Chereads / Balas Dendam Karena Cinta / Chapter 7 - 7. Malaikat Berambut Putih

Chapter 7 - 7. Malaikat Berambut Putih

Kakinya seperti tangkai padi ketika menapak tepian lantai atap rumah sakit. Telapak tangannya sedingin es kutub selatan saat meremas pagar besi pengaman. Angin sepoi hangay sore menerpa kulit wajahnya dan mengajak rambut hitam panjang selembut benang hitam berdansa.

Seperti layang - layang putuh kehidupan Yeona saat ini, setelah Kang Deokman, ibu kandungnya pergi ke surga sekarang Kang Yui menyusul. Anak gadis yang masa depannya masih panjang itu pergi .... Buat apa hidup di dunia kejam? Dahulu ada cinta Sujun membuatnya bertahan, cinta itu sirna. Setidaknya jika mati, Yeona bisa bertemu Yui dan Ibu.

Tiba - tiba batu giok hijau susu berukuran jempol orang dewasa menggelinding membentur kakinya. Giok indah begitu menawan dan membuatnya urung melompat.

"Nak, tolong bawa giok itu kemari."

Nenek tua melambai dari bangku panjang. Kurus, berambut putih woll, dia tersenyum hangat. Dari pakaian piyama putih garis - garis biru di balik selimut tebal nenek, Yeona yakin beliau pasien rumah sakit.

"Kok malah melamun. Ayo, bawa kemari, gadis cantik."

Yeona memungut lalu mengembalikan batu giok.

"Oh Tuhan andai encokku tidak kambuh, pasti aku ambil sendiri. Terima kasih gadis cantik."

"Permisi." Yeona hendak pergi, tetapi nenek menahan tangannya.

"Mau ke mana? Duduk sini, temani nenek." Dia menepuk bangku panjang, memasang wajah penuh harap.

"Aku sibuk." Mau bunuh diri.

"Sibuk? Aigo, kasihanilah aku. Mungkin waktuku tinggal sebentar di dunia."

Yeona mendengus panjang, ingin bunuh diri, malah terdampar bersama nenek tua. Ya sudah lah. Andai nekat bunuh dirinpun, kasihan nenek. Jika nenek melihat Yeona bunuh diri, nanti dia jantungan dan bisa mati di tempat.

"Namamu siapa, Nak?" tanya nenek.

"Yeona, Kang Yeona."

"Kang Yeona, mau menemani nenek?"

Lah, sekarang apa belum menemani? Yeona menghela nafas sambil mengangguk.

"Jangan ketus, nanti cantikmu hilang." Nenek tertawa khas tawa penyihir tua.

Menanggapi sindiran nenek, Yeona tersenyum lembut. Biarlah dia meladeni si tua, toh berbuat baik pada senior merupakan tindakan terpuji.

Selama beberapa menit nenek bertanya hobi, membahas boy band, juga resep makanan Korea. Siapa sangka beliau mampu membuat Yeona lupa sejenak akan niat bunuh diri yang tadi mendominasi.

"Kamu mengingatkanku pada masa mudaku."

"Memang masa muda nenek seperti apa?"

Belum sempat menjawab, Ara menghampiri mereka dari belakang. Angin berembus sepoi bermain dengan rambutnya, hingga dokter muda itu menyibak rambut ke belakang. "Di sini kau rupanya. Ayo kembali ke kamar, minum obat."

Yeona bangkit sedikit membungkuk pada nenek. "Aku pamit, Nek."

"Besok kita ngobrol lagi, ya."

Yeona mengangguk lalu pergi bersama Ara menuju kamar President Suit. Sekarang dia menempati kamar itu supaya terhindar dari masalah.

Pertemuan dengan nenek membuat niat bunuh diri Yeona terkikis dan dia penasaran siapa nenek itu.

Waktu berjalan dengan cepat. Sore kembali tiba.

Yeona pergi ke lantai atap untuk menemui nenek, tapi nenek seperti ditelan bumi. Esoknya di jam yang sama Yeona kembali dibuat kecewa. Lima hari berturut - turut dia datang ke lantai atap hanya bertemu bangku kosong.

Pada hari ke enam, barulah Yeona bertemu nenek. Nenek ramah menyambut dengan senyum hangat kas tua renta.

"Aigo, akhirnya datang juga. Nak, duduk sini temani Nenek menikmati bintang kejora. Ayo cepat, kau masih muda tapi gerakanmu seperti wanita tua!"

Nenek tidak tahu diri. Padahal Yeona mencarinya selama lima hari lebih, bukannya minta maaf malah menghina.

Mereka menikmati terang satu bintang di langit jingga. Bintang berani muncul sendiri tanpa ditemani teman - temannya.

"Bintang yang sama seperti enam puluh tahun yang lalu."

"Iya Nek. Bintang yang tidak pernah berubah."

Nenek terkekeh. "Aigo, andai manusia seperti bintang, pasti enak."

Yeona setuju. Andai Sujun seperti bintang, tidak pernah berubah.

"Hei, apa kamu dengar penghuni kamar president suit gila?"

Rupanya Yeona cukup terkenal. Dia menahan tawa. "Memangnya kenapa, Nek?"

"Kasihan. Dia gila karena anaknya tewas dalam kecelakaan."

