Suara sendok dan garpu mendominasi ketika mereka makan bersama. Suasana di meja makan mencekam tanpa ada satupun dari keluarga So bicara, biasanya mereka mengobrol ringan membahas banyak hal. Ada apa ini? Perasaan Sujun tidak enak.
Terlebih ketika ayah makan dengan pelan dan berkali - kali mendesah panjang, seperti ada yang mengganjal di dirinya.
Sujun memberanikan diri memulai obrolan di meja makan. "Ayah, dapat salam dari manajer utama KBSI."
Ayah tersadar dari lamunannya lalu menjawab sambil mengusap bibir memakai serbet makan. "Oh? Terima kasih. Sujun temui ayah di ruang baca, cepat." Lalu ayah bangkit meninggalkan meja makan pergi ke lantai dua.
Sujun mengangguk lalu menghela nafas panjang. Benar dugaannya, pasti terjadi sesuatu. Dia mencondongkan badan ke depan, berbisik kepada Ibu. "Ibu, apa ayah marah?"
"Marah? Ibu baru sadar kalau ayahmu marah. Kenapa? Apa kamu berbuat salah?"
Sujun berpikir sejenak lalu pundaknya naik turun, diikuti gelengan kepala. "Perasaan tidak, tapi ayah makannya sedikit, terus menyuruhku menemuinya di ruang baca."
"Sudahlah, jangan tegang. Paling ayah ingin membahas masalah Moonlight Entertainment. Kamu tahu, perusahaan itu spesial baginya dan sebentar lagi kamu akan mengambil alih, tentu dia cemas. Sudah sana, temui ayahmu sebelum dia benar - benar marah."
"Ibu benar." Sujun mengambil napas dalam - dalam lalu beranjak menemui ayah di ruang baca. sesekali dia menoleh kepada ibunya yang mmeberi support dengan memamerkan jempol.
Sujun mengetuk pintu ruang baca, setelah mendapat izin, dia masuk ke sana.
Semerbak aroma buku tua menyanbutnya ketika melangkah di ruang yang dipenuhi rak bersii banyak buku. Dia berdiri di atas karpet, sedikit membungkuk memberi hormat pada ayah yang menduduki sofa di belakang meja baca.
"Ada apa ayah memanggiku?"
Ayah mengangguk ke arah sofa kosong sambil berkata, "Buat dirimu nyaman di sana."
Sujun mengendurkan dasi dan kerah kemejanya sambil duduk di sana.
Ayah bertanya dengan santai, "Bagaimana pekerjaanmu di stasiun TV KBSI?"
"Semua lancar ayah, para senior di sana mengajariku banyak hal. Ada apa ayah, sepertinya serius sampai mengundangku ke sini?"
Ayah menutup buku lalu menaruhnya ke meja. Dia membuka kaca mata bacanya lalu memajukan sofa mendekati meja. Sepertinya dia bersiap untuk berdiskusi.
"Yeona gadis baik, tapi kamu harus menjaga jarak darinya. Jangan membangun hubungan tidak perlu, paham?"
Sujun terhenyak oleh perkataan ayah. "Kami bersahabat, tidak lebih."
"Lalu kenapa kamu membeli rumah untuknya?"
Kerongkongan Sujun kering. "Ayah tahu dari mana?"
"Tembok dunia hiburan punya mata dan telinga."
"Apa salah menolong sahabat?" sahut Sujun, meninggikan suaranya. Biasanya dia tidak pernah membantah orangbtua, tapi sekadang demi Yeona dia berani maju.
"Bukan masalah salah atau benar, tapi gosip."
"Gosip apa? kami hanya bersahabat. Wajar sesama sahabat saling menolong."
Ayah menyipitkan matanya kepada Sujun. "Orang mana mau tahu. Yang mereka mau adalah cerita perselingkuhan. Bagaimana kalau mereka tahu Yeona pernah hamil dan menilai kehamilannya karenamu? Sekali kamu kena skandal, hidupmu bakal susah! Nama baik keluarga dipertaruhkan!"
Sujun mulai paham apa yang ayah khawatirkan. Suara Sujun melunak. "Maaf Ayah, aku hanya ingin membantu Yeona."
"Kamu calon CEO Moonlight Entertainment, jangan meminta maaf, tapi perbaiki kesalahanmu." Suara ayah pun merendah seperti tisak ingin ada konfrontasi.
Sujun mengangguk pelan. Dia akan mengingat semua nasihat ayah karena semua itu akan berguna untuk melindungi kekuasaannya kelak sebagai CEO.
