirnya makan. Menunggu Luna makan, tanpa diminta Wilma menggulung lengan kemejanya sampai sikut. Melihat kondisi kamar Luna yang seperti kapal pecah. Jiwa babunya terpanggil. Dia pun segera merapikannya.

"Padahal, kemarin malam aku sudah membereskannya. Kenapa kamar kamu jadi kayak kapal pecah lagi?" tanya Wilma dengan geram. Dia melihat tisu -tisu bekas ingus dan airmata berserakan di lantai.

Luna tidak mempedulikan ucapan Wilma yang terus mengomel karena kondisi kamarnya. Tetapi, meskipun dia mengoceh. Dia masih saja merapihkan kamarnya. Menyapu lantainya dan memasukkan baju-baju kotor ke dalam keranjang.

Luna sendiri hanya menatap sahabat sejatinya itu dengan sendu. Sampai dengan sekarang, Wilma banyak sekali membantunya. Dia tidak pernah meninggalkannya di saat dia terpuruk seperti ini. Selain dia anggap sahabat, Luna juga merasakan kehadiran seorang kakak dan ibu dalam sosok Wilma.

"Wil, bagaimana menurut kamu. Apakah aku ini masih punya harapan dan masa depan?" tanya Luna sesaat setelah Wilma selesai bebenah. Dia merebahkan dirinya di atas karpet lantai di kamarnya.

"Selama kamu masih muda dan berbadan sehat. Tentu saja kamu masih punya harapan dengan masa depan yang cerah."

"Tapi, aku seorang pengangguran. Sampai sekarang saja aku makan dari pemberian kamu. Padahal kamu sendiri saja sudah susah," imbuh Luna dengan perasaan bersalah.

"Aiish, kenapa dengan kamu. Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan bantu kamu," sahut Wilma.

"Terima kasih!" Luna memberi Wilma tatapan penuh berkaca-kaca.

"Aku akan coba tanya Ayah, mungkin dia punya lowongan di kantornya," ucap Wilma.

"Thanks ya Wilma. Kamu memang benar-benar sahabatku satu-satunya."

"Oke, nanti kalau ada informasi lowongan. Aku akan kabari," sambung Wilma.

"Seandainya aku punya orang tua yang bertanggung jawab. Kehidupanku mungkin tidak akan seperti ini," keluh Luna.

Wilma menatap Luna dengan tatapan kasihan. Sahabatnya itu memang tidak pernah merasakan kasih sayang orangtuanya. Sejak kecil dia memang hanya diurus dan dibesarkan oleh neneknya sendirian.

"Ngomong-ngomong masalah itu, Bukankah kau pernah bilang kalau ada permintaan terakhir nenekmu sebelum meninggal?" tanya Wilma.

Luna hanya menarik napas panjang dan menatap ke depan dengan tatapan kosong. Rasanya permintaan neneknya itu mustahil dia kabulkan.

"Luna, kenapa kamu tidak coba mencari Ayahmu. Nenekmu bilang ayahmu itu adalah Samuel Nathan."

"Nenekku mungkin hanya membual. Mana mungkin aku ini putrinya Samuel Nathan."

"Kenapa tidak kau coba saja dulu, mungkin selama ini sebenarnya ayahmu mencarimu kemana-mana," sahut Wilma memberi dukungan.

"Tapi bagaimana kalau sebaliknya, mungkin aku ini hanya seorang anak yang dibuang. Orang tuaku memang tidak menginginkan aku terlahir ke dunia," imbuh Luna tidak berharap.

"Jadi, kamu akan mengabaikan  pesan terakhir nenekmu?" tanya Wilma.

Luna mendesah karena buat bingung. Di satu sisi, dia sangat ingin mencari ayahnya, tapi di sisi lain dia tidak ingin kalau dirinya terluka kalau ternyata dia memang bukan putri yang diinginkan oleh ayahnya.

"Tapi ada baiknya, kau mencoba." Wilma terus memberinya motivasi.

"Tapi Wil, kau tahu sendiri kalau Samuel Nathan itu bukan orang yang sembarangan," teguh Luna masih sangat ragu.

Wilma kemudian menarik tubuh Luna agar berhadapan dengannya. Dia menyibakkan rambut-rambut yang menutupi wajahnya.

"Mau apa kamu. Aku masih normal tahu!" dengus Luna yang mengira kalau Wilma akan berbuat sesuatu padanya.

"Ish, kamu pikir aku mau apa. Aku cuma mau memeriksa," timpal Wilma sambil menatap wajah Luna dengan seksama.

Wajah yang sangat cantik, meskipun tanpa make up. Alisnya yang rapi sangat menawan dengan kedua mata Luna yang memiliki bola mata berwarna coklat dengan bulu mata yang lebat dan lentik. Hidungnya mancung sangat selaras dengan bibir Luna yang tebal berwarna peach. Meskipun tanpa make up, wajah Luna memang sudah sangat cantik. 

"Kalau dilihat-lihat kau memang mirip dengan Samuel Nathan," ucap Wilma dengan mengangkat sudut bibir kirinya.

"Mirip darimana, jangan asal bicara!" sahut Luna sambil menepis kedua tangan Wilma yang sedang menyentuh pipinya.

"Kau tidak akan percaya. Mungkin saja memang kamu adalah anak biologisnya Samuel Nathan. Dia itu pria yang tampan, ibu mu juga pasti cantik."

Ucapan Wilma tentu saja mempengaruhi pikiran Luna saat ini. Mungkin, yang dikatakan Wilma benar. Lalu, bagaimana caranya dia bisa bertemu dengan Samuel Nathan dan mengatakan kalau dia adalah putrinya.