Jantung Yeona naik turun. Nenek tidak tahu apa - apa, tidak pantas kalau Yeona marah karena hinaan tersebut. "Siapapun pasti sedih jika kehilangan bayi, Nek."

Nenek menghela nafas panjang, berdecak menggeleng sambil menepuk paha kurus Yeona. "Baru kehilangan anak saja, sudah gila. Lemah."

Nenek membuat Yeona geram hingga giginya bergemeletuk, tapi dia berusaha meredam emosi. Nenek tidak tahu jika penghuni kamar itu berada di sampingnya.

"Dulu aku juga kehilangan bayi. Deritaku lebih berat daripada punya dia."

Oh, sekarang nenek mengajak bermain derita vs derita? "Bagaimana bisa derita nenek lebih berat?" Mungkin si tua ini dibuang keluarga karena menyebalkan?

"Mau tahu?"

Yeona mengangguk.

"Dulu bayiku tewas karena kecelakaan. Sialnya, aku tidak bisa mengandung lagi."

Kilau emas matahari sore menerpa wajah nenek. Air matanya mengalir membasahi pipi. Beliau tetap tersenyum lembut walau menahan sakit mengingat memori lawas.

Yeona iba padanya. Nenek sama seperti dirinya, kehilangan anak. Bahkan lebih dramatis. Yeona bisa punya anak lagi kapan pun dia mau. Sementara nenek?

"Kenapa tidak bisa mengandung lagi?" tanya Yeona.

"Ketika melahirkan pinggulku mengalami peradangan, tidak bisa mencetak ovum."

"Oh Tuhan, maaf Nek."

Nenek menghela nafas panjang penuh rasa lelah. "Kala itu aku ingin bunuh diri karena keluarga suamiku memaksa kami bercerai. Bagi mereka keturunan adalah segalanya. Aku sadar, hidup cuma sekali, kenapa buru - buru pergi?"

Yeona merasa kerdil di hadapan nenek. Dia mau bunuh diri lantaran kehilangan Sujun dan Yui. Sementara nenek dilanda derita bertubi-tubi tetap berjuang hidup sampai tua.

Tepukan Nenek pada punggung tangan membuat Yeona menoleh pada beliau. Senyum bibir keriput tua itu memancing senyum Yeona timbul.

"Nak, jangan menjadi seperti penghuni kamar president suit."

"Kenapa, Nek?"

"Selain lemah, dia gila. Aku yakin dia bodoh. Hidup enak, kok mau bunuh diri. Lah yang tua saja tidak ingin cepat mati."

Yeona tertawa kecil, mengangguk. "Iya, Nek. Bodoh, ya, dia."

Nenek dan Yeona menghabiskan waktu bersama, menikmati bintang di langit yang semakin gelap hingga Ara menjemput Yeona.

Yeona dan Ara pamit pada nenek, meninggalkan beliau yang masih betah duduk di sana.

Nenek membayangkan jika anak gadisnya masih ada, mungkin sekarang dia sudah mempunyai cucu seumuran Yeona.

Tidak berselang lama, Ran Gi duduk di sebelah nenek menggantikan Yeona. Dia tersenyum kecil memandang bintang di langit.

"Terima kasih Nenek Gao, membuat dia sadar."

Nenek mengibas tangan seakan sudah biasa menerima pujian. "Siapa gadis bernama Yeona tadi?"

"Putri Han So Jong."

Seketika Nenek menoleh memandang dokter. Raut wajahnya menjadi serius hingga kerut di kening bertambah banyak. "Han So Jong anak Han Yun?"

Ran Gi mengangguk lalu tertawa. "Keturunan pria yang pernah menjadi suamimu."

"Katakan yang sebenarnya. Ada apa dengan Yeona."

Ran Gi memangku satu kaki. "Yang kutahu dari Ara, ketika dia hamil, Tuan Han membuangnya karena tradisi melarang anak gadis hamil di luar nikah. Lalu dia kehilangan anaknya."

Nenek tertawa keras seperti kesurupan. "Mereka tidak pernah berubah, selalu bersembunyi dalam tradisi. Baiklah! Ini akan menjadi drama yang hebat."

Nenek bangkit. Siapa sangka dia bisa berdiri tegap seperti wanita berusia tiga puluhan.

"Nek, encokmu bagaimana?"

"Diamlah …." Dia tertawa lepas sambil melangkah santai. "Siapa sangka Tuhan memberiku hiburan di umur tua?"

*

Sementara itu di ruang inap, Ara dan seorang suster membantu Yeona meminum pil.

"Kalian bicara apa tadi, sepertinya seru," selidik Ara sambil menyiapkan makan malam Yeona.

"Masa lalunya. Hidupnya berat, tapi mampu hidup penuh semangat. Siapa nama Nenek itu?"

Ara mendorong pelan kening Yeona. "Kenapa tidak kamu tanya langsung?"

Yeona tersenyum lanjut makan. "Tolong jangan bilang nenek kalau aku penghuni kamar president suit."

"Siap."

Akhirnya Yeona kembali seperti Yeona yang Ara kenal. Ara bernapas lega. Dia bisa fokus bekerja.

Setelah Yeona terlelap, Ara keluar dari kamar inap. Senyumnya memudar ketika nenek Gao menghampiri sambil tersenyum penuh misteri.

"Bisa kita bicara sebentar, Nak?"

****