"Wanita seperti bunga beracun," lanjut ayah. "Jika tidak berhati-hati, kamu bisa terkena racun. Jauhi Yeona demi kebaikanmu dan keluarga kita."
"Ayah, apa ayah sudah mendengar betapa menyedihkannya nasib Yeona–"
"Kamu pikir aku peduli? Kamu bertanggung jawab pada keluarga So, bukan hanya pada dirimu sendiri."
"Tapi ayah--"
"Apa kata orang kalau mereka tahu kamu berhubungan dengan Yeona? Dia dibuang keluarga Han, melahirkan anak haram, pemabuk, gila!"
Semua ucapan ayah menjadi api yang membuat dada Sujun panas. Twntu sekarang Sujun mencintai Hye Rin, tetapi Yeona tetap sahabatnya. Dia tidak suka jika sahabatnya dihina.
Sujun bangkit dan matanya menyorot tajam ayah, seperti singa sedang menantang lawan. "Ayah tidak berhak bicara seperti itu!"
Ayah tersentak mundur. Ini kali pertama Sujun menunjukkan taring kepadanya dan menjadi lelalki pemberani.
"Dia bukan orang gila," lanjut Sujun. "Bukan pemabuk, bukan wanita murahan! Aku akan melindunginya dan menebus kesalahanku!"
Tingkah Sujun membuat ayah nyaris gagal bernapas. Baru kali ini ada yang membentaknya seperti ini. "Apa maumu?"
"Merawat Yeona."
"Kalau nekat, kamu tidak pantas menjadi kepala keluarga So. Pergi!"
"Apa?" Panik terlukis di wajah Sujun. Perkataan ayah berarti menghapusnya dari jalur suksesi keluarga So.
"Biar adikku yang meneruskan pedal kendali keluarga So."
Wajah Sujun pucat pasi. Kehilangan kekuasaan sebagai pewaris tunggal keluarga So merupakan mimpi terburuknya. Kekuasaan bagi Sujun di atas segala - galanya, bahkan melebihi cinta. Menururnya cinta tidak bisa membeli kekuasaan, sebaliknya kekuasaan mampu membeli cinta.
Ibu membuka pintu, berdiri di sana mengawasi keadaan ruang baca. "Hei, kenapa berisik?"
Hadirnya ibu membuat ayah membuang wajah, enggan memandang anak atau istrinya.
"Hei, jawab, ada apa?" lanjut Ibu.
Dua lelaki memilih bungkam. Mereka tidak berani menjawab ibu. Di mata mereka ibu merupakan pemimpin sesungguhnya dalam keluarga So.
"Aku permisi." Sujun membungkuk memberi hormat pada kedua orang tua lalu kabur dari sana, tanpa banyak bicara.
Ketika melangkah di lorong hendak menuruni anak tangga, terdengar suara marah ibu tanpa ada balasan dari ayah.
Langkah Sujun goyah. Tiada asisten rumah tangga berani menolongnya bahkan ketikandia nyaris jatuh ketika menuruni anak tangga.
Sujun menimbang - nimbang ancaman dari ayah, Jika aku gagal menjadi kepala keluarga So, bagaimana nasibku kelak? Tidak, aku tidak boleh gagal. Tapi, bagaimana dengan Yeona? Argh sial ... Dia menutup batinnya dengan pukulan pelan pada dinding.
Sebagai lelaki seharusnya Sujun bisa mengambil keputusan tanpa terpengaruh kiri dan kanan, tapi sekarang dia benar - benar berada dalam dilema.
Perlahan dia duduk di anak tangga dan pelipisnya berlabuh ke tembok. Entah berapa lama dia berada di sana, hingga Ibu datang menghampiri.
Wanita itu duduk di sebelah Sujun, menyibak rambut hitam lembut anaknya ke samping. "Ibu berharap kamu tahu apa yang kamu lakukan, Nak. Kadang keluarga harus didahulukan, tapi Cinta juga penting. Ini tes pertamamu sebagai lelaki dewasa ... Sebagai calon penerus ayahmu sebagai kepala keluarga So. Ayo, semangat."
Sujun mengangguk kecil lalu menoleh ke samping, memberi senyum ramahnya kepada ibu.. "Terima kasih, Bu. Aku harap keputusanku tidak mengecewakan ibu dan ayah."
Ibu memeluk erat anaknya sambil mengusap punggung. "Apapun keputusanmu, kamu tetap anakku."
****